Isu
Ekonomi dan Pemilihan Presiden
M Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi ’45, Yogyakarta
|
KOMPAS,
25 April 2014
Salah
satu hal paling krusial yang masih kita tunggu dalam Pemilu Presiden 2014
adalah platform ekonomi para calon presiden. Karena adanya ambang batas
pencalonan presiden di satu pihak dan banyaknya pasangan calon presiden-wakil
presiden di lain pihak, apabila yang akhirnya tampil adalah empat pasangan,
maka jika tidak ada pasangan yang memenangi pemilihan secara
mayoritas—sebagaimana pernah diperoleh Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres
2009—pasangan kontestan tinggal dua saja yang memiliki platform politik yang
bertentangan atau berbeda.
Pada
saat itulah akan terbuka forum adu program, platform politik, dan haluan
ideologi. Hingga kini publik melihat platform- platform politik yang tidak
banyak berbeda antarpartai. Akan tetapi, dalam debat publik nanti akan muncul
suatu sisi perbedaan. Hingga kini hanya Partai Gerindra saja yang memiliki
platform politik yang jelas yang menitikberatkan program-program ekonomi dan
kesejahteraan sosial.
Dewasa
ini pencapresan sudah mengerucut pada tiga partai politik peraih suara
terbanyak yang juga sudah menetapkan capres dan sedang mencari-cari cawapres
yang bisa menentukan keunggulan suatu pasangan capres-cawapres.
Kutub
yang sudah menjadi magnet itu adalah PDI-P dengan capresnya, Joko Widodo;
Golkar dengan Aburizal Bakrie; dan Gerindra dengan Prabowo Subianto. Namun,
masih ada kemungkinan kutub keempat, yaitu poros partai Islam bersatu, dengan
elektabilitas sekitar lebih dari 31 persen. Karena Gerindra sudah mengajukan
platform yang menitikberatkan program ekonomi, untuk menandingi Prabowo, maka
Aburizal, Jokowi, dan calon dari partai Islam akan berusaha menandingi atau
mengunggulinya.
Platform
politik ekonomi dalam pencapresan sekarang secara teoretis bersumber dari
tanggapan suatu partai terhadap program ekonomi yang telah dikembangkan
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) di bawah arahan SBY-Jusuf Kalla pada periode
KIB I dan SBY-Boediono yang tidak banyak berbeda itu. Inti dari politik
ekonomi itu adalah pembangunan sebagaimana dirumuskan Prof Didin S Damanhuri,
berorientasi pada pencapaian produk domestik bruto (PDB) yang tinggi,
sebagaimana sukses dicapai KIB.
Orientasi
ini menimbulkan konsekuensi memilih program- program yang sensitif terhadap
PDB yang menimbulkan peningkatan pendapatan 20 persen lapisan atas, tetapi
abai terhadap perkembangan lapisan 40 persen terbawah. Namun, itu
dikompensasi dengan program subsidi atau bantuan sosial, misalnya program
bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai
sementara (BLTS) yang diambil dari pengurangan subsidi BBM, yang menyebabkan
kenaikan harga yang memerosotkan lapisan-lapisan 20-50 persen masyarakat yang
rentan kemiskinan sehingga menambah jumlah orang miskin dari sekitar 30
persen, berdasarkan kriteria Bank Dunia (2 dollar AS per kapita), menjadi sekitar 50 persen atau
lebih.
Strategi PDB
Konsekuensi
dari strategi PDB ini adalah mengundang modal asing dengan insentif yang
tinggi sehingga Indonesia dimasukkan oleh lembaga peringkat Goldman Sachs
sebagai negara yang masuk ke dalam kelompok MIST (Meksiko, Indonesia, Korea
Selatan, dan Turki) yang dengan bangga diumumkan Menteri Koordinator
Perekonomian Hatta Rajasa dari PAN.
Isu
ekonomi dalam pencapresan akan ditentukan oleh perkembangan apakah dalam
debat publik nanti ada tokoh di antara
tiga atau empat kubu di atas yang secara tegas menentang politik
ekonomi yang sedang berjalan dan menginginkan perubahan, sebagaimana
digaungkan Nasdem dengan program restorasi.
Jika
haluan restorasi ini diterima, politik ekonomi alternatif akan mengarah pada
program-program kemandirian dan kedaulatan ekonomi Indonesia yang tampak pada
platform politik ekonomi Gerindra. Meski demikian, belum tampak tokoh atau
partai mana yang menganut haluan yang berorientasi pada PDB karena penganutan
haluan ini akan diasosiasikan dengan politik ekonomi neoliberalisme.
Namun,
bisa pula haluan ini disebut dengan bahasa eufemistis, misalnya politik
ekonomi propasar yang mampu berpartisipasi dalam proses globalisasi dengan
meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia di arena internasional.
Dilihat
dari polarisasi partai, pendukung politik ekonomi propasar adalah Golkar dan
PDI-P yang tampak saling mendekat melalui manuver politik Aburizal. Adapun
platform yang menghendaki perubahan dengan restorasi menuju kemandirian dan
kedaulatan ekonomi Indonesia adalah Partai Nasdem dan Gerindra.
Karena
dua politik ekonomi itu tampak bertentangan secara mendasar dan diametral,
mungkin saja muncul alternatif pemikiran ketiga yang bisa diusung, misalnya,
oleh partai Islam bersatu. Kutub ini bisa mengajukan solusi ekonomi syariah atau ekonomi Islam. Dua konsep itu berbeda.
Ekonomi syariah akan cenderung propasar karena membutuhkan dukungan modal
asing untuk mencapai pangsa hingga 50 persen dari perbankan nasional agar
bisa berpengaruh menentukan.
Adapun
ekonomi Islam mengarah pada kemandirian ekonomi. Ekonomi Islam sendiri
memiliki tiga ciri. Pertama berbasis moral dan etika sehingga bersifat
selamat dan menyelamatkan, misalnya dengan menghindari transaksi yang
spekulatif, curang, dan melanggar hukum. Kedua berdasarkan prinsip perdamaian
dengan menghindari eksploitasi dan menerapkan kerja sama yang berkeadilan.
Dan, ketiga menginginkan kesejahteraan sosial dalam bentuk dampak sosial dan environmental.
Platform
ekonomi Islam ini bisa berdiri sendiri, tetapi juga bisa mengarah pada haluan
restorasi menuju kemandirian dan kedaulatan ekonomi Indonesia. Namun,
masalahnya adalah siapa tokoh yang mampu mengartikulasikan platform ekonomi
syariah atau ekonomi Islam itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar