Selasa, 15 April 2014

Ini Indonesia, Bung

Ini Indonesia, Bung

Adiwarman A Karim  ;   Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
REPUBLIKA, 14 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Jokowi telah jauh hari digadang-gadang untuk menjadi calon presiden. Di beberapa pilkada, beliau ikut berperan serta, foto beliau banyak menghiasi poster-poster calon legislatif.

Kesederhanaan beliau, kedekatan beliau dengan rakyat kecil, sikap santun dan cerdas menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan, ketika beliau resmi dideklarasikan menjadi calon presiden oleh partainya, para pengamat ekonomi mengatakan ada Jokowi effect yang mengangkat indeks harga saham. Indeks harga saham gabungan (IHSG) secara mengejutkan naik 152,476 poin (3,23 persen) ke level 4.878,643 pada penutupan perdagangan, yang dibarengi penguatan rupiah terhadap dolar AS menjadi Rp 11.305 per dolar AS atau naik 119 poin per Jumat 14 Maret.

Ketika hasil pemilu legislatif tidak serta-merta memberikan kemenangan tebal kepada partai yang mengusung Jokowi, IHSG anjlok 92 poin, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada posisi Rp 11.330 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sehari sebelumnya pada Rp 11.290 per dolar AS.

Tidak satu pun partai yang dominan mendapat suara mayoritas membuat pelaku pasar kawatir akan adanya ketidakpastian. Fenomena ini memberikan pesan yang sangat kuat bahwa keinginan dan pilihan investor di bursa saham tidak serta-merta menggambarkan keinginan dan pilihan rakyat. Logika pasar tidak selalu sama dengan logika rakyat. Ini Indonesia, Bung.

Bangsa ini telah nyaman dengan kebinekaan dalam segala aspek kehidupan. Bahkan, kebinekaan ini dipandang sebagai alat pemersatu. Setiap kekuatan yang terlalu dominan akan ditolak karena dianggap mengancam kelestarian keberagaman. Apa pun kekuatan dominan itu, dominasi pemerintah, dominasi DPR, dominasi mayoritas, dominasi minoritas akan ditolak dan dilawan dengan cara khas Indonesia.

Ketika sebagian masyarakat merasa adanya dominasi pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal dan melarang pelaksanaan shalat Ied yang berbeda harinya pada zaman Orde Baru maka masjid-masjid yang tetap melaksanakan pada hari berbeda itu mendapat simpati yang sangat besar. Ketika Buya Hamka menyampaikan fatwa MUI tentang larangan unsur ibadah dalam perayaan Natal bersama, kemudian masyarakat merasakan adanya dominasi pemerintah untuk mengubahnya maka Buya Hamka dan MUI kebanjiran simpati yang sangat besar. Ini Indonesia, Bung.

Kehidupan masyarakat yang harmonis tanpa adanya dominasi telah mendarah daging di Indonesia. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan "ngono yo ngono ning ojo ngono" (begitu ya begitu, tapi jangan begitu, dong) merupakan ungkapan penolakan terhadap dominasi. Penolakan itu tidak disampaikan dengan cara yang jelas berterus terang (explicitly verbal) karena dianggap tidak berbudaya tinggi. Penolakan itu dapat dirasakan dengan jelas dan ketika disadari telah terlambat untuk memahaminya. Penolakan khas Indonesia terhadap sikap ekstrem yang dalam bahasa Minang dirumuskan "jalan baduo, nak di tangah" (jalan berdua, mau di tengah).

Ketika Malaysia dirasakan sebagian masyarakat terlalu dominan dalam beberapa hal, misalnya, Sipadan Ligitan, Perairan Ambalat, perlakuan terhadap TKI maka tanpa ada komando, perlahan tapi pasti, konsumen lebih memilih membeli bensin di SPBU selain Petronas milik Malaysia.

Ini Indonesia, Bung.

Ketika lembaga legislatif dan pemerintah daerah begitu bersemangat mengeluarkan perda-perda syariah yang melarang ini dan itu, penolakan malah mengkristal. Namun, ketika kewajiban berjilbab menjadi fashion, penerimaan masyarakat semakin meluas dan mengkristal.

Ketika transaksi perbankan dengan bunga diharamkan dan dihujat muncul berbagai tulisan membela keabsahan bunga dengan berbagai alasan. Namun, ketika lembaga keuangan syariah menawarkan layanan yang mirip dengan konvensional, tentu saja dengan cara yang khas syariah, penerimaan masyarakat meluas. Sebagian besar nasabah lembaga keuangan syariah juga nasabah lembaga keuangan konvensional. 

Ini Indonesia, Bung.

Dalam ilmu ekonomi, penolakan terhadap dominasi ini digagas oleh Profesor John Nash, pemenang Nobel bidang ekonomi pada 1994. Dalam banyak situasi yang muncul bukanlah strategi mendominasi atau terdominasi, melainkan yang lebih lazim terjadi adalah keseimbangan (Nash equilibrium). Keseimbangan itu akan tercapai bila masing-masing pihak melakukan yang terbaik, apa pun yang dilakukan pihak lain.

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia juga akan mencapai keseimbangan bila masing-masing pihak melakukan yang terbaik. Dewan Syariah Nasional harus melakukan yang terbaik, regulator mikro dan makro (OJK dan BI) harus melakukan yang terbaik, sistem peradilan untuk keuangan syariah harus melakukan yang terbaik, pelaku usaha harus melakukan yang terbaik. Dominasi salah satu pihak terhadap pihak lain dalam mengembangkan keuangan syariah akan terbentur pada penolakan khas Indonesia.

Masing-masing pihak memiliki kompetensi utama yang unik. Memaksakan bank yang memiliki kekuatan di bidang konsumen untuk melayani segmen UKM, semisal memaksakan DSN meyusun regulasi OJK. Memaksakan bank yang memiliki kekuatan di bidang korporasi untuk melayani segmen UKM, semisal memaksakan BI menyusun fatwa DSN.

Fatwa dan regulasi perlu terus disempurnakan untuk menghindari hambatan yang mungkin timbul. Strategi bisnis pelaku usaha juga harus terus disesuaikan dengan perkembangan dinamika pasar.

Waktu tunggu yang dirasa panjang untuk terbitnya sebuah fatwa juga merupakan pekerjaan rumah. Kegamangan industri akibat pemahaman tentang kompetensi lembaga peradilan yang menangani sengketa keuangan syariah juga pekerjaan rumah besar.

Komunikasi dalam proses penyusunan rancangan ketentuan (rule making rule) menjadi sangat penting. Sehingga, tidak akan ada rencana keten-tuan baru yang diketahui oleh pelaku industri melalui media masa terlebih dulu, kecuali hal tersebut telah disampaikan kepada pelaku usaha dalam suatu proses rule making rule.

Rule making rule dalam proses fatwa baru, rule making rule dalam ketentuan baru, misalnya, rencana penghentian pemberian izin baru unit usaha syariah dan berbagai hal-hal baru, dapat mengurangi ketidakpastian dan kegamangan. Ketidakpastian akan mendorong para pihak menggunakan logikanya sendiri-sendiri. Dalam bahasa ekonominya disebut mixed strategy, strategi yang membuat pihak lain selalu menduga-duga, strategi "keep them guessing".

Strategi ini akan berhadapan dengan penolakan khas Indonesia, dalam bahasa Minang, "iyo an nan dek urang, lalu an nan dek awak" (setujui pendapat orang lain, lakukan sesuai pendapat kita), "you play your game, we play our own game". Dalam bahasa ekonominya, Nash equilibrium. Kita lebih paham budaya bangsa kita. Ini Indonesia, Bung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar