Menggadaikan
Suara Rakyat
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
25 April 2014
Dilihat
dari tahapan penyelenggaraan, pemilihan umum anggota legislatif (DPR, DPD,
dan DPRD) belum lagi selesai. Sebagai sebuah rangkaian dari pemungutan dan
penghitungan suara, hasil dari proses kehadiran pemilih di tempat pemungutan
suara pada 9 April masih menunggu tahapan penetapan hasil pemilu legislatif.
Tak
terbantahkan, penetapan hasil menjadi salah satu tahapan paling krusial dan
menegangkan. Merujuk model pemilu yang dianut, tahapan penetapan hasil
penghitungan suara amat menentukan posisi dan nasib parpol peserta pemilu
secara nasional. Dengan syarat ambang batas minimal 3,5 persen untuk eksis di
DPR (parliamentary threshold), parpol menggantungkan masa depan mereka dari
hasil penghitungan suara yang masih berlangsung. Dalam hal batas minimal tak
terpenuhi, parpol akan kehilangan hak untuk eksis di DPR sekaligus kehilangan
eksistensi secara nasional.
Tak
hanya parpol, penghitungan suara juga menentukan nasib ribuan calon anggota
legislatif. Untuk anggota DPR, sebanyak 6.600-an calon tengah menunggu
peruntungan mereka. Tentu saja, perasaan harap-harap cemas tengah menggelayut
menunggu kepastian parpol mereka meraih kursi di daerah pemilihan
masing-masing. Jikalau berhasil, persoalan berikutnya: apakah calon memiliki
perolehan suara cukup untuk mengisi kursi yang diraih parpol. Waktu dua
minggu ke depan merupakan hari-hari penuh penantian.
Sayangnya,
bagi sebagian elite politik, rangkaian kecemasan selepas pemungutan suara 9
April tidaklah menjadi titik perhatian utama. Sebagaimana diketahui, begitu
hasil penghitungan cepat (quick count) beberapa lembaga memberikan indikasi
perolehan suara, elite dengan cepat mengalihkan bidikan mereka pada agenda
politik yang mengikuti pemilu legislatif. Jamak diketahui, konsentrasi elite
berubah dan bergerak cepat mencari mitra untuk mengusulkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden.
Melihat
gejala tersebut, sepertinya penentuan daulat rakyat pada pemilu legislatif
usai begitu prediksi perolehan suara parpol diketahui. Karena itu, tidaklah
terlalu keliru mengatakan bahwa pemilu legislatif hanya ditempatkan sebagai
jembatan keledai menuju kursi RI-1 dan RI-2. Padahal, dari proses yang ada,
pemilu legislatif masih jauh untuk dikatakan tuntas. Paling tidak, tahapan
rekapitulasi suara masih perlu berbagai langkah antisipatif dan pengawalan
dari kejahatan pemilu demi menyelamatkan suara rakyat.
Kejahatan pemilu
Sesuai
dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, selama ini konsentrasi masyarakat
lebih banyak fokus pada sejumlah kejahatan pemilu yang terjadi sebelum pemungutan
suara. Di antara yang paling dominan, bagaimana menggunakan kekuasaan untuk
memengaruhi dan membelokkan suara pemilih. Dalam soal ini, kuasa uang (money politics) merupakan salah satu
bentuk kejahatan pemilu yang paling umum dilakukan. Biasanya, makin dekat
jadwal pemungutan suara, praktik politik uang kian menggila.
Selain
kuasa uang, menggunakan jabatan publik dengan segala fasilitas negara yang
mengikutinya menjadi bentuk kejahatan pemilu lain yang menggelisahkan. Selama
masa kampanye, misalnya, banyak bentangan fakta membuktikan, betapa pejabat
negara mempersembahkan bakti mereka menjadi mesin parpol untuk meraup
dukungan pemilih. Meski dilarang menggunakan fasilitas negara, hukum pemilu
sulit menjangkau segala bentuk pelanggaran yang dilakukan pejabat negara.
Merujuk
gambaran ini, bentuk kejahatan yang terjadi sebelum pemungutan suara lebih
pada bagaimana memengaruhi pemilih. Setelah pemungutan suara, bentuk
kejahatan yang dilakukan jauh lebih kasar. Modus yang selalu dikemukakan,
bagaimana peserta pemilu berupaya memengaruhi penyelenggara pemilu di tingkat
bawah untuk memanipulasi suara pemilih. Cara paling umum dengan mengubah
hasil rekapitulasi penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS).
Berkaca dari pengalaman pilkada, kontestan mampu menggerakkan penyelenggara
pemilu mengubah perolehan suara Formulir C1. Setidaknya, pengalaman
pengubahan Formulir C1 ini dapat dilacak dalam pemilihan gubernur Maluku
Utara.
Barangkali,
berkaca dari pengalaman itu, pada Pemilu Legislatif 2014, ruang memanipulasi
suara dipersempit dengan adanya kewajiban bagi Kelompok Panitia Pemungutan
Suara menyerahkan satu rangkap Formulir C1 ke KPU kabupaten/ kota. Setelah
itu, Formulir C1 direkam (scan) dan dijadikan database KPU guna keperluan
informasi kepada masyarakat. Tak sebatas informasi, database KPU dapat
dijadikan instrumen guna membuktikan validitas jumlah suara di TPS. Namun,
manipulasi masih terbuka karena Formulir C1 database KPU bukan Formulir C1
Plano yang ditandatangani di TPS.
Selain
persoalan di sekitar kemungkinan memanipulasi Formulir C1, kejahatan pemilu
yang juga merusak suara rakyat adalah pemindahan suara yang memilih parpol ke
dalam suara calon anggota legislatif. Peluang terbuka karena pemilih
diberikan kesempatan untuk memilih parpol. Dalam logika sistem penentuan
calon terpilih menggunakan suara terbanyak, suara yang memilih parpol hanya
berguna sebagai variabel menentukan apakah parpol mendapatkan kursi atau
tidak. Dalam hal parpol dapat kursi, penentuan calon terpilih didasari
perolehan suara terbanyak calon dalam daftar calon tetap.
Karena
variabel suara terbanyak, semua calon berkepentingan jumlah suaranya lebih
banyak daripada yang lain. Salah satu konsekuensi model ini, persaingan
antarcalon amat terbuka, baik dengan eksternal maupun di internal parpol.
Belajar dari Pemilu 2009, dengan melibatkan penyelenggara pemilu, sejumlah
calon berupaya memindahkan suara yang memilih parpol jadi suara calon anggota
legislatif. Biasanya, upaya ini makin mudah dilakukan jika yang ingin
memindahkan suara merupakan pengurus parpol. Informasi yang ada, upaya ini
masih berlangsung setelah pemungutan suara 9 April lalu.
Hukuman pemilih
Semestinya,
sebelum elite parpol memindahkan fokus pada pemilu presiden dan wakil
presiden, kemungkinan terjadinya sejumlah kejahatan pemilu seharusnya menjadi
perhatian utama. Apalagi, berdasarkan Tajuk Rencana Kompas (14/4), sebanyak
590 TPS masih harus menggelar pemungutan suara ulang. Bahkan, sampai
mendekati jadwal rekapitulasi suara di tingkat kabupaten/kota, sejumlah TPS
masih belum menyelenggarakan pemungutan suara ulang.
Karena
itu, ketika impitan berbagai masalah di sekitar kelanjutan pemungutan suara
ditelantarkan, sadar atau tidak, elite politik sedang menggadaikan makna
hakiki suara rakyat dalam pemilu legislatif. Padahal, pemilu legislatif
merupakan salah satu pilar utama dalam membumikan kedaulatan rakyat,
sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Semestinya, sebagai
peserta pemilu untuk mengisi anggota DPR dan DPRD, parpol memiliki tanggung
jawab sampai tuntasnya semua tahapan. Tak hanya itu, upaya sejumlah elite
parpol menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai jembatan keledai menuju
pemilu presiden dan wakil presiden dapat dinilai sebagai bentuk kejahatan
pemilu lain. Paling tidak, dalam beberapa hari terakhir mulai terlihat gejala
sebagian elite politik menggunakan persentase hasil pemilu legislatif sebagai
”modal” merajut komunikasi dengan parpol yang punya dukungan suara signifikan
untuk mengajukan calon presiden.
Melihat
gejala tersebut, sebagian elite parpol secara semena-mena mengambil alih
suara pemilih menjadi barter politik menuju pemilihan presiden. Padahal, jika
mereka mampu memaknai hakikat suara pemilih, penentuan arah koalisi tak
mungkin dilakukan secara semena-mena. Paling tidak, hampir semua peserta
Pemilu 2014 tidak memiliki pola dan mekanisme untuk mengetahui kehendak
pemilih dalam menentukan pasangan calon presiden. Pengabaian ini kian
menguatkan bukti bahwa hubungan parpol dan pemilih berakhir begitu selesai
pemungutan suara.
Berkaca
dari banyak pengalaman, langkah mengabaikan makna dukungan pemilih acap kali
berubah menjadi tragedi di internal parpol. Misalnya, disebabkan tidak adanya
pola dan mekanisme pengusulan pasangan calon presiden, elite parpol kerap
terlibat konflik internal yang berujung pada perpecahan. Setidaknya, konflik
yang tengah melanda PPP lebih dari cukup untuk menjelaskan bagaimana elite
parpol cakar-cakaran memaknai dukungan pemilih. Dengan skala yang lebih
kecil, pengalaman serupa dapat pula dialamatkan kepada Partai Golkar dengan
adanya desakan mengevaluasi pencalonan Aburizal Bakrie.
Melihat
manuver elite politik dengan menggunakan hasil Pemilu 9 April lalu, tidaklah
keliru jika banyak pihak menghendaki pemilu legislatif dan pemilu presiden
dilaksanakan secara serentak. Sayangnya, pemisahan yang dinilai
inkonstitusional tersebut baru dapat dipulihkan dalam Pemilu 2019. Atau,
boleh jadi, langkah menghapus presidential threshold merupakan upaya nyata
memangkas kecenderungan elite parpol menggunakan hasil pemilu legislatif
sebagai alat tawar politik menuju pemilihan presiden. Sekali lagi, sayang,
logika ini pun tertolak ketika Mahkamah Konstitusi menilai presidential
threshold sebagai open legal policy pembentuk undang-undang.
Padahal,
sebagaimana dinukilkan dalam ”Kegagalan
Menjaga Konstitusi” (Kompas, 22/3), pemisahan pemilu legislatif dengan
pemilu presiden dan meneguhkan presidential threshold merupakan akal-akalan
parpol besar di DPR. Bahkan, membaca pengalaman saat ini, kedua rezim
tersebut dapat dibaca sesungguhnya sekaligus merupakan akal-akalan untuk
meneguhkan cengkeraman sebagian elite parpol dalam proses pengajuan calon
presiden dan wakil presiden dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Sebenarnya,
dalam batas-batas tertentu, jika rajutan komunikasi yang dibangun elite
parpol digunakan untuk menilai kesamaan pandangan dalam membangun Indonesia
ke depan, pemilih masih bisa memahaminya. Namun, dari kecenderungan yang ada,
banyak di antara mereka hanya menunggangi dukungan pemilih sebagai modal
bagi-bagi kekuasaan demi kekuasaan ke depan. Dengan cara demikian, sulit
dibantah, elite politik secara telanjang memperdagangkan persentase hasil
pemilu legislatif dalam pengertian sesungguhnya.
Dari
desain sistem pemilu yang ada, pemilih sama sekali tidak memiliki instrumen
untuk menegur perilaku praktik dagang sapi elite politik. Karena pemilu belum
selesai, perlu diingatkan, bagi mereka dan partai politik yang menggadaikan
persentase hasil pemilu legislatif, pemilih akan memberikan hukuman yang
setimpal. Sekiranya gagalnya sejumlah elite meraih kembali kursi di DPR tidak
cukup dijadikan pelajaran, hukuman lebih berat akan terbentang dalam pemilu
presiden dan wakil presiden 9 Juli mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar