Dilema
Berlanjut Caleg Terpilih
Ya’qud Ananda Gudban ; Caleg terpilih DPRD Kota Malang,
Ketua DPC
Hanura Kota Malang
|
JAWA
POS, 24 April 2014
''I do have strong believe that Indonesia will
become a very successful democracy country in short period.''
Tekad
itu pernah saya sampaikan dalam forum diskusi grup di Deplu Amerika Serikat
(AS), 2012. Saya diundang sebagai perwakilan perempuan Indonesia yang aktif
dalam kegiatan politik. Hadir dalam acara tersebut Menlu AS (saat itu)
Hillary Clinton, Presiden IMF Christine Lagard, Atifete Jahjaga (presiden
keempat sekaligus presiden perempuan pertama Kosovo), mantan Menhan AS
Madeleine Albright, 50 perwakilan perempuan sedunia, serta 500 mahasiswa
terpilih dari AS.
Optimisme
itu saya yakini bisa terwujud dalam Pemilu 2014 ini karena pengalaman
mengikuti pileg sebelumnya yang mengantarkan saya menjadi anggota legislatif.
Tapi, ternyata waktu pendek tersebut tidak cukup menyukseskan sebuah pesta
demokrasi yang bersih. Sebab, faktanya, demokrasi di negeri ini masih high
cost. Tidak cukup dengan sebungkus nasi atau lembaran Rp 10 ribuan dalam
amplop dan paket sembako, tapi lebih dari itu.
Rakyat
paham dengan ''harga'' mereka sehingga tidak mudah memberikan suara dengan
sukarela. Semua ada harganya. Jangan dikira setelah pileg selesai dan caleg
melenggang ke gedung dewan hubungan itu selesai. Kalau hubungan berlanjut
tersebut soal aspirasi, itu memang seharusnya. Yang repot, selama menjadi
wakil rakyat, selama itu pula ''todongan'' terus datang.
Sebagai
caleg incumbent DPRD Kota Malang,
saya merasakan betul mahalnya harga dukungan suara dari rakyat.
Memperjuangkan aspirasi rakyat, dianggap mendatangi mereka dengan membawa
segepok uang, bukan perjuangan formal fungsi wakil rakyat.
Padahal,
selama empat tahun duduk di parlemen, saya sudah melalui banyak proses untuk
menanamkan bagaimana berdemokrasi yang baik dan jujur. Tidak hanya lewat
pendidikan, tapi juga pemberdayaan masyarakat. Dalam skala lebih besar,
kebutuhan warga tersebut diperjuangkan dalam sebuah kebijakan. Misalnya,
pendidikan gratis dan sektor kesehatan yang berdampak luas.
Proses
pembuatan kebijakan (untuk mewujudkan janji) itu pun tidak mudah. Butuh
goodwill dari pemerintah dan anggota legislatif secara kelembagaan. Tentu
saja juga harus dipikirkan kemampuan keuangan daerah. Ketika semua memenuhi,
baru bisa berjalan.
Tetapi,
ketika memasuki masa kampanye sesungguhnya, kami masih saja dimintai
''sesuatu'' (bahkan lebih banyak kepentingan personalnya ketimbang
kepentingan publik). Sangat dilematis. Menuruti berarti mengingkari hati
nurani karena tidak ada pembelajaran politik di sana. Bahkan cenderung
mendukung praktik money politics yang selama ini berusaha diminimalkan. Tidak
dituruti khawatir kehilangan pemilih. Sementara itu, kita sedang berada dalam
tahap point of no return, titik ketika kita tidak bisa kembali lagi ke awal.
''Jangan salahkan rakyat,'' kata
Lenin. Saya sangat sepakat dengan hal itu. Tetapi, yang harus dicermati,
caleg dan pemilih sama-sama rakyat. Jadi, jangan menganggap caleg bukan bagian
dari rakyat. Karena itu, saya rasa dua-duanya merupakan bagian dari rakyat
yang masing-masing memiliki peran penting. Karena itu, tentu ada kebenaran
dan kesalahan pada kedua pihak tersebut. Bisa jadi pemilih merasa bosan
dengan janji para caleg yang dianggap cenderung lupa ketika terpilih. Atau,
para caleg kecewa akan perolehan suara yang tidak sesuai dengan janji
konstituennya.
Lalu,
masih bisakah keadaan itu diperbaiki? Tentu itu bukan hanya tugas pemilih dan
caleg. Semua unsur harus terlibat dalam perbaikan moral bangsa ini. Parpol
memegang peran yang sangat penting untuk merekrut orang-orang yang pantas
menjadi wakil rakyat untuk masuk dalam barisan calegnya. Rekrutmen akan lebih
baik jika dilakukan sejak awal. Misalnya, setelah pileg ini selesai, tidak
pada detik-detik akhir menjelang pemilu. Dengan begitu, parpol bisa melakukan
pengaderan dan memenangkan hati rakyat dengan biaya rendah.
Yang
juga tidak kalah penting adalah membangun komunikasi antarparpol untuk
membuat komitmen bersama. Yaitu, menghindari politik uang atau pembelian
suara rakyat (politik transaksional). Parpol juga harus memberikan sanksi
tegas kepada caleg jika melanggar komitmen itu. Sadarkan bahwa hasil tidak
bisa berdiri sendiri karena menjadi bagian tidak terpisah dari sebuah proses
yang baik. Masyarakat juga harus disadarkan terhadap bahaya money politics.
Siapa
yang harus turun tangan? Tentu saja, kembali lagi, parpol. Parpol harus punya
bidang kemasyarakatan yang bekerja sepanjang tahun memantau kondisi
masyarakat (bukan buka kantor lima tahun sekali). Dan tentu saja seluruh
unsur masyarakat, dalam hal ini akademisi, LSM, sampai tingkat pemimpin di
organisasi pemerintahan terbawah, yakni RT dan RW. Mereka harus ikut menjadi agent of change.
Kondisi
sekarang ini ibarat penyakit kronis yang sangat berbahaya bagi kesehatan
demokrasi. Jangan sampai demokrasi yang kita bangun dengan susah payah
melalui proses reformasi dengan cucuran keringat, air mata, dan darah hancur
oleh penyakit yang bernama money politics. Dibutuhkan banyak ''dokter
spesialis'' untuk menyembuhkan penyakit kronis tersebut. Baik itu pendidikan
politik oleh parpol, fatwa ulama, penanaman kejujuran dalam keluarga dan
sekolah, pembiasaan kejujuran, pemberian teladan dari orang terpandang,
bahkan tindakan hukum yang tegas dan adil.
Optimisme
saya tidak berkurang. Saya tetap yakin Indonesia bisa menjadi negara yang
sukses berdemokrasi tanpa banderol harga. Hanya, memang butuh waktu. Tapi,
ayo kita buat jangan terlalu lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar