Jumat, 25 April 2014

Dilema Berlanjut Caleg Terpilih

Dilema Berlanjut Caleg Terpilih  

Ya’qud Ananda Gudban  ;   Caleg terpilih DPRD Kota Malang,
Ketua DPC Hanura Kota Malang
JAWA POS, 24 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
''I do have strong believe that Indonesia will become a very successful democracy country in short period.''

Tekad itu pernah saya sampaikan dalam forum diskusi grup di Deplu Amerika Serikat (AS), 2012. Saya diundang sebagai perwakilan perempuan Indonesia yang aktif dalam kegiatan politik. Hadir dalam acara tersebut Menlu AS (saat itu) Hillary Clinton, Presiden IMF Christine Lagard, Atifete Jahjaga (presiden keempat sekaligus presiden perempuan pertama Kosovo), mantan Menhan AS Madeleine Albright, 50 perwakilan perempuan sedunia, serta 500 mahasiswa terpilih dari AS.

Optimisme itu saya yakini bisa terwujud dalam Pemilu 2014 ini karena pengalaman mengikuti pileg sebelumnya yang mengantarkan saya menjadi anggota legislatif. Tapi, ternyata waktu pendek tersebut tidak cukup menyukseskan sebuah pesta demokrasi yang bersih. Sebab, faktanya, demokrasi di negeri ini masih high cost. Tidak cukup dengan sebungkus nasi atau lembaran Rp 10 ribuan dalam amplop dan paket sembako, tapi lebih dari itu.

Rakyat paham dengan ''harga'' mereka sehingga tidak mudah memberikan suara dengan sukarela. Semua ada harganya. Jangan dikira setelah pileg selesai dan caleg melenggang ke gedung dewan hubungan itu selesai. Kalau hubungan berlanjut tersebut soal aspirasi, itu memang seharusnya. Yang repot, selama menjadi wakil rakyat, selama itu pula ''todongan'' terus datang.

Sebagai caleg incumbent DPRD Kota Malang, saya merasakan betul mahalnya harga dukungan suara dari rakyat. Memperjuangkan aspirasi rakyat, dianggap mendatangi mereka dengan membawa segepok uang, bukan perjuangan formal fungsi wakil rakyat.

Padahal, selama empat tahun duduk di parlemen, saya sudah melalui banyak proses untuk menanamkan bagaimana berdemokrasi yang baik dan jujur. Tidak hanya lewat pendidikan, tapi juga pemberdayaan masyarakat. Dalam skala lebih besar, kebutuhan warga tersebut diperjuangkan dalam sebuah kebijakan. Misalnya, pendidikan gratis dan sektor kesehatan yang berdampak luas.

Proses pembuatan kebijakan (untuk mewujudkan janji) itu pun tidak mudah. Butuh goodwill dari pemerintah dan anggota legislatif secara kelembagaan. Tentu saja juga harus dipikirkan kemampuan keuangan daerah. Ketika semua memenuhi, baru bisa berjalan.

Tetapi, ketika memasuki masa kampanye sesungguhnya, kami masih saja dimintai ''sesuatu'' (bahkan lebih banyak kepentingan personalnya ketimbang kepentingan publik). Sangat dilematis. Menuruti berarti mengingkari hati nurani karena tidak ada pembelajaran politik di sana. Bahkan cenderung mendukung praktik money politics yang selama ini berusaha diminimalkan. Tidak dituruti khawatir kehilangan pemilih. Sementara itu, kita sedang berada dalam tahap point of no return, titik ketika kita tidak bisa kembali lagi ke awal.

''Jangan salahkan rakyat,'' kata Lenin. Saya sangat sepakat dengan hal itu. Tetapi, yang harus dicermati, caleg dan pemilih sama-sama rakyat. Jadi, jangan menganggap caleg bukan bagian dari rakyat. Karena itu, saya rasa dua-duanya merupakan bagian dari rakyat yang masing-masing memiliki peran penting. Karena itu, tentu ada kebenaran dan kesalahan pada kedua pihak tersebut. Bisa jadi pemilih merasa bosan dengan janji para caleg yang dianggap cenderung lupa ketika terpilih. Atau, para caleg kecewa akan perolehan suara yang tidak sesuai dengan janji konstituennya.

Lalu, masih bisakah keadaan itu diperbaiki? Tentu itu bukan hanya tugas pemilih dan caleg. Semua unsur harus terlibat dalam perbaikan moral bangsa ini. Parpol memegang peran yang sangat penting untuk merekrut orang-orang yang pantas menjadi wakil rakyat untuk masuk dalam barisan calegnya. Rekrutmen akan lebih baik jika dilakukan sejak awal. Misalnya, setelah pileg ini selesai, tidak pada detik-detik akhir menjelang pemilu. Dengan begitu, parpol bisa melakukan pengaderan dan memenangkan hati rakyat dengan biaya rendah.

Yang juga tidak kalah penting adalah membangun komunikasi antarparpol untuk membuat komitmen bersama. Yaitu, menghindari politik uang atau pembelian suara rakyat (politik transaksional). Parpol juga harus memberikan sanksi tegas kepada caleg jika melanggar komitmen itu. Sadarkan bahwa hasil tidak bisa berdiri sendiri karena menjadi bagian tidak terpisah dari sebuah proses yang baik. Masyarakat juga harus disadarkan terhadap bahaya money politics.

Siapa yang harus turun tangan? Tentu saja, kembali lagi, parpol. Parpol harus punya bidang kemasyarakatan yang bekerja sepanjang tahun memantau kondisi masyarakat (bukan buka kantor lima tahun sekali). Dan tentu saja seluruh unsur masyarakat, dalam hal ini akademisi, LSM, sampai tingkat pemimpin di organisasi pemerintahan terbawah, yakni RT dan RW. Mereka harus ikut menjadi agent of change.

Kondisi sekarang ini ibarat penyakit kronis yang sangat berbahaya bagi kesehatan demokrasi. Jangan sampai demokrasi yang kita bangun dengan susah payah melalui proses reformasi dengan cucuran keringat, air mata, dan darah hancur oleh penyakit yang bernama money politics. Dibutuhkan banyak ''dokter spesialis'' untuk menyembuhkan penyakit kronis tersebut. Baik itu pendidikan politik oleh parpol, fatwa ulama, penanaman kejujuran dalam keluarga dan sekolah, pembiasaan kejujuran, pemberian teladan dari orang terpandang, bahkan tindakan hukum yang tegas dan adil.

Optimisme saya tidak berkurang. Saya tetap yakin Indonesia bisa menjadi negara yang sukses berdemokrasi tanpa banderol harga. Hanya, memang butuh waktu. Tapi, ayo kita buat jangan terlalu lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar