Sabtu, 26 April 2014

Kendala Inklusi Keuangan

Kendala Inklusi Keuangan

Krisna Wijaya  ;   Praktisi dan Pengamat Perbankan
KOMPAS, 26 April 2014

        
                                                             
Inklusi keuangan didefinisikan sebagai upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap lembaga keuangan formal yang dapat memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan (Franklin Allen, et al, 2013).

Sementara lembaga keuangan formal yang dimaksud adalah bank sebagai lembaga intermediasi. Alasannya, melalui bank, masyarakat yang memiliki rekening dapat meningkatkan tabungannya (Aportela, 1999) dan melakukan investasi yang produktif (Dupas dan Robinson, 2009). Bank Dunia telah melakukan kajian terkait dengan inklusi keuangan dalam format yang disebut Global Financial Index (Global Findex, 2012).

Ada yang menarik dari data Global Findex terkait dengan inklusi keuangan di Indonesia. Dengan menggunakan kriteria orang dewasa dengan batasan usia 15 tahun ke atas, ternyata hanya  20 persen dari rakyat Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan resmi.   Angka tersebut di bawah Filipina (27 persen), Malaysia (66 persen), Thailand (73 persen), dan Singapura (98 persen).

Informasi menarik lain, dalam hal kemampuan memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat Indonesia ternyata juga masih rendah. Indikatornya adalah jumlah rekening bank per 1.000 penduduk usia dewasa, yang pada 2011 angkanya 505. Angka tersebut juga masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang
sudah mencapai 2.063 dan 1.449. Kondisi yang sama dialami Indonesia dalam konteks jumlah rekening kredit per 1.000 penduduk usia dewasa. Angka untuk Indonesia adalah 197, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing 964 dan 272.

Akselerasi program inklusi

Dengan masih rendahnya angka Global Findex untuk Indonesia, maka pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya akselerasi program inklusi keuangan di Indonesia dilakukan?

Ada beberapa pemikiran yang bisa dikaji lebih lanjut. Pertama, tinggi rendahnya angka Global Findex bisa disebabkan oleh banyak faktor. Namun, dengan memperhatikan hasil penelitian yang dilakukan peneliti Bank Dunia, ada beberapa penyebab yang berlaku universal, antara lain karena faktor jarak sehingga aksesnya tidak mudah, kesulitan dalam memenuhi persyaratan dokumentasi dari pihak bank, dan masalah kepercayaan kepada bank (Demirguc Kunt and Leora Klapper, 2012).

Perbankan nasional diharapkan lebih mendekatkan diri kepada masyarakat yang belum terjangkau oleh akses perbankan. Misalnya, melalui perluasan jaringan layanan, baik secara fisik berupa kantor cabang, cabang pembantu, maupun membuka kios-kios layanan. Di samping itu, dapat juga dilakukan melalui perluasan jaringan secara branchless melalui layanan transaksi secara elektronik, seperti SMS dan atau internet.

Hal lain yang dapat dilakukan oleh pihak perbankan adalah dengan melakukan redesain produk perbankan, baik kredit, simpanan, maupun jasa. Redesain tersebut dapat dilakukan, misalnya, melalui penyederhanaan proses dan pemenuhan persyaratan administrasi yang disesuaikan dengan situasi, kondisi,  dan kemampuan nasabah.

Kedua, untuk melakukan peningkatan akses, diperlukan perubahan paradigma dalam tata kelola perbankan. Tanpa adanya perubahan paradigma, bank  cenderung menjadi bagian dari faktor penghalang  (barriers to entry) akses.  Untuk mengubah kecenderungan bank memosisikan diri sebagai faktor penghalang diperlukan dukungan pemerintah.

Studi yang dilakukan oleh Pete Sparreboom dan Eric Duflos (2012) mengungkapkan, dukungan pemerintah terhadap program inklusi keuangan sangat besar.

Apa yang disampaikan Sparreboom  dan Eric Duflos diperoleh dari kajian program inklusi keuangan di Tiongkok. Dengan kemauan politik kuat, program inklusi keuangan di Tiongkok termasuk berhasil dengan melakukan berbagai penyesuaian regulasi perbankan. Kemauan politik itu yang memungkinkan program inklusi di Tiongkok menjadi komitmen nasional.

Kedua langkah ini, jika dilaksanakan, dapat memperjelas kepemilikan (ownership) dan rasa memiliki (sense of belonging) program inklusi keuangan. Dua variabel itulah yang sebenarnya menyebabkan program inklusi keuangan di Indonesia saat ini hanya berjalan apa adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar