Badan
Pelindung Koruptor
M Bashori Muchsin ; Guru besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas
Islam Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2014
SEBENARNYA sudah lama institusi
pemeriksa keuangan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) `ditersangkakan'
oleh publik dan distigmatisasikan menjadi `badan pelindung koruptor'.
Pasalnya, sudah beberapa kali, di luar kasus mantan Ketua BPK Hadi Poernomo
ini, tidak sedikit pilar-pilarnya yang terlibat penyalahgunaan jabatan, baik
ketika masih menduduki jabatan tertentu di instansi lain maupun ketika
menjadi elemen BPK.
Meski oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Hadi Poernomo sudah ditetapkan menjadi tersangka, publik sudah
tidak kaget. Mengapa demikian? Selain sudah banyak oknum di lembaga pemeriksa
yang berpenyakitan imoralitas profetiknya, juga realitas problem korupsi
sendiri yang masih mengultur dan menstruktur sehingga membuat koruptor bisa
muncul dan berada di mana-mana.
Mulai dari ranah kementerian,
parlemen, Komisi Yudisial (pengawas peradilan) hingga Mahkamah Konstitusi,
misalnya, merupakan institusi yang mendahului atau menyertai BPK, yang
beberapa oknumnya sudah diseret ke meja hijau akibat penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power). Lembaga-lembaga
strategis yang dipercaya rakyat ini ada oknumnya yang telah terjerumus
menjadi institusi yang menciptakan pembohongan publik dengan cara memainkan
jabatan mereka untuk mendapatkan uang, mulai mengamankan, meloloskan, hingga
mendesain dirinya sendiri menjadi koruptor.
Dugaan BPK bermain-main dengan
kasus korupsi misalnya dapat terbaca dalam audit Century dan Hambalang. Suatu
ketika, anggota Badan BPK Taufiequrachman Ruki mencurigai hasil audit
investigasi BPK atas proyek pusat olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat,
diintervensi. Namun, lucunya setelah ramai jadi opini, Ruki justru meralat
ucapannya. Ruki mengatakan tidak ada intervensi terhadap BPK. Yang benar
ialah BPK memang belum merampungkan audit atas Hambalang. Meskipun ada ralat
demikian, dari pemeriksaan (temuan) awal menyebutkan BPK menemukan adanya
uang muka proyek itu mengalir ke sejumlah korporasi. BPK kemudian mengkaji
apakah pemberian uang muka itu sesuai aturan underlying transaction atau tidak.
Yang dibaca oleh publik adalah
perubahan sikap Ruki. Sehingga logis jika publik bertanya, ada apa dengan BPK
atau apa sejatinya yang sedang terjadi di BPK? Pertanyaan demikian logis
ditembakkan kepada pimpinan BPK, karena badan auditor negara ini bertanggung
jawab di ranah audit megaproyek yang sarat dengan muatan politik.
Perlindungan istimewa
Terlepas kasus Ruki itu,
pelajaran besar diberikan lewat kasus Hadi Poernomo. Pasalnya, kasus ini
semakin menunjukkan lembaga pengawas keuangan atau cegah tangkal korupsi ini terlibat
dalam `pengadvokasian’ atau perlindungan korupsi-korupsi istimewa. Korupsi pajak
merupakan jenis kasus korupsi istimewa, yang semestinya menjadi prioritas
BPK. Namun, karena ketuanya sendiri (saat menjabat Dirjen Pajak) pernah
`bermain-main' dengan korupsi pajak, ini layak di jadikan indikasi yang
meniscayakan kalau tidak sedikit korupsi lainnya yang bukan tidak mungkin
`diamendemen' (direkayasa) atau diendapkan oleh oknum BPK.
Sosiolog V Modrick pernah
menyatakan, “Saat di masyarakat banyak
tumbuh subur penyakit penyimpangan jabatan, bisnis kekuasaan, penyalahgunaan
etik profesi, atau kriminal elite berlaku arogan, eksklusif, dan pintar
mengadaptasikan kekuasannya, itu menandakan kalau korupsi masih jauh dari
harapan untuk bisa dihentikan.“
Pernyataan sosiolog itu
menunjukkan membaca dan memahami model penyimpangan kekuasaan yang berdaya
dan menggurita dalam suatu negara atau pemerintahan harus dilakukan melalui
sikap atau perilaku aparat penegak hukum dan pengawas pembangunan. Juga,
masyarakat harus ditempatkan dalam koridor embrio kriminal isasinya secara
eskalatif ataupun masif.
Tidak akan sampai terjadi dan
marak kejahatan elitisme kalau masyarakat atau sekelompok pejabat negara mau
dan mampu menunjukkan semangat militansinya untuk mencegah dan memerangi
korupsi.
Ketika sikap kelompok elite
pengawas pembangunan atau keuangan negara tetap tidak konsisten saat
berperang me lawan penja hat kelas elitis, inkonsistensi ini layak dibaca
sebagai wujud peng adaan `bungker' bagi komunitas elitis yang sedang atau
bermaksud memekarkan dan bahkan mengabsolutkan malapraktik jabatan atau
kewenangan.
Lembaga-lembaga strategis bisa
tergelincir menikmati atmosfer sebagai `badan pelindung atau pemproduksi
korupsi', bilamana mereka tetap menjatuhkan opsi untuk memberikan yang
terbaik pada kroni, keluarga, dan diri sendiri jika dibandingkan dengan
memberi yang terbaik pada Bumi Pertiwi.
Opsi seperti itu identik dengan
pembenaran berlakunya virus kronis atau `kanker' mematikan (korupsi). Elemen
yang memilari lembaga negara bukannya menjadi institusi yang berdiri di garis
depan jihad melawan penyakit, melainkan memilih jadi pengaman dan bahkan
pendesain penyebaran virus.
Orde korupsi
Seharusnya mereka memahami
korupsi itu berelasi dengan akar kriminogen yang tumbuh dan subur dalam suatu
institusi strategis yang sarat penyakit, atau menghalalkan bersemainya
beragam malversasi dan anomali. Kalau dalam institusi itu tumbuh subur pola
bersikap dan berperilaku yang menoleransi dan memberikannya ruang
liberalisasi praktik-praktik deviasi atau paradoksal dengan tatanan (rule of game), korupsi tidak akan
sampai mengerucut dalam piramida absolutisme dan mencapai apa yang populer
distigma `orde keemasan korupsi'.
BPK memang hanya salah satu
sampel dari sekian banyak lembaga negara yang dicabik-cabik koruptor. Meski
hanya salah satu sampel, jika sampelnya terus berganti-ganti wajah, ini
menandakan kesuksesan koruptor dalam menciptakan atau membentuk `negara
baru', dengan negara ini yang menjadi miniatur sejatinya negara formal. Kesuksesan
koruptor ini berpangkal pada pola pengelolaan rezim yang masih kental
menggunakan paradigma politik pengistimewaan atau pemihakan. Dalam ranah
seperti inilah, koruptor sukses menciptakan liberalisasi sepak terjangnya.
Ruang liberalisasi itu pernah
disebut oleh Ac Viday (2007), bahwa `kontribusi' terbesar bagi merajalela dan
mengguritanya penyakit menyimpang di zona elitisme, adalah akibat komunitas
elitis yang dimanjakan atau mendapatkan berkah dari politik pengistimewaan
yang digelar oleh para kroninya.
Seperti kata Viday itu, kita
semestinya melakukan introspeksi bahwa gampang munculnya koruptor di balik
ketiak kekuasaan atau jabatannya, tidak lepas dari sikap kita yang `tidak
istimewa' dalam menghukum (menghakimi) koruptor. Koruptor tidak kita perlakukan
sebagai penjahat keji dan serius yang mengambil hak-haknya, dan sebaliknya
terbatas sebagai elite yang suka membohongi dan membodohi negara.
Kita hanya
menonton KPK menangkap berbagai tersangka koruptor dan kita terbatas pula
menyerahkan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksinya. Padahal, kita
sebenarnya selain bisa mengefektifkan wasmas (pengawasan masyarakat), juga
bisa menghukum secara radikal.
Menghukum secara radikal itu
bisa diwujudkan dalam bentuk mengalienasikan diri dan keluarganya. Penjatuhan
hukuman berlapis sudah menjadi kewenangan hakim secara istimewa untuk
membuatnya jera dan menciptakan `virus' efek edukatif kepada generasi muda
atau pejabat-pejabat lain yang belum terinfeksi korupsi. Namun, menghukum
keluarga mereka yang tidak sedikit di antaranya yang menjadi `unsur
pendukung' korupsi mereka dapat menciptakan ketakutan besar pada setiap
elemen kekuasaan (negara).
Siapa pun elemen bangsa ini,
khususnya para pejabat, yang masih berpikiran normal tentulah mengakui kalau
korupsi merupakan kejahatan yang terbilang serius atau penyakit kanker yang
potensial menghancurkan leburkan negeri ini. Siapa yang bersikap apatis dan
tidak menunjukkan sikap radikalismenya itu terhadap koruptor, lubang-lubang
yang membuat koruptor bisa banjir di mana-mana mustahil bisa ditutup. Jadikan
koruptor sebagai common enemy. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar