Pemilu
yang Terluka
Margarito Kamis ; Doktor
Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar
FH. Univ. Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 14 April 2014
Tanggal 9 April 2014,
yang baru saja berlalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melangsungkan
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPD; pileg. Sebagian besar warga negara
Indonesia yang telah memenuhi syarat hukum telah menunaikan haknya, memilih
wakil mereka untuk memangku jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD. Namun,
sebagian masih harus memilih lagi dalam pemungutan suara ulang, karena ada
luka di sana-sini pada pileg 9 April 2014 itu.
Pemulihan
Sungguh, tak sedikit
luka itu. Luka itu disebabkan oleh sejumlah hal. Ada surat suara tertukar.
Ini terjadi pada lebih dari 500 tempat pemungutan suara (TPS). Luka itu
sebagian di antaranya dilakukan oleh petugas pemungutan suara. Mereka
mencoblos surat suara sebelum waktunya. Tidak itu saja, masih ada juga luka
lain, yang tak kalah memilukan.
”Bagi-bagi uang,” untuk tak menyebut jual-beli suara. KPU,
hebatnya, mengakui sebagian luka-luka itu. Tertukarnya surat suara pada lebih
dari 500 TPS, begitu juga pencoblosan yang dilakukan oleh petugas PPS diakui
oleh KPU. Jujur, pengakuan dan pengulangan pemungutan suara itu hebat.
Pengulangan pemungutan surat suara, yang sebagian telah dilaksanakan,
menandai betapa rindu KPU menjadikan pemilu kali ini berintegritas, bukan
sekadar rindu.
Luka-luka itu bukanlah
luka biasa. Luka itu bersifat fundamental, karena ”menangguhkan” hal yang
dalam esensinya bersifat fundamental, yaitu hak memilih. Setiap individu
adalah tuan bagi dirinya sendiri. Siapa pun yang hendak memimpin mereka harus
mendapat persetujuan, langsung atau tidak langsung, dari mereka. Pemilu
adalah atribut konstitusionalisme untuk mendapat persetujuan itu. Itulah
esensi pemilu.
Bersebab itulah, tak
boleh ada luka dalam cara memperoleh persetujuan mereka. Pemungutan suara
ulang, pada titik ini menjadi niscaya. Secara hukum, pemungutan suara ulang,
bukan atau tidak sama nilai dan makna hukumnya dengan pemilihan lanjutan atau
susulan. Pemungutan suara ulang bermakna hukum pemungutan suara telah
dilangsungkan, tetapi terjadi kekeliruan proses.
Terdapat tiga hal yang
menjadi sebab diadakan pemungutan suara ulang. Ketiga sebab itu adalah; a)
pembukaan kotak surat suara dan penghitungan surat suara dilakukan secara
tidak sah; b) petugas KPPS memberi tanda khusus pada surat suara; c) petugas
KPPS merusak surat suara lebih dari satu. Ketiga hal ini diatur dalam pasal
221 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD.
Ketiga sebab ini dapat
disederhanakan menjadi sebab kekeliruan prosedur. Menariknya tak satu pun
ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menunjuk tertukarnya surat suara sebagai
sebab dilakukan pemungutan suara ulang. Tetapi faktanya, tertukarnya surat
suara pada lebih dari dua puluh provinsi, ditunjuk sebagai sebab dilakukan
pemungutan suara ulang di provinsi-provinsi itu.
Sahkah pemungutan
suara ulang yang dilaksanakan berdasarkan surat suara tertukar? Secara hukum,
sekalipun sebab itu tidak ditunjuk oleh Pasal 221 ayat (2), tetapi sah
dijadikan dasar dilakukan pemungutan suara ulang. Mengapa? Pertama, nama
calon anggota DPR atau DPD atau DPRD bukanlah calon pada daerah pemilihan,
tempat surat suara tertukar itu melangsungkan pemungutan surat suara.
Kedua, bila surat yang
tertukar itu disahkan, pengesahan itu sama nilainya hukumnya dengan
menghilangkan wilayah hukum, dapil. Penghilangan ini tidak sah. Ketiga, bila
tertukarnya surat suara, dijadikan dasar oleh pemilih tidak mau menggunakan
hak pilihnya, maka tertukarnya surat itu bernilai hukum sama dengan KPU sengaja
menghilangkan hak memilih warga negara.
Ringkasnya, pemungutan
suara ulang harus dinilai sebagai tindakan pengembalian atau pemulihan,
selain hak pilih warga negara, juga menegakan konstitusionalitas pemilu.
Makna lainnya adalah memulihkan kepastian hukum pemilu. Pulihnya
konstitusionalitas pemungutan suara ulang, dengan sendirinya mengesampingkan,
misalnya, derajat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara ulang itu.
Jangan Toleransi
Praktis, tertukarnya
surat suara dan coblos duluan bisa dikoreksi. Bagaimana dengan bagi-bagi
uang, money politics, yang
dikeluhkan oleh sejumlah calon anggota DPR? Dapatkah luka ”busuk” ini
dipulihkan? Bila bisa, bagaimana caranya? Inilah soal, yang masih mengintai
derajat konstitusionalitas pemilihan umum DPR dan DPRD, yang belum selesai
tahapan penyelenggaraannya pada saat ini.
Para pemilih,
sekurang-kurangnya sebagian di antaranya, yang menerima uang tentu telah
mengetahui tabiat sebagian wakil mereka. Berkali-kali sudah teridentifikasi
betapa manisnya janji-janji mereka selama kampanye. Namun, manisnya itu
segera berubah menjadi pahit sepahit-pahitnya kala mereka terpilih. Merayu di
awal, setelah itu mencampakkan.
Membuai di awal, dan
menyepelekan setelah itu, telah teridentifikasi oleh pemilih sebagai tabiat
khas sebagian, untuk tak menyebut seluruh caleg. Mungkin itu sebabnya para
pemilih, sekurang-kurangnya sebagian di antaranya, hendak menghukum mereka
dengan cara menjual suaranya. Boleh jadi pula, para caleg yang bagibagi uang
kepada pemilih, tahu bahwa hanya dengan cara itu, mereka bisa terpilih.
Urusan terpilih
menjadi segala-galanya, mengalahkan mulianya suara, yang disifatkan secara
simbolis sebagai vox populi vox dei.
Mereka yang terpilih dengan cara membeli suara pemilih di satu sisi,
berlawanan dengan mereka yang kalah, karena tidak membeli suara di sisi lain,
jelas bukan perkara sepele. Bukan karena caleg pemberi uang yang terpilih itu
tidak akan berfaedah buat bangsa dan negara ini, melainkan lebih dari itu.
Mendapatkan suara
dengan cara membeli, sama nilai hukumnya dengan mendapatkan hak dengan cara
yang tidak sah. Pada titik ini, urusannya bergeser menjadi ketidakadilan
pemilu. Memidanakan caleg itu adalah jalan yang tersedia dalam hukum pemilu
saat ini. Tetapi bagaimana caranya? Bagaimana bila KPU diam saja, dan Bawaslu
atau Panwaslu meresponsnya dengan cara terlalu banyak bicara tentang bukti
ini dan bukti itu yang rumit mendapatkannya?
Biarkan sajakah caleg
ini melenggang masuk ke DPR? Andai KPU dan Bawaslu tak memiliki cukup waktu
menelusuri, dan menemukan bukti yang cukup untuk memidanakan, para caleg yang
sedapil yang tersingkir, mesti memiliki rindu untuk menyengketakannya ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Rindukan pula semoga MK tidak ”tenggelam” dalam paradigma ”utilitarianisme”,
paradigma yang menuhankan ”kemanfaatan”
dalam berhukum.
Bila bangsa ini
sungguh merindukan eloknya konstitusionalisme berpemilu, dengan mengandalkan
MK di garda terdepan, maka tindakan money
politics itu harus dikoreksi. MK mesti memastikan bahwa money politics adalah tindakan melukai
derajat konstitusionalitas pemilu.
MK tidak boleh ragu.
Bila tidak memerintahkan coblos ulang di dapil itu, pastikanlah bahwa caleg ”money politics” didiskualifikasi.
Itulah satu-satunya cara konstitusional yang dapat diambil oleh MK dalam
mengobati luka pemilu ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar