Sabtu, 26 April 2014

Kepemimpinan Imajinatif

Kepemimpinan Imajinatif

Asep Salahudin  ;   Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat,
Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
KOMPAS, 26 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kepemimpinan nasional itu bukan   sekadar kecakapan mengelola   birokrasi, memobilisasi massa, memimpin partai, populis, memiliki pengetahuan luas, trah dari seorang tokoh, apalagi  hanya sekadar kepandaian membangun citra dan keterampilan   mengoperasikan rasa takut bagi khalayak. Namun, seseorang yang memiliki imajinasi kuat, dapat membuka hijab masa depan, dan mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.

Ini juga yang menjadi sebab Albert Einstein bilang bahwa imajinasi itu jauh lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan dan persyaratan formal. Seandainya manusia pergerakan tidak memiliki modal imajinasi menjulang, saya tidak membayangkan entah kapan negeri kepulauan ini bisa terbebas dari cengkeraman kaum kolonial, dari sengketa puak dan etnik yang mengepung Nusantara dengan agenda yang bisa jadi berbeda. Seperti acap kali terjadi dari sekian perang antarsuku pada masa kerajaan tempo dulu.

Inilah yang dilakukan   Muhammad Yamin dan kaum muda lewat puisi Sumpah Pemuda yang digelorakan   di Jalan Kramat Raya No 106, Jakarta Pusat. Mencanangkan ”keindonesiaan”, padahal ”negara” secara resmi belum terbentuk. Bukan saja membayangkan tumpah darah yang bersatu lengkap dengan bahasa Melayu yang menjadi  lingua franca-nya di hadapan 500 lebih bahasa ibu yang hidup di Bumi Pertiwi.

Kemerdekaan ternyata bermula dari jangkar daya imajinasi. Dari puisi dan kemudian diplomasi. Bukan berawal dari   senjata, tentara, dan laskar berani mati yang mudah dipatahkan kekuatan yang lebih lengkap persenjataannya. Negara dibangun tidak   berdasarkan   advertensi pada   pekan raya pemilu dan hiruk-pikuk pilpres   yang dirutinkan dan kemudian tiba-tiba tak ubahnya bursa partai tempat para calon pemimpin sibuk mencari kawan koalisi setelah suara dihitung menjadi angka, melainkan melalui gagasan luhur, cerdas, dan ideologi yang jelas.   Betul apa yang ditulis Martin Heidegger , ”language is the house of being”.  Gagasan sebagai rumah kehidupan. Gagasan sebagai halaman depan sebuah bangsa.

Pemimpin imajinatif hanya dimungkinkan ketika mereka karib dengan kitab dan bacaan, akrab dengan literasi dan ilmu pengetahuan, bersahabat dengan perdebatan diskursif, dan tentu saja menyatu dengan khalayak yang diwakilinya sebagai ekspresi bahwa politik adalah ”tindakan”, politik sebagai kompas ke arah emansipasi sosial dan  social imaginary.   Perjuangan sebagai, meminjam Rendra, pelaksanaan kata-kata.

Deklarasi dan fantasi publik

Hanya pemimpin imajinatif yang bisa menulis ”Indonesia” ketika negara ini belum terbentuk, bahkan belum diproklamasikan. Seperti Tan Malaka yang menulis dari tanah pelarian , Naar de Republiek Indonesia  (Menuju Republik Indonesia), pada 1925, yang dibilang Yamin tak ubahnya Thomas Jefferson mengimajinasikan kemerdekaan bangsanya sebelum bangsa itu benar-benar merdeka; Hatta menulis Indonesia Merdeka (Indonesia Vrije) sebagai pleidoi di Den Haag (1928); dan Bung Karno pada 1933 dengan heroik menulis ”Menuju Indonesia Merdeka”.

Indonesia yang merdeka sebelum benar-benar dideklarasikan di Jalan Pegangsaan Timur dengan rumusan yang sesingkat-singkatnya terlebih dahulu menjadi bagian integral dari imajinasi kaum pergerakan yang kemudian   dipidatokan di depan massa sehingga akhirnya menjadi fantasi publik, menjadi kebutuhan bersama. Bagi   kaum beragama, dibubuhkannya keyakinan metafisis-transendental bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari  jihad fi sabilillah. Seperti terbaca, di antaranya, dari resolusi jihad yang digemakan Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945   yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari  dan KH Wahab Hasbullah. Resolusi yang berisi seruan NU yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia untuk berjuang membela Tanah Air dari penguasaan kembali pihak Belanda beberapa saat setelah Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta.

Di sisi lain, ini juga yang menjadi alasan utama secara teoretik   Benedict Anderson   dalam  Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (1983) meneguhkan  bahwa Indonesia adalah negara unik yang dibangun tidak berangkat dari  nation state  yang kukuh, tapi melalui imajinasi kewarganegaraan yang   dipandu para pemimpinnya. Tidak ditegakkan lewat konsensus etnik yang solid  , tapi semata berdasarkan bagaimana para pemimpin itu ”berdiskusi” tentang ruang publik dengan seperangkat aturan yang dibayangkan dapat menjadi landasan utama negara tetap kukuh dalam kebinekaan, bersatu dalam kemajemukan etnik, budaya, ras, dan agama.

Negara Indonesia sebagai komunitas imajinatif seperti ini hanya bertahan pada kekuatan haluan imajinasi yang dibangun para pendiri bangsa.   Secara kultural kepada sesuatu yang seandainya kita renungkan masih ”abstrak” seperti
makhluk Garuda dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang konon   terdapat dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular, seorang pujangga yang hidup pada masa Hayam Wuruk abad ke-14 (1350-1389).

Surplus pencitraan

Pemimpin dengan kekuatan energi imajinasi inilah yang hari ini mengalami defisit sehingga yang kita temukan di tengah   melimpahnya para calon pemimpin lengkap dengan gelar akademiknya justru nalarnya sangat pendek.

Imajinasi kebangsaan yang punah dari memori para pemimpin yang membuat kemudian   kita dikepung wabah berpikir menikung dan sesat, seperti politik transaksional, pragmatisme, dan dagang sapi. Pemilu yang seharusnya menjadi sirkulasi yang melahirkan negarawan maka   tidak ubahnya pesta: riuh dengan sesuatu yang artifisial, gaduh dengan persoalan berjangka pendek, dan cenderung tertumpu pada hasrat menyenangkan partai, kaum, dan kelompoknya. Pada awal abad ke-21 justru masih belum beringsut dari diskusi primitif ihwal politik aliran.

Imajinasi hilang dari para akademisi yang membuat kampus (dan sekolah) tak ubahnya pabrik. Hanya mengejar kuantitas mahasiswa dan alpa bahwa substansi pendidikan adalah melahirkan calon pemimpin   yang bisa berpikir merdeka dan imajinatif, mampu membebaskan lingkungan dari keterpurukan, bisa melakukan penelitian berharga. Bahkan, dengan tragis kerumunan akademisinya alih-alih memerankan diri sebagai kaum intelektual organik dan otentik seperti dibayangkan Gramsci dan Edward Said, tapi terserap dalam politik kampus memperebutkan jabatan struktural dan atau melakukan aib plagiasi menaikkan jabatan seperti kerap terjadi akhir-akhir ini.

Imajinasi hilang dari pemimpin agama menjadi muasal mereka hanya berpikir segala sesuatu harus diselesaikan lewat optik syariat yang telah terdefinisikan secara sepihak. Dan, di luar itu dianggap liyan yang sesat dan bidah.

Bahkan, tak sedikit bukan sekadar mencerminkan pihak yang   kehilangan imajinasi, tapi menggambarkan pikir sesat   hendak menerapkan politik khilafah abad pertengahan dalam konteks keindonesiaan, menggerus yang dipandang mungkar dengan cara tak makruf, berhasrat mendirikan ”negara Islam” dengan preferensi yang tak jelas ujung pangkalnya, kecuali sekadar mencerminkan kedangkalan nalar, kemalasan berijtihad, dan selebihnya kegagapan melihat ruang bangsa yang plural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar