Pemaknaan
Spirit Kartini
M Teddy Sulistio ;
Ketua DPRD Kota Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 21 April 2014
Peringatan Hari Kartini umumnya diisi berbagai kegiatan yang
bernuansa perempuan, adakalanya hingga akhir April. Kegiatan itu mayoritas
melibatkan perempuan, dari tingkat TK hingga SLTA, bahkan pekerja, baik
pemerintah maupun swasta. Di Jateng, kita menyaksikan banyak
pengimplementasian pelaksanaan peringatan itu yang kurang tepat.
Termasuk yang dilakukan pengambil keputusan pada lembaga
pemerintah, bahkan oleh kaum Kartini. Mereka mengisinya dengan gebyar busana
kebaya, atau lomba antaribu/wanita.
Sejatinya perwujudan itu tak sejalan dengan inti pemikiran
Kartini, yang ingin membebaskan kaumnya dari keterbelengguan dan kebodohan.
Ironisnya, pengambil keputusan mengisi peringatan Hari Kartini dengan
kegiatan yang tidak senapas dengan spirit Kartini. Kita bisa melihat
karyawati bank atau wanita penjaga pintu tol mengenakan kebaya lengkap dengan
aksesorinya.
Selain itu, ada lomba memasak, memasang sanggul, merias wajah
dan sebagainya. Raden Adjeng (RA) Kartini adalah sosok wanita yang antusias
memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kaumnya, tidak semata-mata
identik dengan memakai kebaya, sanggul atau aksesori lain keperempuanan.
Ia cermin sosok yang bisa memerdekakan harkat dan martabat
kaumnya yang waktu itu terkungkung dan terbelenggu. Dalam perjalanannya,
semangat Kartini acap termanifestasikan dalam perayaan semata, yang identik
dengan kesenangan dan kenikmatan.
Berpestapora kendati hal itu tidak menyenangkan bagi kaum papa.
Tanggal 21 April berubah menjadi hanya peristiwa seremonial. Pada hari itu
hampir selalu diadakan fashion show kebaya, lomba memasak atau bersanggul dan
sebagainya. Memang tidak ada yang salah mengisinya dengan aneka lomba.
Namun hal itu bisa membuat kita memaknai secara lain spirit
Kartini. Padahal dari sudut pandang sejarah, pemikirannya dalam meningkatkan
pendidikan sangat luar biasa. Ide-ide besarnya lewat suratnya kepada
Abendanon memberikan inspirasi dan mengilhami perjuangan kaumnya.
Pemikirannya tentang pengembangan pendidikannya mampu menggugah
bangsa ini dari belenggu diskriminasi. Karena itu, patut disayangkan bila
pada saat sebagian rakyat kita masih hidup dalam kesusahan, sebagian pejabat
kita malah menyelenggarakan peragaan kebaya, lomba memasak dan sebagainya.
Mengubah Paradigma
Bung Karno menuliskan petuah tentang pengabdian bagi para
pengambil keputusan yang begitu mendalam, ’’Orang tidak dapat mengabdi kepada
Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuk
si miskin’’. Tidak ada yang salah memperingati Hari Kartini dengan kegiatan
seremonial.
Namun bila berlebihan itu bisa diartikan mendegradasi cita-cita
Kartini. Wanita pemulung yang bekerja keras supaya anaknya tetap dapat
bersekolah, itu pun seorang ’’Kartini’’. Perempuan yang menjadi tukang parkir
agar anaknya tetap bisa makan, juga ’’Kartini’’.
Baru-baru ini, saya ’’ditangisi’’ dua anak, yang bapak-ibunya
meninggal dunia, terseret arus Sungai Kalitaman Salatiga. Sementara saya juga
mendengar istri-istri pejabat sibuk rapat untuk mengadakan peringatan Hari
Kartini, bahkan menggelar atau mengikuti fashion show.
Lalu siapa yang akan ’’memerdekakan’’dua anak itu? Perjuangan
Kartini, juga Tjoet Nja’ Dhien, Tjoet Meutia, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang,
Nyai Ahmad Dahlan dan sebagainya, melewati jalan panjang dan beronak duri.
Mereka berjuang, ada yang mengangkat senjata, melalui
organisasi, jalur pendidikan ataupun upaya lain. Kenapa harus fashion show
kebaya atau lomba memasak? Lalu siapa yang akan ’’memerdekaan’’ wong cilik
dan wanita papa? Kartini dengan cita-cita, tekad, dan pengorbanannya mendapat
tempat tersendiri di hati kita.
Ide-ide besarnya menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya
hingga terbebas dari kebodohan. Menghidupkan cita-cita Kartini tidak cukup
hanya dengan seremoni. Lebih utama menjadikan seremoni itu sebagai tonggak langkah
untuk mengubah paradigma atas penderitaan kaumnya yang papa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar