Selasa, 22 April 2014

Kegagalan Politik “Selfie”

Kegagalan Politik “Selfie”

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi, FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 21 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
POLITIK selfie yang dijalankan pemilik media massa, terutama televisi, terbukti gagal dalam ajang Pemilu Legislatif 2014. Para pemilik televisi itu tiap hari dengan frekuensi tinggi hadir di hadapan khalayak.

Mereka bisa tampil dalam tayangan iklan, pemberitaan, kuis, reality show, dan bahkan sinetron. Namun kenapa suara partai yang mereka dukung tak bisa meraih jumlah pemilih secara signifikan? Salah satu jawaban yang pasti adalah aksi selfie mereka tak mengundang simpati publik.

Selfie, sebagaimana diuraikan portal Oxford Dictionaries, adalah foto yang diambil oleh orang yang terdapat dalam foto itu sendiri. Ciri spesifiknya adalah foto itu diambil dengan smartphone atau webcam dan hasilnya diunggah pada situs-situs media sosial. Portal kamus itu menyajikan contoh pemakaian kata selfie dalam kalimat,’’ Kadang-kadang selfie memang bisa diterima, namun mem-posting foto baru Anda sendiri tiap hari adalah tindakan yang tidak perlu.

Hasil selfie itu tidak berdampak kuat terhadap capaian suara partai yang mereka dukung. Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas, hasil itu adalah Partai Nasdem meraih 6,70% suara, Golkar 15,0%, dan Hanura 5,11%.

Tiga partai itu didukung pemilik televisi yang secara konsisten menjalankan politik selfie. Surya Paloh memiliki Metrotv yang secara eksplisit menyuarakan kepentingan Partai Nasdem. Aburizal Bakrie mempunyai Antv dan TVOne yang selalu berteriak tentang Indonesia yang makin “menguning” (kuning adalah warna kebesaran Golkar). Adapun Hary Tanoesoedibjo, yang menggelorakan kesan sebagai figur ”dwi tunggal” bersama Wiranto, dalam berbagai program televisi memprogandakan Hanura.

Ada tiga stasiun televisi yang digunakan pasangan ini sebagai ajang selfie, yaitu RCTI, MNCTV, dan Globaltv. Peluang pasangan ini untuk berpolitik selfie pun sangat luas.

Perolehan suara dari masing-masing partai itu layak dicermati. Sebagai pendatang baru, Nasdem mampu meraih suara lumayan meyakinkan. Ini terjadi karena program restorasi Indonesia sudah lama digaungkan dan struktur partai itu pun terpasang dengan baik. Politik selfie yang dilakukan Surya Paloh tak terlalu berlebihan.

Aksi selfie yang dijalankannya terutama melalui pemberitaan. Hal yang dapat ditegaskan adalah Surya Paloh paham bahwa sosoknya kurang menarik sebagai subjek pemasaran politik. Karena itu, dia lebih mengedepankan partainya dan beberapa figur kaum muda yang menjadi caleg Nasdem. Golkar meraih suara yang tidak meyakinkan untuk aksi-aksi selfie yang dilakukan secara sistematis oleh Ical.

Melalui serangan iklan dan berbagai pemberitaan tentang kehebatan ARB dan Golkar, ternyata suara partai ini tidak mampu jadi pemenang. Raihan suara itu pasti bukan dari hasil aksi-aksi selfie yang dipertontonkan ARB melainkan bahwa Golkar memiliki struktur dan mesin politik yang sudah baik mengingat partai ini sudah lama ada dan begitu mapan sejak rezim Orde Baru.

Kenyataan yang paling mengecewakan dialami Hanura. Berbekal keyakinan sedemikian tinggi, duet politik Win-HTmengoperasikan aksi-aksi selfie dalam berbagai pose (program televisi) dari waktu ke waktu. Misal ’’Kuis Kebangsaan’’yang tiap penelepon harus meneriakkan password ìBersih Peduli Tegasî, slogan untuk pasangan Win- HT. Duet ini pun muncul pada tayangan reality show ’’Mewujudkan Mimpi Indonesia’’.

Pada program ini, Wiranto menyamar sebagai orang awam yang memohon pertolongan. Bahkan, Win-HThadir sebagai bintang tamu pada sinetron yang sangat disukai pemirsa, yakni ’’Tukang Bubur Naik Haji’’. Ironisnya, capaian suara untuk duet ini sungguh di luar dugaan, bertentangan dengan frekuensi selfie mereka.

Perlawanan Khalayak

Hal yang diabaikan pemilik televisi ketika menjalankan aksi-aksi selfie adalah reaksi khalayak. Dalam pemahaman mereka, hanya terbersit ilusi bahwa khalayak pasti senang dan siap mendukung apa pun yang dijalankan dan dikatakan para pemilik televisi. Khalayak dipahami sebagai sekelompok manusia homogen yang berperilaku pasif. Khalayak mereka anggap ember kosong yang siap diisi dengan berliter-liter air.

Cara berpikir itu salah! Khalayak merupakan subjek-subjek sosial yang bersifat aktif dalam memberikan respons terhadap aksi selfie. Dalam deskripsi yang lebih utuh, Stuart Hall menyajikan tiga kemungkinan pembacaan atau pemaknaan yang dilakukan khalayak terhadap pesan yang disampaikan media. Pertama; posisi dominan-hegemonik.

Artinya, khalayak bersikap menerima langsung dan penuh pesan media. Mereka memaknai pesan itu sebagaimana keinginan dari pengirim pesan. Kedua; posisi bernegosiasi. Artinya khalayak bisa menerima secara abstrak pesan yang dikemukakan pengirim Tapi dalam situasi konkret tidak demikian karena ada pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan khalayak berkait situasi nyata yang melingkupinya.

Ketiga; posisi oposisional. Artinya khalayak melakukan perlawanan terhadap pesan-pesan yang disampaikan pemilik media. Khalayak secara aktif menentang. Kegagalan politik selfie pemilik televisi merupakan wujud dari sikap perlawanan yang dilancarkan khalayak.

Sebagai khalayak, mereka mampu bersikap aktif dan menolak tunduk dengan segala perkataan dan kelakuan pemilik televisi yang juga merangkap elite partai. Terlebih lagi dalam arena konstestasi politik khalayak, yang juga berposisi sebagai pemilih, mampu bersikap cerdas terhadap pesan-pesan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar