Kegagalan
Politik “Selfie”
Triyono Lukmantoro ;
Dosen Sosiologi Komunikasi, FISIP
Universitas
Diponegoro Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 April 2014
POLITIK selfie yang dijalankan pemilik media massa, terutama
televisi, terbukti gagal dalam ajang Pemilu Legislatif 2014. Para pemilik
televisi itu tiap hari dengan frekuensi tinggi hadir di hadapan khalayak.
Mereka bisa tampil dalam tayangan iklan, pemberitaan, kuis, reality show, dan bahkan sinetron.
Namun kenapa suara partai yang mereka dukung tak bisa meraih jumlah pemilih
secara signifikan? Salah satu jawaban yang pasti adalah aksi selfie mereka
tak mengundang simpati publik.
Selfie, sebagaimana diuraikan portal Oxford Dictionaries, adalah foto yang diambil oleh orang yang
terdapat dalam foto itu sendiri. Ciri spesifiknya adalah foto itu diambil
dengan smartphone atau webcam dan hasilnya diunggah pada situs-situs media
sosial. Portal kamus itu menyajikan contoh pemakaian kata selfie dalam
kalimat,’’ Kadang-kadang selfie memang bisa diterima, namun mem-posting foto baru Anda sendiri tiap
hari adalah tindakan yang tidak perlu.
Hasil selfie itu tidak berdampak kuat terhadap capaian suara
partai yang mereka dukung. Berdasarkan hitung cepat Litbang Kompas, hasil itu
adalah Partai Nasdem meraih 6,70% suara, Golkar 15,0%, dan Hanura 5,11%.
Tiga partai itu didukung pemilik televisi yang secara konsisten
menjalankan politik selfie. Surya Paloh memiliki Metrotv yang secara
eksplisit menyuarakan kepentingan Partai Nasdem. Aburizal Bakrie mempunyai
Antv dan TVOne yang selalu berteriak tentang Indonesia yang makin “menguning”
(kuning adalah warna kebesaran Golkar). Adapun Hary Tanoesoedibjo, yang
menggelorakan kesan sebagai figur ”dwi tunggal” bersama Wiranto, dalam
berbagai program televisi memprogandakan Hanura.
Ada tiga stasiun televisi yang digunakan pasangan ini sebagai
ajang selfie, yaitu RCTI, MNCTV, dan Globaltv. Peluang pasangan ini untuk
berpolitik selfie pun sangat luas.
Perolehan suara dari masing-masing partai itu layak dicermati.
Sebagai pendatang baru, Nasdem mampu meraih suara lumayan meyakinkan. Ini
terjadi karena program restorasi Indonesia sudah lama digaungkan dan struktur
partai itu pun terpasang dengan baik. Politik selfie yang dilakukan Surya
Paloh tak terlalu berlebihan.
Aksi selfie yang dijalankannya terutama melalui pemberitaan. Hal
yang dapat ditegaskan adalah Surya Paloh paham bahwa sosoknya kurang menarik
sebagai subjek pemasaran politik. Karena itu, dia lebih mengedepankan
partainya dan beberapa figur kaum muda yang menjadi caleg Nasdem. Golkar
meraih suara yang tidak meyakinkan untuk aksi-aksi selfie yang dilakukan
secara sistematis oleh Ical.
Melalui serangan iklan dan berbagai pemberitaan tentang
kehebatan ARB dan Golkar, ternyata suara partai ini tidak mampu jadi
pemenang. Raihan suara itu pasti bukan dari hasil aksi-aksi selfie yang
dipertontonkan ARB melainkan bahwa Golkar memiliki struktur dan mesin politik
yang sudah baik mengingat partai ini sudah lama ada dan begitu mapan sejak
rezim Orde Baru.
Kenyataan yang paling mengecewakan dialami Hanura. Berbekal
keyakinan sedemikian tinggi, duet politik Win-HTmengoperasikan aksi-aksi
selfie dalam berbagai pose (program televisi) dari waktu ke waktu. Misal
’’Kuis Kebangsaan’’yang tiap penelepon harus meneriakkan password ìBersih
Peduli Tegasî, slogan untuk pasangan Win- HT. Duet ini pun muncul pada
tayangan reality show ’’Mewujudkan
Mimpi Indonesia’’.
Pada program ini, Wiranto menyamar sebagai orang awam yang memohon
pertolongan. Bahkan, Win-HThadir sebagai bintang tamu pada sinetron yang
sangat disukai pemirsa, yakni ’’Tukang Bubur Naik Haji’’. Ironisnya, capaian
suara untuk duet ini sungguh di luar dugaan, bertentangan dengan frekuensi
selfie mereka.
Perlawanan Khalayak
Hal yang diabaikan pemilik televisi ketika menjalankan aksi-aksi
selfie adalah reaksi khalayak. Dalam pemahaman mereka, hanya terbersit ilusi
bahwa khalayak pasti senang dan siap mendukung apa pun yang dijalankan dan
dikatakan para pemilik televisi. Khalayak dipahami sebagai sekelompok manusia
homogen yang berperilaku pasif. Khalayak mereka anggap ember kosong yang siap
diisi dengan berliter-liter air.
Cara berpikir itu salah! Khalayak merupakan subjek-subjek sosial
yang bersifat aktif dalam memberikan respons terhadap aksi selfie. Dalam
deskripsi yang lebih utuh, Stuart Hall menyajikan tiga kemungkinan pembacaan
atau pemaknaan yang dilakukan khalayak terhadap pesan yang disampaikan media.
Pertama; posisi dominan-hegemonik.
Artinya, khalayak bersikap menerima langsung dan penuh pesan
media. Mereka memaknai pesan itu sebagaimana keinginan dari pengirim pesan.
Kedua; posisi bernegosiasi. Artinya khalayak bisa menerima secara abstrak
pesan yang dikemukakan pengirim Tapi dalam situasi konkret tidak demikian
karena ada pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan khalayak berkait situasi
nyata yang melingkupinya.
Ketiga; posisi oposisional. Artinya khalayak melakukan
perlawanan terhadap pesan-pesan yang disampaikan pemilik media. Khalayak
secara aktif menentang. Kegagalan politik selfie pemilik televisi merupakan
wujud dari sikap perlawanan yang dilancarkan khalayak.
Sebagai khalayak, mereka mampu bersikap aktif dan menolak tunduk
dengan segala perkataan dan kelakuan pemilik televisi yang juga merangkap
elite partai. Terlebih lagi dalam arena konstestasi politik khalayak, yang
juga berposisi sebagai pemilih, mampu bersikap cerdas terhadap pesan-pesan
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar