Menegakkan
Harkat Perempuan Pekerja
Ira Alia Maerani ;
Dosen Fakultas Hukum
Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 April 2014
‘’Tiada berbilang wanita
yang ditindas, suatu perlakuan yang masih terdapat di berbagaibagai negeri
dalam abad terang ini, saya bela dia dengan senang dan setia.’’ (R.A. Kartini; 1879-1904)
KUTIPAN pernyataan Pahlawan Kemerdekaan Nasional Raden Adjeng
(RA) Kartini (berdasarkan Keppres Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964)
lebih dari seabad silam menarik untuk dicermati. Hal itu mengingat sampai
saat ini perjuangan tentang hak-hak perempuan masih terus diupayakan,
sekurang-kurangnya masih menjadi diskursus menarik.
Realitasnya, hingga kini tiada berbilang perempuan ditindas,
meski kemerdekaan sudah dimiliki seluruh negara di dunia. Beberapa waktu
terakhir, media diwarnai pemberitaan tentang perempuan pekerja yang dianiaya
di tempat kerja, baik di dalam negeri maupun TKW yang mendulang nasib di luar
negeri. Kasus terkini adalah Satinah, yang tersandung kasus pembunuhan di
Arab Saudi.
Meski akhirnya Satinah bebas dengan pembayaran diyat 7 juta
riyal atau kurang lebih Rp 21 miliar, kasus itu menimbulkan keprihatinan.
Sepulang dari tugas tahun 2011, ketiga mendarat di Bandara A Yani Semarang
penulis secara tidak sengaja berjumpa dengan wanita asal Tegal yang dua tahun
menjadi TKWdi negeri jiran.
Merasa khawatir dengan keamanannya, wanita meminta tolong untuk
diantarkan ke stasiun guna melanjutkan perjalanan pulang ke Tegal.
Dalam kesempatan singkat berbincang, ia menyatakan kapok menjadi
TKW karena selama dua tahun bekerja praktis tak bisa beribadah sesuai
keyakinannya karena dilarang oleh majikan. Haknya yang paling asasi, yakni
beribadah sesuai agama dan keyakinannya, dirampas. Ia merasa berdosa tapi tak
berdaya. Dua tahun di perusahaan katering, ia bekerja mulai pukul 02.00
hingga pukul 20.00.
Ia dan teman-temannya, sebagian besar TKWdari Indonesia, sangat
dibatasi untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Dari dalam negeri, kita pun
dikagetkan pemberitaan media pada Februari 2014. Belasan pekerja perempuan di
lokasi penangkaran walet di Medan disekap, dua di antaranya dikabarkan
meninggal. Selebihnya dalam kondisi kesehatan yang memprihatinkan.
Mereka mendapatkan perlakuan tidak manusiawi seperti makan
seadanya, beban kerja tinggi, dilarang keluar lokasi penangkaran walet,
dilarang berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk tak ada akses memperoleh
pelayanan kesehatan. Dari 460 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jateng,
717 perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah yang tertinggi (201),
disusul pemerkosaan 113, kekerasan dalam pacaran 61, kekerasan dan kriminalisasi
terhadap perempuan korban eksploitasi seks 113, kekerasan terhadap pekerja
perempuan migran 22, perdagangan perempuan 22, dan pelecehan seks 7 kasus.
(SM, 3/12/13)
Spirit Kartini
Gambaran itu cukup memberikan potret masih tingginya penindasan,
baik fisik maupun nonfisik, terhadap perempuan pekerja. Padahal kita tidak
menyangsikan peran vital mereka dalam meningkatkan perekonomian keluarga dan
bangsa. Bagaimana kita melindungi mereka dari berbagai bentuk penindasan?
Bagaimana pula kita kembali membangkitkan spirit RA Kartini yang senantiasa
membela dengan ”senang dan setia” ? Spirit Kartini dalam membela kaumnya tak
pernah padam.
Semangat yang tumbuh dan berkembang atas dasar keihlasan seorang
anak bangsa yang prihatin terhadap nasib kaumnya. Spirit yang bertolak dari
niat tulus mengangkat derajat kaumnya.
Semangat itu dapat kembali kita bangkitkan melalui, pertama;
menumbuhkan gerakan empati, khususnya bagi perempuan pekerja. Melakukan
sosialisasi dan pemahaman visi yang sama akan pentingnya perlindungan
terhadap perempuan pekerja.
Siapa pun, tidak pandang gender, bisa menjadi “Kartini-Kartini”
yang akan senantiasa membela dengan ìsenang dan setiaî. Kedua; penguatan
regulasi perlindungan bagi perempuan pekerja yang bekerja pada sektor formal
dan informal, baik di dalam maupun luar negeri. Ketegasan dalam hal penegakan
hukum terhadap pelanggar hakhak perempuan pekerja.
Negara memiliki peran sentral dalam melindungi warganya, baik
ketika ditimpa masalah maupun tidak, supaya stabilitas, keamanan dan kenyamanan
seluruh warga negara terwujud. Ketiga; harkat dan martabat perempuan pekerja
lebih penting dibanding devisa.
Maka, ke depan, pengiriman TKW perlu dipertimbangkankembali
dengan memberikan beberapa alternatif pekerjaan di dalam negeri sesuai
kapasitas dan kemampuan. Memberi kesempatan tumbuhnya home industry menjadi
satu pilihan untuk mencarikan solusi atas permasalahan mereka.
Pemerintah perlu menjadi contoh dan memimpin gerakan atas
pemikiran dan perilaku bahwa harkat dan martabat bangsa dapat ditegakkan,
salah satunya melalui upaya mencintai dan membeli produk dalam negeri. Upaya
itu untuk menumbuhkan perekonomian rakyat yang pada gilirannya bisa
”menghambat” laju pengiriman TKW.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar