Umbi
yang Tersisih
F Rahardi ; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trubus
|
KOMPAS,
22 April 2014
KETAHANAN pangan di Indonesia
sungguh rawan. Arealnya terus berkurang dan sering terancam bencana alam.
Salah satu faktor pemicu kelemahan ini adalah pengelolaan makanan pokok yang
lebih terfokus pada beras. Jagung yang potensial saja lebih banyak digunakan
untuk pakan ternak, apalagi umbi-umbian, seperti ubi jalar, keladi, talas, suweg,
dan uwi-uwian (genus Dioscorea).
Tahun 1970, Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO) masih mencatat Indonesia menghasilkan umbi-umbian 1,2
juta ton. Tahun 1980, produksi umbi-umbian Indonesia turun tinggal 0,35 juta
ton, dan setelah itu menghilang dari data FAO. Produksi ubi jalar nasional
kita turun dari 2,1 juta ton (1970) jadi 2 juta ton (1980). Lalu turun lagi
jadi 1,9 juta ton (1990); dan 1,8 juta ton (2000). Pada 2010 naik lagi
menjadi 2 juta ton.
Di lain pihak, ketergantungan
kita pada gandum impor terus naik. Tahun 1970, kita masih mengimpor gandum
dalam bentuk tepung dengan volume 355,2 ribu ton, senilai 33.000 dollar AS.
Tahun 1980, kita sudah mengimpor
biji gandum 1,4 (juta ton) senilai 161,9 (ribu dollar AS). Tahun 1990 sebesar
1,7 dengan nilai 281,8; tahun 2000 sebesar 3,5 senilai 502,4; dan tahun 2010
sudah menjadi 4,8 senilai 1,4 juta dollar AS.
Belajar dari RRT
Sebagai negara dengan populasi
penduduk terbesar keempat dunia, kita selayaknya belajar dari Republik Rakyat
Tiongkok, negeri dengan populasi penduduk terbesar dunia.
Komposisi produksi pangan RRT
selama 30 tahun terakhir adalah beras 189,3 (juta
ton, 1990); 187,9 (2000),
dan 195,7 (2010). Ubi jalar 104,7 (1990); 117,9 (2000), dan 741,7 (2010).
Jagung 96,8 (1990); 106 (2000); dan 177,4 (2010). Gandum 98,2 (1990); 99,6
(2000); dan 115,1 (2010).
Belakangan, RRT juga tertarik
mengembangkan biji bayam (Amaranth
grain), yang pernah jadi andalan pangan bangsa Aztec di Peru, pada era
pra-Kolumbus. RRT tak membudidayakan singkong, karena faktor budaya pangan
mereka, serta masalah agroklimat.
Dari hasil ubi jalar RRT, 60
persen dijadikan pakan babi; dan hanya 40 persen yang langsung dikonsumsi
manusia.
Singkong sebagai andalan pangan
kedua kita juga tidak dikonsumsi langsung (dalam bentuk bakso), tetapi juga
berupa gaplek sebagai bahan baku pakan unggas (ayam petelur dan pedaging).
Mengonsumsi singkong dalam
bentuk bakso, sebenarnya merupakan inovasi keragaman pangan (karbohidrat)
yang cerdas. Terlebih inovasi ini bukan merupakan program pemerintah,
melainkan hasil inisiatif masyarakat Kabupaten Gunung Kidul (Daerah Istimewa
Yogyakarta) dan Wonogiri (Jawa Tengah).
Merekalah yang memperkenalkan
bakso ke Ibu Kota dan seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya, mi sebagai teman
makan bakso berbahan baku gandum, yang impornya terus naik. Belakangan, bahan
baku mi juga disubstitusi tepung singkong (cassava flour).
Talas yang tersisih
Di Indonesia, kawasan Bogor
diidentikkan dengan talas. Namun, talas merupakan komoditas dengan harga yang
sangat tinggi. Harga satu ikat talas dengan bobot sekitar 3 kilogram bisa Rp
50.000 atau Rp 15.000 per kg.
Padahal, talas adalah makanan
pokok masyarakat Nusantara, sebelum padi diintroduksi dari daratan Asia.
Sekarang yang sangat memperhatikan talas justru Hawaii, salah satu negara
bagian Amerika Serikat.
Di restoran cepat saji
McDonald’s di Honolulu, kita bukan hanya bisa memesan taro pie (kue berbahan
umbi talas); melainkan juga lau-lau (buntil daun talas, berisi daging
babi/ikan).
Belakangan, taro pie bisa
dijumpai di McDonald’s Sungapura. Padahal, talas baru masuk ke Hawaii dari
Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu, Tuvalu); paling cepat tahun 600. Talas
bermigrasi ke Kepulauan Pasifik Selatan dari Kepulauan Nusantara sudah sejak
lebih awal lagi. Masyarakat Hawaii bukan hanya menjadikan talas makanan
pokok, melainkan juga mengeramatkannya.
Masyarakat Hawaii menganggap
talas sebagai putra sulung dari Wakea (Bapa Angkasa) dengan Papa (Ibu
Pertiwi), yang diberi nama Haloa Naka (napas abadi).
Haloa Naka meninggal saat lahir,
dan dari makamnya tumbuh tanaman talas. Untuk menghormati Haloa Naka, tiap
tahun masyarakat Hawaii menyelenggarakan Festival Talas (East Maui Taro Festival).
Festival talas ke-22 akan
diselenggarakan pada hari Sabtu, 3 Mei 2014, di Hana Ballpark, Pulau Maui.
Festival talas di Hawaii bukan hanya merupakan event nasional, melainkan
sudah menjadi atraksi wisata internasional.
Di Pulau Jawa, tempat asal-usul
talas, komoditas ini justru tersisih.
Umbi-umbian yang juga mengalami
nasib seperti talas, antara lain, genus Amorphophallus dan Dioscorea.
Padahal, kita punya iles-iles (porang, Amorphophallus muelleri),
sebagai bahan baku konyaku dan shirataki, makanan khas Jepang.
Satoimo atau talas jepang (Colocasia esculenta var. antiquorum),
sebenarnya juga merupakan introduksi dari Jawa.
Kita juga punya banyak spesies Dioscorea, seperti gadung, gembolo,
dan gembili, yang di Taiwan serta Jepang dibudidayakan dengan serius dan
menjadi menu terhormat. ●
|
"Satoimo atau talas jepang (Colocasia esculenta var. antiquorum), sebenarnya juga merupakan introduksi dari Jawa."
BalasHapusApakah ada sumber kredibel terkait hal ini, pak?