Rabu, 23 April 2014

Umbi yang Tersisih

Umbi yang Tersisih  

F Rahardi  ;   Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trubus
KOMPAS, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KETAHANAN pangan di Indonesia sungguh rawan. Arealnya terus berkurang dan sering terancam bencana alam. Salah satu faktor pemicu kelemahan ini adalah pengelolaan makanan pokok yang lebih terfokus pada beras. Jagung yang potensial saja lebih banyak digunakan untuk pakan ternak, apalagi umbi-umbian, seperti ubi jalar, keladi, talas, suweg, dan uwi-uwian (genus Dioscorea).

Tahun 1970, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) masih mencatat Indonesia menghasilkan umbi-umbian 1,2 juta ton. Tahun 1980, produksi umbi-umbian Indonesia turun tinggal 0,35 juta ton, dan setelah itu menghilang dari data FAO. Produksi ubi jalar nasional kita turun dari 2,1 juta ton (1970) jadi 2 juta ton (1980). Lalu turun lagi jadi 1,9 juta ton (1990); dan 1,8 juta ton (2000). Pada 2010 naik lagi menjadi 2 juta ton.

Di lain pihak, ketergantungan kita pada gandum impor terus naik. Tahun 1970, kita masih mengimpor gandum dalam bentuk tepung dengan volume 355,2 ribu ton, senilai 33.000 dollar AS.

Tahun 1980, kita sudah mengimpor biji gandum 1,4 (juta ton) senilai 161,9 (ribu dollar AS). Tahun 1990 sebesar 1,7 dengan nilai 281,8; tahun 2000 sebesar 3,5 senilai 502,4; dan tahun 2010 sudah menjadi 4,8 senilai 1,4 juta dollar AS.

Belajar dari RRT

Sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar keempat dunia, kita selayaknya belajar dari Republik Rakyat Tiongkok, negeri dengan populasi penduduk terbesar dunia.

Komposisi produksi pangan RRT selama 30 tahun terakhir adalah beras 189,3 (juta 
ton, 1990); 187,9 (2000), dan 195,7 (2010). Ubi jalar 104,7 (1990); 117,9 (2000), dan 741,7 (2010). Jagung 96,8 (1990); 106 (2000); dan 177,4 (2010). Gandum 98,2 (1990); 99,6 (2000); dan 115,1 (2010).

Belakangan, RRT juga tertarik mengembangkan biji bayam (Amaranth grain), yang pernah jadi andalan pangan bangsa Aztec di Peru, pada era pra-Kolumbus. RRT tak membudidayakan singkong, karena faktor budaya pangan mereka, serta masalah agroklimat.

Dari hasil ubi jalar RRT, 60 persen dijadikan pakan babi; dan hanya 40 persen yang langsung dikonsumsi manusia.

Singkong sebagai andalan pangan kedua kita juga tidak dikonsumsi langsung (dalam bentuk bakso), tetapi juga berupa gaplek sebagai bahan baku pakan unggas (ayam petelur dan pedaging).

Mengonsumsi singkong dalam bentuk bakso, sebenarnya merupakan inovasi keragaman pangan (karbohidrat) yang cerdas. Terlebih inovasi ini bukan merupakan program pemerintah, melainkan hasil inisiatif masyarakat Kabupaten Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Wonogiri (Jawa Tengah).

Merekalah yang memperkenalkan bakso ke Ibu Kota dan seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya, mi sebagai teman makan bakso berbahan baku gandum, yang impornya terus naik. Belakangan, bahan baku mi juga disubstitusi tepung singkong (cassava flour).

Talas yang tersisih

Di Indonesia, kawasan Bogor diidentikkan dengan talas. Namun, talas merupakan komoditas dengan harga yang sangat tinggi. Harga satu ikat talas dengan bobot sekitar 3 kilogram bisa Rp 50.000 atau Rp 15.000 per kg.

Padahal, talas adalah makanan pokok masyarakat Nusantara, sebelum padi diintroduksi dari daratan Asia. Sekarang yang sangat memperhatikan talas justru Hawaii, salah satu negara bagian Amerika Serikat.

Di restoran cepat saji McDonald’s di Honolulu, kita bukan hanya bisa memesan taro pie (kue berbahan umbi talas); melainkan juga lau-lau (buntil daun talas, berisi daging babi/ikan).

Belakangan, taro pie bisa dijumpai di McDonald’s Sungapura. Padahal, talas baru masuk ke Hawaii dari Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu, Tuvalu); paling cepat tahun 600. Talas bermigrasi ke Kepulauan Pasifik Selatan dari Kepulauan Nusantara sudah sejak lebih awal lagi. Masyarakat Hawaii bukan hanya menjadikan talas makanan pokok, melainkan juga mengeramatkannya.

Masyarakat Hawaii menganggap talas sebagai putra sulung dari Wakea (Bapa Angkasa) dengan Papa (Ibu Pertiwi), yang diberi nama Haloa Naka (napas abadi).
Haloa Naka meninggal saat lahir, dan dari makamnya tumbuh tanaman talas. Untuk menghormati Haloa Naka, tiap tahun masyarakat Hawaii menyelenggarakan Festival Talas (East Maui Taro Festival).

Festival talas ke-22 akan diselenggarakan pada hari Sabtu, 3 Mei 2014, di Hana Ballpark, Pulau Maui. Festival talas di Hawaii bukan hanya merupakan event nasional, melainkan sudah menjadi atraksi wisata internasional.

Di Pulau Jawa, tempat asal-usul talas, komoditas ini justru tersisih.
Umbi-umbian yang juga mengalami nasib seperti talas, antara lain, genus Amorphophallus dan Dioscorea. Padahal, kita punya iles-iles (porang, Amorphophallus muelleri), sebagai bahan baku konyaku dan shirataki, makanan khas Jepang.

Satoimo atau talas jepang (Colocasia esculenta var. antiquorum), sebenarnya juga merupakan introduksi dari Jawa.

Kita juga punya banyak spesies Dioscorea, seperti gadung, gembolo, dan gembili, yang di Taiwan serta Jepang dibudidayakan dengan serius dan menjadi menu terhormat.

1 komentar:

  1. "Satoimo atau talas jepang (Colocasia esculenta var. antiquorum), sebenarnya juga merupakan introduksi dari Jawa."

    Apakah ada sumber kredibel terkait hal ini, pak?

    BalasHapus