Memperbaiki
Tata Kelola Pemilu
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 16 April 2014
Pesta
demokrasi telah usai minggu lalu. Hasil hitung cepat beberapa lembaga
menyampaikan kesimpulan yang sama bahwa lima terbesar partai peraih suara
terbanyak adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKB.
Partai-partai
lain memiliki perolehan suara yang relatif sama kuat dan meninggalkan dua
partai yang tidak lolos ambang batas parlemen, yaitu PKPI dan PBB. Mereka
yang lolos masuk parlemen kini mulai menjajaki kerja sama untuk menyambut
pemilihan presiden yang akan diselenggarakan tiga bulan mendatang. Kesibukan
itu mungkin membuat para petinggi partai politik alpa untuk menilai bagaimana
kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif.
Hingga
saat ini tampaknyabelum ada satu partai yang menilai apakah penyelenggaraan
pemilu tahun ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan tahun lalu.
Disisilain, media massa melaporkan banyak kecurangan dalam praktik pemilihan
di tataran akar rumput. Bentuk kecurangannya melalui beberapa modus operandi
dari yang halus hingga yang sangat terbuka.
Beberapa
TPS di wilayah Sulawesi bahkan dilaporkan membiarkan masyarakat dari segala
lapisan umur untuk mencoblos kertas suara tanpa ada yang berusaha
menghalanginya. Beberapa petugas KPPS juga ditemukan di sebuah hotel
bersekongkol untuk mengubah hasil penghitungan beberapa TPS yang ada di bawah
wewenangnya.
Fakta-fakta
tersebut membuat ajakan antigolput yang dikampanyekan beberapa hari sebelum
hari pencoblosan menjadi kehilangan daya tariknya dan memberikan alasan lebih
bagi warga negara untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik. Tentu
saja kejadian-kejadian tersebut tidak lantas berarti bahwa seluruh calon
legislator yang lolos ke parlemen baik di tingkat nasional maupun daerah
melakukan kecurangan yang sama.
Pelajaran
yang dapat ditarik dari kejadian tersebut adalah masih lemahnya tata kelola
pemilihan umum di Indonesia yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemerintah, aparat keamanan, termasukpartai-
partai politik yang terlibat. Tata kelola pemilihan umum kita mungkin relatif
baik di tingkat nasional atau provinsi di pulaupulau besar, tetapi ternyata
sangat lemah di tingkat bawah dan yang jauh dari pusat kekuasaan.
Tata
kelola pemilihan umum kita ketinggalan jauh dibandingkan dengan India yang
memiliki penduduk 1 miliar orang. India telah memberlakukan sebuah tata
kelola pemilihan yang modern dengan melibatkan electoral voting machines
(EVM) atau perangkat elektronik untuk menghemat biaya pencetakan kertas dan
keterandalan pilihan. Penggunaan alat ini tidak serta-merta dilakukan seluruh
daerah, tetapi dilakukan bertahap mulai tahun 1999 hingga 2004.
Dengan
menggunakan alat tersebut waktuyangdibutuhkanuntukmenghitung suara jauh lebih
sedikit (2–3 jam) dibandingkan sistem kertas yang membutuhkan 30 jam.
Pemerintah akhirnya juga dapat mengumumkan hasil pemilu dengan jauh lebih
cepat. Selain India, Venezuela adalah salah satu negara yang dianggap
menjalankan tata kelola pemilihan umum yang paling maju.
Mereka
juga menggunakan sistem perangkat elektronik berteknologi maju yang dirancang
untuk melindungi pemilih dari penipuan dan gangguan sekaligus memastikan
keakuratan penghitungan suara. Akurasi dan integritas suara pemilih dijamin
sejak pemilih melangkah ke tempat pemungutan suara hingga ke titik di mana
penghitungan akhir terungkap.
Negara
menyediakan semacam tablet yang diletakkan di bilik pemungutan suara dan
pemilih memutuskan pilihannya dengan menyentuh layar pada pilihan yang
tersedia dan mengonfirmasi pilihan mereka. Setelah konfirmasi, suara
elektronik dienkripsi dan secara acak disimpan dalam memori mesin. Pemilih
dapat mengaudit suara mereka sendiri dengan memeriksa tanda terima yang
dicetak.
Tanda
terima itu kemudian mereka masukkan ke dalam kotak penyimpanan suara secara
fisik. Jadi data tersimpan secara elektronik dan manual. Di akhir hari
pemilihan, setiap mesin voting akan menghitung dan mencetak penghitungan
resmi yang disebut precint count.
Mesin mentransmisikan salinan elektronik dari sejumlah precint count ke server utama di KPU Venezuela tempat suara total
secara keseluruhan dihitung.
Untuk
memastikan hasil suara terjaga, dengan persetujuan para pihak yang
berkompetisi, dengan kesepakatan bersama antarpesaing, 52% kotak suara
dihitung dan dipilih secara acak dan terbuka. Penghitungan manual
dibandingkan dengan precint count
yang tersedia. Langkah ini dilakukan agar tidak ada manipulasi suara di
tempat pemungutan suara.
Kita
perlu berani memikirkan bagaimana menghasilkan terobosan seperti yang
dilakukan negara-negara seperti India dan Venezuela yang dulu juga memiliki
persoalan yang sama seperti kita saat ini. Kita pernah menyelenggarakan
penghitungan real-time di mana publik
dapat melihat dari jam ke jam penambahan suara partai, tetapi cara ini bukan
menjadi sandaran utama karena ketakutan akan cyber crime yang dapat merusak sistem informasi seperti yang
pernah terjadi.
Sayangnya
setelah kejadian tersebut, pemerintah tampaknya takut mengambil inisiatif
terobosan untuk membuat pemilu lebih berkualitas dan cenderung kembali ke
pola lama yang tidak efisien dan terbuka untuk terjadinya beberapa
penyimpangan.
Mengingat
bahwa cita-cita bangsa ketika menggulingkan pemerintahan otoriter Orde Baru
adalah untuk meninggalkan cara-cara tidak jujur dan manipulatif dalam meraih
dan mempertahankan kekuasaan, selayaknya kita tidak tanggung-tanggung dalam
menjamin pemilihan umum yang akuntabel dan berkualitas.
Mustahil
kita berkutat hanya pada sisi hilir dari pemilihan umum, yakni soal siapa
duduk di parlemen dan mencalonkan presiden, jika sisi hulu dari
penyelenggaraan pemilihan umum justru terbengkalai dan berantakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar