Agenda
Pintar Konstituen
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog Forensik, Analis pada SMI Quadrant
|
KORAN
SINDO, 16 April 2014
Angka
persentasenya sama, namun bisa ditafsirkan berbeda. Itulah yang dialami PDIP.
Hingga saat tulisan ini disusun, berbagai hasil penghitungan cepat masih
menempatkan PDIP sebagai partai dengan perolehan suara tertinggi,
yakni—rata-rata—19,00% yang kira-kira bisa mencapai sekitar 109 kursi di
parlemen.
Angka
persentase PDIP tersebut memang lebih tinggi daripada partai peserta
pemilihan umum anggota legislatif (pileg) lainnya. Namun karena meleset cukup
jauh dari prediksi serbaneka survei pra-pileg, peroleh angka tersebut pada
saat yang sama justru memunculkan sensasi yang berbeda. Merentang mulai
bingung, tak percaya, kecewa, gusar, hingga purbasangka terhadap adanya
pihak-pihak tertentu yang telah melakukan manuver curang.
”Keguncangan”
yang sama sangat mungkin tidak hanya dialami PDIP. Lembaga-lembaga survei
yang sebelumnya optimistis akan akurasi ramalan mereka masing-masing tentang
hasil pemilihan legislatif 2014, kini mulai melakukan retrospeksi terhadap
metode riset yang mereka gunakan. Kebanyakan pengamat menyimpulkan bahwa
melesetnya realisasi pencapaian suara PDIP dari target atau prediksi
diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh PDIP sendiri.
Strategi
yang kurang tepat, friksi antarkubu di tubuh PDIP, dan berbagai penyebab
internal lainnya dianggap telah mengakibatkan para konstituen tidak
memberikan suara mereka kepada partai bersimbol kepala banteng itu.
Pembahasan sedemikian rupa bertitik tolak dari asumsi bahwa partai politik
(berikut agensi-agensi pemenangan politik yang bekerja di belakangnya)
merupakan pihak pengendali perilaku pemilih.
Seiring
dengan itu, konstituen pun diposisikan sebagai pihak yang submisif, sehingga
mudah dikendalikan oleh partai-partai politik. Kendati masuk akal, analisis
para pakar tentang ”unsur internal
sebagai faktor tipisnya angka kemenangan PDIP” terkesan bertolak belakang
dengan anggapan yang sebetulnya juga banyak dikemukakan para pengamat bahwa
masyarakat Indonesia kini sudah jauh lebih cerdas dalam mengekspresikan
aspirasi politik mereka.
Mendudukkan
persoalan kembali pada asumsi bahwa konstituen sesungguhnya adalah sekumpulan
individu yang memiliki hitungan-hitungan politik (rasional), akan
menghasilkan spekulasi berbeda tentang penyebab senjangnya hasil survei
pra-pileg dengan hasil penghitungan cepat pasca-pileg. Berpijak pada
pengakuan akan rasionalitas pemilih, dapat dibangun dugaan bahwa konstituen
datang ke tempat pemungutan suara tidak semata-mata untuk memberikan suara
ataupun memenangkan partai yang mereka jagokan.
Apalagi
jika—misalnya— dikaitkan dengan kampanye PDIP bahwa untuk mengantar Jokowi ke
kursi presiden, publik harus terlebih dahulu mengucurkan dukungan mereka
kepada PDIP, maka sangat mungkin bahwa para konstituen pada 9 April lalu juga
memasukkan pemilihan presiden sebagai salah satu unsur dalam akal sehat
politik mereka. Di lembaran suara, jari konstituen memang mencoblos nama-nama
calon anggota dewan perwakilan rakyat (DPR).
Namun,
secara simultan, kognisi konstituen juga bekerja membayangkan keluaran dari
pemilihan presiden (pilpres) tanggal 9 Juli kelak. Uraian di atas memandang
konstituen sebagai individu politik yang jauh lebih aktif daripada sekadar
memberikan suara sebagaimana yang diimajinasikan partai-partai politik.
Perilaku konstituen sedemikian rupa diistilahkan sebagai tactical voting, yakni perilaku memilih yang dilatari oleh
strategi tertentu dari warga pemilih guna mencapai tujuan tertentu yang tidak
linear dengan kehendak partai politik.
Perilaku
mencoblos (voting behavior)
sebegitu canggih ditampilkan oleh warga pemilih guna mencegah terjadinya
hasil yang tidak diinginkan terkait kondisi Indonesia ke depannya.
Pertanyaannya, motif apakah yang melatarbelakangi para pemilih saat
menerapkan strategi dalam tactical
voting tersebut?
Demokrasi Seimbang
Andaikan
Jokowi Effect menjadi kenyataan,
sehingga dapat menaikkan perolehan suara PDIP hingga sedikitnya sepuluh
persen, maka PDIP niscaya akan memiliki kursi paling banyak, bahkan jauh
lebih banyak, dibandingkan partai-partai lain di DPR. PDIP juga akan memiliki
kepercayaan diri sangat tinggi untuk bertarung sendirian (tanpa berkoalisi)
menjelang pilpres yang akan datang.
Selanjutnya,
sekiranya PDIP menang besar pada pemilihan anggota legislatif lalu, dan itu
dijadikan sebagai dasar untuk meramal hasil pilpres, maka bisa dipastikan
Jokowi (dan wakil presidennya) nantinya juga akan terpilih sebagai presiden
dengan raihan suara signifikan. Dominasi PDIP di DPR dan lembaga
kepresidenan, meskipun sah-sah saja, agaknya tampak begitu ideal di mata
sebagian masyarakat.
Jokowi,
dengan segala kebersahajaannya, dinilai tidak cukup jika hanya diperkuat
lewat keberadaan wakil presiden yang benarbenar mumpuni. Masyarakat
memandang, Jokowi dan wakilnya kelak juga perlu dikritisi secara ketat oleh
partai-partai oposisi di DPR. Di situlah rasionalitas pemilih bermain. Untuk
merealisasikan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif seperti itu,
konstituen lantas memanfaatkan momen pemilihan anggota legislatif lalu.
Para
pemilih bisa saja ke depannya mendukung Jokowi sebagai presiden, namun
partai-partai politik selain PDIP juga perlu diperkuat keberadaannya di
parlemen. Konkretnya, walaupun— anggaplah—sebagian besar pemilih pada
dasarnya mempunyai preferensi pada PDIP, tetapi strategi untuk menciptakan
keseimbangan legislatif dan eksekutif adalah dengan mencoblos gambar partai
lain. Keseimbangan kekuatan antara presiden dan DPR secara teoretis lebih
menjamin terciptanya saling kontrol dan pengaruh timbal balik.
Menghukum
Faktor
lain yang bisa jadi mendorong publik untuk tidak memilih PDIP adalah titik
jenuh akibat pengeksposan sosok Jokowi yang luar biasa eksesif. Tidak semata
tampilnya Jokowi dengan berbagai bentuk sanjungan, media sosial juga penuh
sesak oleh hujatan-hujatan yang dilontarkan oleh sebagian barisan pendukung
Jokowi terhadap siapa pun yang kritis terhadap mantan wali kota Solo yang
naik kelas menjadi gubernur Jakarta itu.
Sikap
apriori para simpatisan Jokowi bertolak belakang dengan pesan tertulis Jokowi
agar semua pendukungnya berkampanye secara santun dan menjauhi ekspresi-ekspresi
verbal agresif terhadap pihak pesaing. Menjatuhkan pilihan pada partai selain
PDIP, dengan demikian, diperagakan sebagai bentuk penghukuman secara tidak
langsung terhadap para simpatisan fanatik di belakang Jokowi, bahkan mungkin
pula meluas terhadap Jokowi sendiri.
Berbeda
dengan motif pertama (menciptakan keseimbangan antara legislatif dan
eksekutif), motif kedua ini mengindikasikan tingkat keberadaban perilaku
politik para konstituen. Dengan kebutuhan meninggi akan dunia perpolitikan
nasional yang visioner dan santun, konstituen menolak gejala-gejala
pengultusan sekaligus tidak sungkan-sungkan melakukan retaliasi terhadap
kontestan pemilu mana pun yang dinilai tidak mampu mengendalikan tata krama
para pendukungnya.
Dengan
pemikiran seperti di atas, terlihat sisi positif dari hasil (penghitungan
cepat) pileg beberapa hari lalu. Alih-alih menyebut 9 April 2014 sebagai masa
prihatin bagi PDIP dan senja kala bagi lembaga-lembaga survei politik, dunia
pantas berharap bahwa tergelincirnya hasil-hasil survei pada pileg lalu
merupakan pertanda benderangnya mentari di dalam logika dan budi perangai
para pemilih Indonesia. Ini akan menambah catatan prestasi dalam demokrasi
Indonesia.
Tidak
hanya karena ditandai oleh angka partisipasi yang tinggi pada pemilu, tetapi
juga karena di dalamnya terselip pesan lugas, ”Jangan pandang enteng kecerdasan pemilih Indonesia dan kesopanan
perilaku politik mereka!” Akhirnya, dengan adanya fenomena tactical voting, timbul sebuah pertanyaan: antara partai politik dan warga
pemilih, sejatinya siapa mengedukasi siapa? Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar