UU
TPPU Tahun 2010
Romli Atmasasmita ; Profesor Emeritus Hukum Pidana Internasional
Universitas
Padjadjaran, Bandung
|
KORAN
SINDO, 16 April 2014
Pemberlakuan
suatu undang-undang di dalam sistem hukum yang diakui universal merupakan hal
terpenting dan sering diabaikan oleh banyak kalangan, termasuk ahli hukum
teoritik dan praktisi.
Pemberlakuan
undang-undang termasuk undang-undang pidana selalu ditujukan terhadap
peristiwa atau keadaan yang timbul di kemudian hari setelah undang-undang
diberlakukan, dikenal dengan asas prospektif atau non-retroaktif sebagai
lawan dari asas retroaktif. Apakah pemberlakuan surut (retroaktif) dilarang?
Menurut
ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mengatur perihal perubahan
perundang-undangan, dari undang-undang lama kepada undang-undang baru;
pemberlakuan surut diperbolehkan sepanjang perubahan perundang-undangan
tersebut untuk kepentingan (menguntungkan) pihak terdakwa.
Yurisprudensi
Hooge Raad Belanda mengakui
pemberlakuan surut ketentuan UU dalam kasus pembayaran uang sewa rumah; dan
tentu dapat dijadikan bahan perbandingan majelis pengadilan di Indonesia
mengenai kapan dan bagaimana memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.
Ketentuan
Pasal 1 ayat (2) KUHP di Indonesia sampai saat ini tetap berlaku dan
merupakan kekecualian dari bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang Asas
Legalitas, termasuk di dalamnya larangan analogi dan tidak berlaku surut (non-retroaktif).
Dalam
konteks ini, saya soroti pemberlakuan UU TPPU Tahun 2010 yang diberlakukan
sejak 22 Oktober 2010, dan dalam praktik pengadilan tipikor, penuntut KPK
telah menerapkanUUTPPU Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU TPPU 2003,
tetapi telah dicabut berlakunya dengan UU TPPU 2010. UU TPPU 2010 adalah UU
baru, bukan UU Perubahan atas UU RI Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah
dengan UU RI Nomor 25 Tahun 2003.
Namun,
dalam ketentuan UU TPPU 2010 terdapat keganjilan yang merupakan ”contradictio in terminis”. Ketentuan
Pasal 95 UU TPPU 2010 menyatakan bahwa, ”Tindak Pidana Pencucian uang yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang- Undang ini ( UU TPU 2010,sic.pen),
diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang”.
Ketentuan
tersebut memerintahkan kepada penegak hukum bahwa, tempus delicti TPPU
sebelum berlakunya UU TPPU 2010, diberlakukan UU TPPU 2002, dan konsekuensi
logis penerapan ketentuan UU TPPU 2002 ketika penyidikan dalam konteks
penerapan UU TPPU 2010, adalah penyidik harus menemukan tindak pidana asal (predicate offense) dari aset terdakwa
hasil temuan laporan PPATK dalam kurun tempus delicti sebelum Tahun 2010.
Sedangkan
tindak pidana asal dari aset yang diperoleh terdakwa dari temuan bukti
permulaan cukup sejak berlakunya (Tanggal 22 Oktober 2010) UU TPPU, tidak
serta-merta dapat digunakan untuk menerapkan UU TPPU 2002. Jika hal ini
dilakukan dengan mengabaikan konsekuensi penerapan UU TPPU 2002 sebagaimana
diuraikan di atas, penyidik dan penuntut juga majelis pengadilan tipikor,
telah memberlakukan dan membenarkan penerapan retroaktif terhadap perkara a quo.
Aksi
langkah hukum ini secara nyata-nyata dan terang-terangan bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, apalagi dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
KUHP tentang pemberlakuan hukum jika terjadi perubahan perundang-undangan
yang intinya hanya ditujukan untuk proteksi kepentingan (keuntungan) terdakwa,
bukan sebaliknya.
Keganjilan
UU TPPU 2010 selanjutnya adalah bunyi ketentuan Pasal 99 UU TPPU 2010,
dibawah titel Bab XIII Ketentuan Penutup; yang berbunyi antara lain sebagai
berikut: ”Pada saat Undang-Undang ini
(UU TPPU 2010 per tanggal 22 Oktober 2010, sic.pen) mulai
berlaku,Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Bunyi
ketentuan Pasal 99 UU TPPU 2010 nyata tegas, jelas dan eksplisit menghentikan
pemberlakuan UU TPPU 2002; namun pembentuk UU TPPU 2010, telah memasukkan
ketentuan Pasal 98 UU TPPU 2010 masih di bawah titel yang sama, yang
menyatakan antara lain: ”Semua
peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.., dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang
ini”.
Kalimat,
”sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti berdasarkan undang-undang ini”, termasuk kalimat undangundang
yang tidak memenuhi asas lex certa sehingga rentan terhadap keliru tafsir
atau rentan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyidik, penuntut dan
majelis karena kewenangan untuk menerjemahkan bunyi kalimat tersebut dalam
praktik sepenuhnya tergantung kepada tafsir penegak hukum.
Pembentuk
UU Tahun 2010 tidak memberikan penjelasan perihal apa yang dimaksud dengan
kalimat tersebut dan bagian ketentuan yang bagaimana dan yang mana yang
bertentangan atau belum diganti berdasarkan UU Tahun 2010. Dua ketentuan
(Pasal 99 dan Pasal 98) mencerminkan keragu- raguan pembentuk UU untuk
mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dalam praktik akan tetapi tidak
dapat merumuskan secara baik dan benar sesuai dengan asasasas hukum pidana
yang berlaku universal.
Kebiasaan
pembentuk UU merumuskan kalimat sebagaimana tersebut dalam Pasal 98 di atas,
merupakan kebiasaan buruk yang berdampak negatif terhadap penegakan kepastian
hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan dalam perkara TPPU, dan secara
teoritik bertentangan dengan doktrin hukum yang menegaskan bahwa hukum
merupakan sistem norma dan logika (system
of norms and logics), dan norma hukum sebagai sarana pembaruan kesadaran
hukum masyarakat ke arah yang lebih maju sesuai tahapan perkembangan masyarakatnya,
serta pandangan bahwa hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya (Satjipto
Rahardjo).
Bertolak
atas uraian di atas maka ketiga pasal dalam UU TPPU 2010 di atas telah
selayaknya dan patut diajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) RI
karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, bahwa,
”setiap orang berak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dihubungkan
dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan,
keberadaan ketiga pasal tersebut dalam UU TPPU 2010, dapat dikatakan
bertentangan dengan asas Pembentukan Peraturan Perundangan yang baik, yaitu
kejelasan rumusan (huruf f) dan keterbukaan (huruf g), dan materi muatan
Peraturan Perundang-undangan yang harus mencerminkan ketertiban dan kepastian
hukum (h), dan keadilan (g) serta keseimbangan, keserasian dan keselarasan
(j) ketentuan satu dan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar