Kamis, 17 April 2014

UU TPPU Tahun 2010

UU TPPU Tahun 2010

Romli Atmasasmita  ;   Profesor Emeritus Hukum Pidana Internasional
Universitas Padjadjaran, Bandung
KORAN SINDO, 16 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemberlakuan suatu undang-undang di dalam sistem hukum yang diakui universal merupakan hal terpenting dan sering diabaikan oleh banyak kalangan, termasuk ahli hukum teoritik dan praktisi.

Pemberlakuan undang-undang termasuk undang-undang pidana selalu ditujukan terhadap peristiwa atau keadaan yang timbul di kemudian hari setelah undang-undang diberlakukan, dikenal dengan asas prospektif atau non-retroaktif sebagai lawan dari asas retroaktif. Apakah pemberlakuan surut (retroaktif) dilarang?

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mengatur perihal perubahan perundang-undangan, dari undang-undang lama kepada undang-undang baru; pemberlakuan surut diperbolehkan sepanjang perubahan perundang-undangan tersebut untuk kepentingan (menguntungkan) pihak terdakwa.

Yurisprudensi Hooge Raad Belanda mengakui pemberlakuan surut ketentuan UU dalam kasus pembayaran uang sewa rumah; dan tentu dapat dijadikan bahan perbandingan majelis pengadilan di Indonesia mengenai kapan dan bagaimana memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP di Indonesia sampai saat ini tetap berlaku dan merupakan kekecualian dari bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang Asas Legalitas, termasuk di dalamnya larangan analogi dan tidak berlaku surut (non-retroaktif).

Dalam konteks ini, saya soroti pemberlakuan UU TPPU Tahun 2010 yang diberlakukan sejak 22 Oktober 2010, dan dalam praktik pengadilan tipikor, penuntut KPK telah menerapkanUUTPPU Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU TPPU 2003, tetapi telah dicabut berlakunya dengan UU TPPU 2010. UU TPPU 2010 adalah UU baru, bukan UU Perubahan atas UU RI Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU RI Nomor 25 Tahun 2003.

Namun, dalam ketentuan UU TPPU 2010 terdapat keganjilan yang merupakan ”contradictio in terminis”. Ketentuan Pasal 95 UU TPPU 2010 menyatakan bahwa, ”Tindak Pidana Pencucian uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang- Undang ini ( UU TPU 2010,sic.pen), diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang”.

Ketentuan tersebut memerintahkan kepada penegak hukum bahwa, tempus delicti TPPU sebelum berlakunya UU TPPU 2010, diberlakukan UU TPPU 2002, dan konsekuensi logis penerapan ketentuan UU TPPU 2002 ketika penyidikan dalam konteks penerapan UU TPPU 2010, adalah penyidik harus menemukan tindak pidana asal (predicate offense) dari aset terdakwa hasil temuan laporan PPATK dalam kurun tempus delicti sebelum Tahun 2010.

Sedangkan tindak pidana asal dari aset yang diperoleh terdakwa dari temuan bukti permulaan cukup sejak berlakunya (Tanggal 22 Oktober 2010) UU TPPU, tidak serta-merta dapat digunakan untuk menerapkan UU TPPU 2002. Jika hal ini dilakukan dengan mengabaikan konsekuensi penerapan UU TPPU 2002 sebagaimana diuraikan di atas, penyidik dan penuntut juga majelis pengadilan tipikor, telah memberlakukan dan membenarkan penerapan retroaktif terhadap perkara a quo.

Aksi langkah hukum ini secara nyata-nyata dan terang-terangan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, apalagi dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang pemberlakuan hukum jika terjadi perubahan perundang-undangan yang intinya hanya ditujukan untuk proteksi kepentingan (keuntungan) terdakwa, bukan sebaliknya.

Keganjilan UU TPPU 2010 selanjutnya adalah bunyi ketentuan Pasal 99 UU TPPU 2010, dibawah titel Bab XIII Ketentuan Penutup; yang berbunyi antara lain sebagai berikut: ”Pada saat Undang-Undang ini (UU TPPU 2010 per tanggal 22 Oktober 2010, sic.pen) mulai berlaku,Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Bunyi ketentuan Pasal 99 UU TPPU 2010 nyata tegas, jelas dan eksplisit menghentikan pemberlakuan UU TPPU 2002; namun pembentuk UU TPPU 2010, telah memasukkan ketentuan Pasal 98 UU TPPU 2010 masih di bawah titel yang sama, yang menyatakan antara lain: ”Semua peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.., dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini”.

Kalimat, ”sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan undang-undang ini”, termasuk kalimat undangundang yang tidak memenuhi asas lex certa sehingga rentan terhadap keliru tafsir atau rentan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyidik, penuntut dan majelis karena kewenangan untuk menerjemahkan bunyi kalimat tersebut dalam praktik sepenuhnya tergantung kepada tafsir penegak hukum.

Pembentuk UU Tahun 2010 tidak memberikan penjelasan perihal apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut dan bagian ketentuan yang bagaimana dan yang mana yang bertentangan atau belum diganti berdasarkan UU Tahun 2010. Dua ketentuan (Pasal 99 dan Pasal 98) mencerminkan keragu- raguan pembentuk UU untuk mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dalam praktik akan tetapi tidak dapat merumuskan secara baik dan benar sesuai dengan asasasas hukum pidana yang berlaku universal.

Kebiasaan pembentuk UU merumuskan kalimat sebagaimana tersebut dalam Pasal 98 di atas, merupakan kebiasaan buruk yang berdampak negatif terhadap penegakan kepastian hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan dalam perkara TPPU, dan secara teoritik bertentangan dengan doktrin hukum yang menegaskan bahwa hukum merupakan sistem norma dan logika (system of norms and logics), dan norma hukum sebagai sarana pembaruan kesadaran hukum masyarakat ke arah yang lebih maju sesuai tahapan perkembangan masyarakatnya, serta pandangan bahwa hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya (Satjipto Rahardjo).

Bertolak atas uraian di atas maka ketiga pasal dalam UU TPPU 2010 di atas telah selayaknya dan patut diajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) RI karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, bahwa, ”setiap orang berak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dihubungkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, keberadaan ketiga pasal tersebut dalam UU TPPU 2010, dapat dikatakan bertentangan dengan asas Pembentukan Peraturan Perundangan yang baik, yaitu kejelasan rumusan (huruf f) dan keterbukaan (huruf g), dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang harus mencerminkan ketertiban dan kepastian hukum (h), dan keadilan (g) serta keseimbangan, keserasian dan keselarasan (j) ketentuan satu dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar