Koalisi
tanpa Dagang Sapi
Eep Saefulloh Fatah ;
Pendiri dan CEO PolMark Indonesia Inc
pusat riset dan konsultasi political
marketing
|
MEDIA
INDONESIA, 21 April 2014
MENYAKSIKAN dinamika politik
hari-hari ini adalah menonton adegan ulangan 2004 dan 2009. Belum lagi tinta
bekas pencoblosan pemilu legislatif (pileg) di jari kelingking kita kering,
drama politik sudah bergeser ke persiapan pemilihan presiden (pilpres).
Belum lagi bibir kita
kering mempercakapkan formulaformula koalisi partai politik untuk pengajuan
kandidat presiden dan wakil presiden, perbincangan sudah bergeser ke koalisi
pemerintahan baru hasil pilpres. Ya, sebagaimana terjadi pada 2004 dan 2009,
selepas pileg, dinamika politik bergerak sangat cepat seolah pilpres akan
berlangsung sebelum ayam berkokok besok.
Di tengah dinamika yang
berjalan bergegas itu, sebagaimana kita bersua menjelang Pilpres 2004 dan
2009, sejumlah kecemasan publik mencuat. Haruskah presidensialisme kita
sebegitu disibukkan oleh ihwal koalisi partai? Bisakah hiruk pikuk
pembentukan koalisi ini dihindari? Mungkinkah membangun koalisi tanpa dagang
sapi? Apa yang harus dilakukan untuk membuat pembentukan koalisi bukan jadi
sekadar arena transaksi segelintir elite partai dan membuatnya berkait dengan
hajat hidup orang banyak?
Quasi parlementer
Hiruk pikuk koalisi yang
mengharu biru pada dinamika politik kita hari-hari ini adalah salah satu
konsekuensi yang sulit dihindari dari pertemuan dan pertumbukan sistem
presidensial dengan sistem multipartai kita. Jika saja sistem presidensial
kita berpadu dengan partai sederhana seperti di Amerika Serikat, tak akan ada
kerepotan ihwal koalisi partai seperti ini.
Perpaduan sistem
presidensial dengan sistem multipartai memang dikenal sebagai `kombinasi yang
maut'. Negara-negara Amerika Latin sudah (dan sedang) membuktikannya. Di
bawah kombinasi ini, presiden kerap kali dipaksa untuk bekerja dalam langgam
presidensialisme yang bercita rasa parlementarian.
Dalam sistem presidensial,
pemerintahan yang dibentuk presiden (dan wakil presiden) tidak bergantung
pada lembaga legislatif atau parlemen. Parlemen tidak punya kewenangan
membentuk pemerintahan dan tak bisa membubarkan pemerintahan. Presiden juga
tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bekerja bersama-sama untuk
membentuk undangundang (fungsi legislasi) dan merancang anggaran (fungsi budgeting). Daya jangkau parlemen yang
terjauh hanyalah menjalankan fungsi pengawasan terhadap lembaga eksekutif.
Dalam konteks itu, pilpres
sebetulnya hanya mengikatkan presiden terpilih kepada warga negara atau para
pemilih. Tak ada ikatan lain di luar itu. Namun, sebagaimana halnya di
Amerika Latin, siapa pun presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung
mesti berhadapan dengan tantangan `penaklukan' parlemen yang berisi banyak
partai.
Seberkuasa apa pun
presiden, ia tetap memerlukan parlemen atau lembaga legislatif untuk
menyokong kebijakan presiden dan bersama-sama presiden mengesahkan regulasi
berbentuk undang-undang. Karena itu, presiden pun mau tak mau harus menimbang
sebaran kepentingan politik dalam parlemen untuk menyukseskan kebijakan dan
mengamankan jalannya pemerintahan.
Untuk itulah, presiden
harus mengakomodasi partai-partai, termasuk melibatkan mereka dalam
pemerintahan sehingga terbangun dukungan mayoritas yang nyaman (comfortable majority) di parlemen. Da
lam keadaan itulah, koalisi partai-partai bisa membantu presiden untuk
membuat jalannya sistem presidensial tak terbentur jalan buntu kelembagaan (institutional deadlock).
Dalam keadaan tertentu,
parlemen bahkan bisa sebegitu kuat dan menentukan sehingga presiden
seolaholah didikte oleh parlemen. Keadaan inilah yang disebut para ilmuwan
politik sebagai `quasi parlementari anisme' atau `sistem parlementer semu'.
Sejauh pengamatan saya, praktik presidensialisme Indonesia belum
terkategorikan sejauh itu.
Walhasil, membangun
koalisi partai memang bukan `kewajiban', melainkan `hak' presiden terpilih.
Presiden bisa saja tidak melakukannya, tetapi dengan risiko akan menghadapi
tantangan jalan buntu kelembagaan. Karena adanya risiko inilah, di dalam
kombinasi sistem presidensial dan multipartai seperti di Indonesia, koalisi
partai bukan keharusan, melainkan kerap kali sulit dihindarkan.
Politisi baru
Politik dagang sapi adalah
transaksi politik di ruang tertutup. Praktik dagang sapi merujuk pada
pertukaran pragmatis kepentingan jangka pendek di antara pihak-pihak yang
berkoalisi, terutama segelintir elite partai, yang tak berkaitan dengan hajat
hidup warga negara atau orang banyak.
Selama ini, publik
mengeluhkan kentalnya praktik dagang sapi dalam proses pembentukan koalisi.
Diduga, praktik itu terjadi dalam proses pembentukan koalisi untuk memenuhi
syarat batas minimal dukungan partai untuk pencalonan presiden dan wakil
presiden. Lalu, praktik yang sama terulang kembali dalam pembentukan
pemerintahan selepas pilpres.
Selama ini, praktik dagang
sapi terbangun di atas dua pilar utama. Pertama, negosiasi antarelite partai
di dalam ruang tertutup. Kedua, praktik `berpartai secara mengambang' yang
memanjakan para elite partai dengan banyak kenikmatan sempit sekaligus
menjauhkan mereka dari basis konstituennya atau para pemilih.
Melawan praktik dagang
sapi adalah memindahkan-sebagian atau hampir
seluruhnya--transaksi ruang
tertutup menjadi pertukaran ruang terbuka. Setidaknya, ruang tertutup tempat
transaksi diubah menjadi ruang pertukaran yang transparan dan tak kedap
suara. Dagang sapi tak mungkin terjadi manakala partai-partai dipaksa
membangun koalisi di ruang terbuka atau di dalam ruangan yang transparan dan
tak kedap suara.
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) harus membuat peraturan yang memaksa setiap koalisi partai pengusung
kandidat presiden dan wakil presiden untuk bukan hanya mengajukan visi dan
misi kandidat, melainkan juga memublikasi janji kampanye kandidat dan
kesepakatan politik yang terjadi antarpartai politik pada saat mendaftarkan
diri. Dengan demikian, publik bukan hanya tahu partai mana saja yang saling
menggabungkan diri, melainkan juga mencatat dengan saksama semua janji dan
mengawasi seberapa jauh koalisi itu melangkah keluar dari kesepakatan
antarpartai yang sudah dipublikasi.
Dengan mekanisme itulah,
kita setidaknya memaksakan transparansi yang lebih optimal dalam proses
pembentukan koalisi partai prapilpres. Tentu saja, tak ada sistem politik
yang mampu mentransparansikan semua urusan ini ke hadapan publik. Politik di
dalam demokrasi mana pun adalah perpaduan antara seni luar ruangan dan seni
dalam ruangan.
Selain terfasilitasi oleh
ruang tertutup, politik dagang sapi terbangun oleh praktik partai mengambang.
Umumnya, politisi dan partai politik tak membangun diri di atas modal sosial
dan politik yang layak. Mereka tak berkaki, tak menjejak ke bumi, tak berakar
pada konsituen yang terjaga. `Ideologi' mereka umumnya hanya pragmatisme yang
memandu melayani kepentingan sendiri atau kelompok secara sempit.
Dalam demokrasi yang
sehat, politisi dan partai semacam itu sesungguhnya tak punya masa depan.
Mereka hanya sanggup mengais-ngais remah kenikmatan politik dalam jangka
pendek. Merekalah para pelaku politik dagang sapi itu.
Maka, jika KPU tak
tergerak membuat regulasi yang memaksakan transparansi yang terpapar di atas,
harapan kita pindahkan kepada para politikus dan partai yang memiliki
keberanian berpolitik dengan cara baru (out
of the box). Tanpa dipaksa oleh regulasi, mereka bisa mengambil inisi
atif untuk mengumumkan janji-janji kampanye yang hendak mereka tawarkan
kepada para pemilih sekaligus membeberkan kesepakatan-kesepakatan politik
yang terbangun di antara para peserta koalisi.
Saya duga, politisi dan
partai yang melakukan ini akan diganjar para pemilih dengan simpati dan
potensi dukungan. Merekalah yang bisa kita sebut `politisi baru'. Selain itu,
`Indonesia baru' membutuhkan `politisi baru' semacam itu.
Bagaimana dengan dagang
sapi dalam pembentukan pemerintah pascapilpres?
Pertanyaan ini lebih mudah
dijawab. Pembentukan pemerintahan--berupa penunjukan para menteri--adalah hak
prerogatif presiden. Jika dalam Pemilu 2014 ini kita berhasil memilih
presiden (dan wakil presiden) dari spesies `politisi baru', jalan bagi
minimalisasi politik dagang sapi akan terbuka.
`Politisi baru' akan lebih
mudah kita tuntut untuk meluruskan dua kaprah koalisi yang berjalan selama
ini. Bahwa memenangi pilpres tak harus dimulai dengan `membeli' sebanyak
mungkin partai politik. Bahwa menjaga dan menyelamatkan pemerintahan tidak
perlu dengan membangun koalisi tambun yang di dalamnya sang presiden sibuk
beradaptasi.
`Politisi baru' akan lebih
mudah kita tuntut untuk berlaku di luar kelaziman lapuk yang terbukti
memancing banyak persoalan itu. Bersama-sama dengan `politisi baru' kita
perangi politik dagang sapi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar