Jokowi
Effect?
Denny Charter ; Direktur Eksekutif
Indexpolitica.com
|
KORAN
SINDO, 11 April 2014
Hasil
akhir quick count oleh Indonesia Research Center (IRC)
menempatkan PDIP di urutan puncak dengan raihan suara sebesar 18,98%,
ditempel Partai Golkar dengan 14,9% dan Gerindra dengan 11,9%.
Angka
ini cukup mirip dengan hasil quick
count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan PDIP di urutan pertama
dengan raihan suara sebesar 19,62%, yang lalu diikuti oleh Partai Golkar
dengan 14,64% serta Gerindra yang bertengger di peringkat tiga dengan 11,87%
suara. Hasil tersebut dapat mementahkan analisis beberapa lembaga survei
nasional yang memprediksi PDIP akan memperoleh suara di atas 30%.
Hasil
ini tentunya mengejutkan berbagai pihak. Pasalnya, fenomena politik
akhir-akhir ini tidak menyiratkan kenyataan tersebut. Persepsi politik yang
dibentuk terhadap suatu sosok ternyata tidak selalu sejalan dengan fakta
politik di lapangan.
Prediksi
bahwa suara PDIP akan melonjak pascapenetapan Joko Widodo sebagai calon
presiden dari PDIP ternyata tidak terbukti, setidaknya seperti hasil
penghitungan cepat/quick count beberapa lembaga survei nasional, PDIP hanya
memperoleh suara di kisaran 19%-an bahkan belum mampu menembu sangka 20%.
Hasil
ini juga merupakan tamparan langsung bagi lembaga- lembaga survei yang
sebelumnya merilis penelitian bahwa Jokowi Effect akan menambah sekitar 10%
suara PDIP. Pantauan dari Indexpolitica. com menunjukkan bahwa jumlah
pembicaraan Jokowi dan PDIP mendominasi dibandingkan Golkar ataupun Gerindra
di social media.
Tercatat
share of voice PDIP pada 9 Juli mencapai 27,5% disusul Partai Golkar di angka
20,29% dan Gerindra 13,6%. Begitu pun dengan pemberitaan di media online,
rekaman pemberitaan yang dilakukan oleh Indexpolitica. com menunjukkan bahwa
Jokowi dan PDIP mendominasi hampir di semua media.
Melihat
hasil dari quick count tersebut, berarti pencapresan Jokowi tidak terlalu
berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP, tetapi setidaknya dapat mengatarkan
PDIP sebagai pemenang. Hasil pileg ini sebenarnya adalah ujian terhadap
ketokohan Jokowi, apakah benar ”Manusia Setengah Dewa” itu adalah Jokowi.
Tak
dapat dipungkiri efek Jokowi memang ada, tapi mungkin tidak optimal
dimanfaatkan oleh PDIP. Tetapi jika kita bicara mengenai elektabilitas
partai, kita tidak bicara siapa memengaruhi apa, tetapi juga apa memengaruhi
siapa. Di sinilah sebenarnya sistem dan mekanisme partai lebih menentukan
ketimbang kekuatan figur. Seperti kita ketahui bersama bahwa sistem dan
mekanisme kepartaian PDIP masih oligarki dengan kultur politik dinasti yang
kental.
Meski
dikejutkan dengan sikap Megawati yang menunjuk Jokowi sebagai capres, kultur
itu tetap melekat. Bukti sederhananya calon presiden tidak dilahirkan melalui
sebuah mekanisme konvensi, tetapi hasil penunjukan dari Megawati sebagai ”pemilik” partai. Beda halnya dengan
Partai Golkar. Semua dibentuk dan dibangun melalui proses yang demokratis
sehingga publik bisa menilai dengan terbuka.
Publik
juga dapat melihat bahwa Golkar adalah satu-satunya partai modern yang siap
menghadapi apa pun, baik masalah internal partai maupun masalah kebangsaan,
setidaknya terbukti dari hasil Pemilu Legislatif 2014 versi quick count Golkar stabil di angka
14%-an.
Partai
politik yang berhasil mengendalikan turbulensi, melewati ujian berat yang
mengancam disintegrasi, akan memiliki daya tahan dan daya suai terhadap
keadaan, elektabilitasnya akan stabil dan relatif meningkat tapi sebaliknya
partai politik yang mudah terombang-ambing ”arus dalam” dan ”arus
luar” partai maka tingkat elektabilitasnya akan merosot.
Dalam
politik tidak hanya berlaku hukum rimba (yang kuat pasti menang), tetapi juga
terjadi seleksi alamiah, yakni siapa yang bertahan dan punya daya suai yang
baik maka akan terus hidup dan berkembang. Inilah yang menjadi kunci kenapa
Partai Golkar dan PDIP dapat bertahan sampai dengan sekarang. Sementara
Partai Demokrat, sebagai partai pemenang 2009 yang lalu, terdampar di posisi
ke empat bahkan disalip oleh Partai Gerindra.
Pileg
memang berbeda dengan pilpres. Dalam pileg, infrastruktur dan pengalaman
partai menjadi hal yang lebih penting dibandingkan dengan figur capres dalam
pemilu. Faktanya juga bahwa ”peperangan”
tersebut tidak cukup jika hanya dimenangkan di udara saja, faktor darat
justru menjadi hal terpenting dan Partai Golkar telah membuktikan hal itu.
Optimalisasi infrastruktur jaringan akan menjadi suatu kekuatan tersendiri
yang tidak dapat di remehkan oleh lawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar