Jumat, 11 April 2014

Kualitas Capres yang Didambakan

Kualitas Capres yang Didambakan

Frans H Winarta  ;   Ketua Umum Peradin,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
KORAN SINDO, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam kurun waktu tiga bulan lagi, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum presiden yang ke-4 sejak era reformasi digulirkan tahun 1998.

Setelah sukses melaksanakan pemilu legislatif (pileg) kemarin, pemilu presiden yang digadang sebagai ”pesta demokrasi” kali ini agak berbeda. Karena rakyat Indonesia tengah menghadapi persoalan-persoalan nasional yang berat antara lain: kemiskinan, pengangguran, penegakan hukum yang lemah, ketidakpastian hukum, ketidakadilan, korupsi yang kronis, endemik dan sistemik, reformasi agraria yang belum terwujud, hutang luar negeri yang menumpuk, ekonomi dan keuangan yang tidak mandiri, defisit neraca perdagangan.

Ada pula gangguan terhadap pluralisme, toleransi dan kerukunan beragama, pembatasan beribadah di kota atau wilayah tertentu, keluarga berencana dalam rangka mengatur peledakan penduduk, terorisme, gerakan separatis, ketegangan hubungan internasional, serta stabilitas politik yang sering kali goyah di dalam pemerintahan kabinet koalisi.

Melihat problem-problem nasional tadi, jelas calon presiden yang akan datang harus memiliki kualitas yang mumpuni, memiliki visi tentang kebangsaan dan ketatanegaraan, serta memiliki visi tentang bidangbidang lain yang dituntut darinya, seperti bagaimana menempatkan Indonesia dalam posisi penting di dunia internasional dengan kebijakan politik bebas dan aktif. Cita-cita negara hukum (rechtsstaat) yang dicanangkan secara jelas dan gamblang di dalam batang tubuh UUD 1945 (amendemen ke-4) masih merupakan wacana dan belum benar-benar menjadi falsafah negara (weltanschauung) Indonesia.

Pancasila sering kali diucapkan oleh para pemimpin Indonesia, terlebih lagi jika terjadi konflik. Namun, Pancasila tidak dihayati dan diimplementasikan dengan baik sebagai falsafah negara (weltanschauung) di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari.

Figur Capres

Seperti yang sudah diketahui dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, banyak partai politik telah mengajukan capresnya untuk bertarung dalam Pemilihan Umum Presiden 2014. Tetapi sebagai rakyat Indonesia yang nantinya akan dipimpin dan diayomi oleh calon presiden tersebut, harus dipikirkan dengan matang apakah benar calon-calon tersebut memenuhi kriteria dan harapan para pemilih saat pemilu nanti.

Itu yang menjadi persoalan utama saat ini. Salah pilih mengandung risiko yang luas. Menjadi presiden Republik Indonesia itu bukanlah jabatan yang menjanjikan dan bukan merupakan batu loncatan menuju kesuksesan. Kursi presiden Republik Indonesia itu sangat ”panas”, penuh risiko, penuh kritik, dan penuh tuntutan setiap saat, terutama mengenai konsistensi pemenuhan program dan janji-janji dalam kampanye pemilu dan pelaksanaannya kemudian.

Sering kali para pemimpin kita tidak sinkron dan bertolak belakang antara kata dan perbuatan. Untuk itu, calon-calon yang diajukan partai politik perlu disaring secara ketat agar dapat memenuhi harapan para pemilih. Latar belakang capres perlu diteliti secara seksama apakah capres tersebut berlatar belakang birokrat, mantan militer, pengusaha, tokoh masyarakat, teknokrat, atau profesional.

Pastikan capres berlatar belakang birokrat tidak terlibat korupsi atau terindikasi terlibat dalam korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Tidak perlu ada putusan pengadilan yang final dan mengikat (in kracht van gewijsde), karena indikator seperti ini akan mengurangi risiko salah pilih. Jika capres berlatar belakang pengusaha, pastikan ia tidak pernah dan tidak akan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri serta dapat memisahkan urusan pribadi dan negara.

Jika capres berlatar belakang militer, pastikan rekam jejaknya selama mengabdi di kesatuannya. Jika capres berlatar belakang profesional atau teknokrat, perlu diteliti ambisi pribadinya mengapa berniat mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai capres. Hal-hal yang sudah disebutkan tadi perlu dilakukan agar dalam pemilu nanti istilahnya kita tidak ”membeli kucing dalam karung” atau salah pilih.

Setelah beberapa kali pemilu, para pemilih diharapkan menjadi lebih bijaksana dan pintar memilih calonnya. Bukan berdasarkan emosi, melainkan berdasarkan rasio. Perlu diamati program dan janji-janji capres tersebut apakah masuk akal dan dapat dicapai serta diimplementasikan dengan baik. Tidak sekadar obral janji-janji kosong yang tidak realistis yang mempermainkan emosi para pemilih belaka. Pepatah lama mengatakan ”rakyat minta bukti, bukan janji”.

Kita sudah mempunyai pengalaman dalam beberapa pemilu, namun diperlukan ”wisdom” dan analisis tajam serta standar kualitas tinggi untuk memilih capres yang mumpuni agar kita tidak dibuat kecewa. Dengan melihat terhadap masalah-masalah nasional yang bertumpuk tadi, mutlak perlu diperlukan capres yang berkualitas, berpandangan luas, rasional, mempunyai visi, komprehensif, dan konsisten dengan program dan janji-janjinya. Jangan sampai berhenti di tengah jalan karena gagal atau dimakzulkan karena melanggar konstitusi.

Kepiawaian berdiplomasi dan memengaruhi parpol koalisi juga diperlukan capres mendatang. Tidak hanya popularitas dan pencitraan saja yang diperlukan. Pengalaman telah mengajarkan, kualitas capres harus mumpuni dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Bagaimana kepentingan bangsa dan nasionalisme harus tetap dapat dipertahankan dalam era globalisasi.

Cita-Cita Negara Hukum

Cita-cita negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana dijamin UUD 1945 harus dicapai agar keadilan hukum dan keadilan sosial dapat dicapai. Dalam negara hukum, keadilan harus didistribusikan kepada setiap warga negara dan tidak boleh ada diskriminasi dan perbedaan. Untuk itu hukum dan keadilan harus ditegakan.

Selama ini hanya pembangunan ekonomi dan politik yang ditonjolkan, padahal manusia tidak dapat hidup tanpa hukum. Adanya masyarakat berarti ada hukum (ubi societas ibi ius). Tidak mungkin kita hidup tanpa hukum. Adanya hukum direalisasikan sehari-hari dalam penegakan hukum sehingga dapat menjamin tercapainya keadilan. Keadilan bagi semua warga negara berarti ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang, yang bermuara kepada pencapaian kemakmuran atau kesejahteraan (welfare state).

Selama ini persoalan-persoalan nasional sering kali diselesaikan secara fisik atau militer, padahal dalam negara hukum seharusnya hukum bukan saja sebagai ultimum remedium, melainkan juga sebagai premium remedium. Melihat pemerintahan era reformasi yang lalu di mana supremasi hukum belum dijadikan solusi terhadap masalahmasalah nasional, maka capres yang akan memerintah di waktu mendatang (2014–2019) diharapkan betul-betul dapat menegakkan hukum secara adil dan konsisten terhadap siapa pun tanpa ada diskriminasi.

Pembangunan ekonomi dan politik saja selama ini sering kali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Rakyat Indonesia dirasuki sifat-sifat materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Politik uang juga merasuki para politisi kita. Mereka menganggap bahwa uang adalah segalanya untuk mendapatkan kekuasaan.

Generasi muda politisi yang diharapkan dapat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa dan negara malah menyalahgunakan jabatannya dan melakukan korupsi besar-besaran tanpa rasa takut dan malu kepada rakyat Indonesia. Program pembangunan semesta itu harus prorakyat dan untuk kepentingan rakyat, bukan golongan atau kelompok (pemerintahan oligarki).

Berdasarkan hal-hal tersebut, kemampuan mumpuni capres mendatang dalam menghadapi persoalan berat bangsa sangat diperlukan. Capres mendatang harus dapat mengubah dan memperbaiki keadaan saat ini. Sudah jelas penegakan hukum harus menjadi prioritas utama dalam masa pemerintahannya, khususnya pemberantasan korupsi. Keteladanannya akan menjadi pertaruhan dalam memberantas korupsi tanpa terlibat dalam praktik korupsi itu sendiri.

Pendek kata, ke depan, pemerintahan dengan memegang teguh prinsip good governance merupakan pemerintahan yang dinanti-nanti oleh rakyat Indonesia yang sudah lelah dan jemu hidup dalam kesemrawutan, konflik, tidak bermartabat, dilecehkan bangsa lain, dan ketidakpastian hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar