Nasib
Bangsa Dipertaruhkan
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 11 April 2014
Setiap
kita mengadakan pemilihan legislator dan pasangan capres-cawapres,
sesungguhnya kita tengah mempertaruhkan nasib bangsa dan rakyat lima tahun ke
depan atau bahkan lebih.
Ibarat
perjalanan dengan pesawat terbang, rakyat sebagai penumpangnya, lalu presiden
dan jajaran kabinetnya sebagai pilot dan awak pesawatnya. Nasib kita di
tangan mereka. Jika mesin dan pilotnya tidak beres, rakyat dan bangsa akan
mengalami kecelakaan. Dua dekade bangsa ini heboh dengan tema demokrasi dan
isu korupsi. Namun, pembangunan terbengkalai.
Kabinet
sibuk dengan lobi koalisi yang berujung saling menyandera, sementara arah dan
hasil pembangunan dipertanyakan. Indikatornya sederhana saja, Indonesia
sangat lemah daya saingnya dalam percaturanglobal, padahal bangsa ini kaya sumber
daya alam dan manusia. Jadi, pemerintahan selama ini lebih sibuk politik dan
menelantarkan pembangunan.
Mungkin
ini sebagai antitesis pemerintahan Orde Baru yang menonjolkan pembangunan,
namun demokrasi dipersempit ruangnya. Rasanya rakyat sudah semakin kritis,
mereka memperoleh banyak pelajaran dari dua model pemerintahan Orde Baru dan
Orde Reformasi. Kita ingin dua-duanya berjalan. Itu bukan sangat
dimungkinkan, namun suatu keharusan yang mesti dilaksanakan.
Bukankah
jargon demokrasi adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat?
Jadi,pemerintahan ke depan akan ditagih oleh rakyat untuk memenuhi janji,
mimpi, dan cita-cita bersama itu yaitu kehidupan yang demokratis, penegakan
hukum, pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Rakyat Indonesia itu sangat
kreatif dan dinamis. Yang diperlukan adalah pemerintahan yang efektif,
wibawa, dan melayani.
Rakyat
tak lagi butuh citra, retorika, dan gaya. Hasil pemilu legislatif menunjukkan
tak ada kekuatan parpol yang dominan. Kekuatan politik terbagi-bagi sedemikian
rupa sehingga akan mendorong tampil kabinet koalisi. Namun, rakyat memiliki
kenangan pahit dengan kabinet koalisi-pelangi yang terkesan hanya bagi-bagi
menteri dan eselon satu yang kesemuanya tidak melahirkan karya monumental.
Bahkan
masing-masing parpol ibarat mobil yang saling mengunci di perempatan lampu
merah ketika traffic-light mati.
Mereka berjubel saling kesal sehingga perjalanan terganggu, bahan bakar dan
emosi terkuras. Ongkos birokrasi dan politik sangat tinggi, hasilnya tidak
seimbang––untuk tidak mengatakan bangkrut.
Kerusakan
moral tidak saja terjadi dalam tubuh parpol dan birokrasi di pusat, tetapi
juga telah menyebar ke masyarakat sampai daerah-daerah. Panggung politik
telah berubah jadi ajang bisnis transaksional. Triliunan uang keluar untuk
ongkos politik antara lain untuk membeli suara dan biaya saksi, bukan
tersalur untuk mendukung sektor pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Berdasarkan cerita teman-teman yang ikut berkompetisi menjadi caleg, ternyata
uang jauh lebih berpengaruh daripada intelektualitas dan prestasi kerja.
Meski
seseorang pernah menjadi anggota DPR dengan prestasi yang bagus, akan mudah
dikalahkan oleh caleg yang lebih banyak membagi uang untuk membeli suara
sebelum pencoblosan. Ini kisah nyata yang amat menyakitkan. Ke depan semua
ini mesti diakhiri. Jangan menempatkan bangsa dan rakyat jadi tumbal
pseudo-demokrasi dan politik. Janganlah politik merusak mental masyarakat.
Kita senang pelaksanaan pileg secara umum berlangsung damai.
Namun,
kita merasakan kegamangan dan keraguan, adakah garansi atau jaminan kehidupan
politik dan pemerintahan akan menjadi lebih baik pada hari esok? Sekian
banyak intelektual hanya menjadi penonton dan komentator karena merasa kurang
berminat terjun ke politik praktis, atau peluang serta dukungan dana yang
tidak ada.
Di
tengah kegamangan itu, masih muncul harapan kepada parpol dan pemain baru
yang masuk dalam panggung politik. Semoga
akan muncul kekuatan baru, meskipun minoritas, yang akan sanggup melakukan
terobosan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar