Pilihan,
Citra, Luka
Geger Riyanto ; Esais
|
TEMPO.CO,
01 April 2014
Saya
sangsi kalau masyarakat Indonesia dikatakan pelupa. Bila dicermati dengan
saksama, kita sebenarnya tak pernah melupakan apa pun. Dan penekanan saya,
khususnya, kita sebenarnya tak pernah melupakan bagaimana pada masa Orde
Baru nyawa ditaksir murah, hak-hak
dirampas, dan kekayaan ditimbun oleh satu keluarga Paman Gober.
Hanya,
kita perlu menyadari, manusia berbeda dengan komputer. Dan ingatan? Ingatan
bukanlah bank data yang mampu menyimpan fakta masa lalu penuh presisi.
Ingatan, sekali ini para penjaja motivasi pendidikan itu benar, disimpan oleh
tubuh dalam bentuk kilasan perasaan-perasaan kuat. Tak perlu semenit untuk
melupakan kata-kata yang kita ucapkan, kita tahu. Tapi butuh lebih dari satu
usia hidup seseorang untuk melupakan satu pengalaman amat menyakitkan yang
melanda diri.
Jadi,
kabar baiknya, para sejarawan yang gemar mengkritik bahwa masyarakat kita
amnesia itu keliru. Masyarakat kita adalah pengingat yang baik, manakala kita
memahami kelambu otak bukanlah kertas untuk ditulisi teks-teks ingatan
terinci. Kita, memang, tidak mengingat Orde Baru lengkap dengan segenap
detail kasus korupsi dan perlakuan sewenang-wenangnya terhadap warga. Namun
kita masih-dan mungkin akan terus-mengingat kesan-kesan yang tak bisa
dikatakan sepenuhnya keliru menggambarkan rezim bersangkutan: keras, tertib,
dan (jamak pula) keji.
Kabar
lainnya-kabar buruknya, mungkin?-adalah ingatan yang terekam dalam wujud
bayang-bayang ini pada hari-hari belakangan memberi pihak-pihak tertentu
tempat istimewa di hati khalayak luas. Dalam kegusaran yang sebenarnya lazim
menimpa masyarakat yang terguncang sistem pasar bebas, orang-orang mencari
mesias pembawa ketertiban. Mereka haus akan induk yang sekonyong-konyong saja
hilang digantikan rangkaian kekerasan di sana-sini; baik kekerasan sistemik,
kesenjangan, kebutuhan hidup yang kian tak terjangkau, maupun kekerasan fisik
yang Anda tentu tahu dan akrab menyapanya setiap hari di media.
Dan
menjelang pemilu di mana perubahan ada di ujung jari warga awam, ingatan yang
juga kekaburan masa lampau kolektif ini merekonstruksi sosok yang bukan hanya
mewarisi citra rezim yang tertib, tapi juga terlibat langsung dalam sejarah
peristiwa-peristiwa penertibannya. Lewat kerja kognitif yang sebenarnya
absurd, ia menjadi identik sebagai sosok dari masa lalu yang akan
mengembalikan masa yang jaya dan tenang itu. (Caranya? Entahlah. Citra hanya
memerlukan ciri. Bukan program.)
Khalayak,
berarti, bukannya tak ingat akan luka yang pernah ditorehkan kalau kita mau
menyebut warisan Orde Baru demikian. Kita bukannya lupa saat itu gangguan
terhadap rezim diatasi dengan penghilangan. Di satu sudut gelap batinnya,
khalayak ini mendambakan ketegasan yang nyaris tak berbatasan dengan
kekejaman itu. Trauma diintimidasi oleh rezim menjelma menjadi ingatan buram
bahwa kita pernah punya bapak yang arif yang menghukum kita demi kebaikan
kita sendiri. Sosok yang kita kira tak enggan menyakiti kita, kalau saya
boleh mengutip Anas, "sedang musim."
Kita
biasa memilih penguasa kita dengan alasan-alasan yang absurd. Kali ini, boleh
jadi, kita akan memilih dengan alasan yang lebih absurd lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar