Gaya
Koboi Wagub Ahok
Agung Suprio ; Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 16 April 2014
Saat ini
tak ada pejabat yang lebih unik ketimbang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
wakil gubernur (wagub) DKI Jakarta. Ia satu dari sedikit warga etnis Tionghoa
yang ikhlas berkiprah di ranah politik dan punya karier gemilang.
Namun,
belakangan, gaya komunikasi sang wagub tak ubahnya koboi yang haus sasaran
tembak. Tengok saja pernyataannya kala ditanya seputar rencananya jika
menjadi Gubernur DKI—sekiranya Gubernur Joko Widodo yang maju menjadi calon
presiden lantas terpilih sebagai RI-1. Menurut Ahok, wakil gubernurnya harus
cocok dengan dirinya. “Kalau
macam-macam, kita ‘Prijanto’- kan,” ujarnya diiringi gelak.
Prijanto
adalah mantan wakil gubernur DKI di masa Gubernur Fauzi Bowo, yang nyaris
diparkir oleh atasannya, tak diberi tugas apa pun. Ahok memberi label “di-Prijantokan” tanpa memikirkan
bahwa seorang Prijanto akan terluka hatinya. Prijanto adalah orang baik,
prajurit tanpa cela, tak pantas diperlakukan demikian. Ahok lantas memang
meminta maaf. Tapi luka sudah berdarah. Dan itu pun bukan satu-satunya luka
yang ia buat.
Ahok
juga pernah melukai perasaan para guru honorer yang mengadu soal dugaan
kecurangan dalam penerimaan PNS. Alih-alih menanggapi baik laporan para guru
itu, Ahok malah memaki habis-habisan sehingga salah satu perempuan guru yang
mengadu ketakutan, menangis, lalu pingsan. Sementara Ahok berlalu kembali ke
ruang kerjanya. Sewaktu menyikapi rencana pembangunan monorel, Ahok bersikap
oposan. Ia abai dengan fakta bahwa program didasari perjanjian kerja sama
(PKS) yang melibatkan Pemprov DKI dan sudah berumur 10 tahun.
Di bawah
komando Jokowi, PKS disempurnakan sehingga sangat pro terhadap publik dan
menguntungkan Pemprov. Alih-alih memberi kontribusi positif, Ahok malah
menyebar spekulasi bahwa monorel akan mangkrak dan ia akan bertindak pada
waktunya. “Liat aja, tunggu gue jadi
gubernur,” katanya. Ahok seharusnya fokus menjadi seorang wakil yang
mendukung atasannya. Jokowi belum tentu akan meninggalkan Balai Kota.
Ahok
tidak boleh mengeluarkan kebijakan sendiri, terutama yang bertentangan dengan
gubernur. Ia tak pantas melangkahi batas sebagai seorang wagub. Ashadi
Siregar (2005) menegaskan, bagaimanapun, kapabilitas pejabat publik ketika
berkomunikasi penting diperhatikan. Ada dimensi etis yang lekat dalam
komunikasi pejabat tinggi. Dan setiap komunikasi sebenarnya dilatari
personality yang bersifat khas yang menentukan cara dan manners yang
ditampilkan—sekaligus diksi, mimik, dan gestur yang terlihat khalayak.
Ahok
jangan memilih menjadi komunikator low
context. Tapi tinimbang mendukung kebijakan gubernur, ia malah arogan
menantangnya melalui media. Seolah-olah, ingin mengatakan siap menjadi
gubernur. Pernah pula Ahok mengaku tahu Michael Bimo Putranto, yang diduga
terlibat kasus pengadaan bus Transjakarta. Ia bilang, Michael Bimo kerap
memanfaatkan kedekatannya dengan Gubernur Jokowi.
Eeh,
begitu disatroni Michael Bimo di kantornya, Ahok mengaku tak kenal, berkelit,
dan menyatakan pelbagai tuduhan yang ia lontarkan hanya didasarkan berita
media massa. Begitu juga ketika ngomel-ngomel kepada DPRD DKI soal pengadaan
200 truk sampah. Kata Ahok, DPRD menolak usulan itu. Ia tuduh DPRD menghambat
kerja pemprov. Belakangan Ahok mengakui pemprov tidak memasukkan usulan
pengadaan truk sampah dalam APBD 2014.
Menyebut kata “di-Prijantokan”,
membuat pingsan seorang guru perempuan, salah tuduh kepada DPRD, mestinya
cukup membuat Ahok mawas diri. Tapi ia malah asyik marah-marah. Ahok memaki
para pejabat di hadapan pengusaha dan media. Ia murka mengetahui sejumlah
perusahaan yang menyumbang bis ke pemprov DKI masih dipunguti pajak reklame. “...pegawai DKI gendeng.. Orang mau
sumbang bus dikenakan pajak! Ini pejabat maunya apa?!”
Menurut
Ahok, papan reklame pada badan bus sumbangan tidak perlu dipajaki. Ia tak mau
tahu bahwa aturan soal itu masih belum jelas sehingga birokrasi di bawahnya
tak mau gegabah. Toh, untuk saat ini, bagaimana mungkin pengusaha yang
beriklan dan melakukan advertising
bisa dibebaskan dari pajak dengan embel-embel menyumbang? Ia lalu menantang
siapa pun boleh membunuhnya jika tak suka dengan sikapnya yang tak mau
mempersulit penyumbang bus.
Masukan bawahan ia nafikan dan malah mencoret-coret memo resmi sekda,
lalu mempertontonkannya ke publik. Sayangnya, Ahok tidak konsisten
ketika ia malah menyulitkan investasi di sektor publik yang tak menggunakan
seperak pun dana pemda, seperti monorel.
Alhasil,
inkonsistensi dan sikap low context
Ahok pun menimbulkan pertanyaan. McQuail & Windahl (1993) menyatakan,
setiap pesan mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalayak.
Lalu, efek semacam apa yang diharapkan Ahok
ketika terus bikin kisruh di pemprov DKI? Untuk apa Ahok memberi kesan bahwa
dirinya patut diperhitungkan ketika Gubernur Jokowi maju sebagai calon
presiden dalam pemilu yang bakal menjelang?
Adakah kepentingan lain di balik Ahok? Mengapa Ahok tidak berpikiran
bahwa ia akan menjadi wakil Jokowi hingga 2017 mendatang?
Ditanya
begitu, mungkin Ahok akan marah-marah lagi. Saya tak akan kaget. Saya juga
kerap marah. Tapi saya punya privilese: saya bukan pejabat tinggi. Dan
marah-marah memang bukannya tak boleh. Masalahnya, setelah marah-marah dan
main ancam apa yang kemudian terjadi? Apakah ancaman-ancaman itu
dilaksanakan?
Apakah marah-marahnya
Ahok kini masih menakutkan atau sekadar menjengkelkan? Ahok harus paham bahwa
komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990). Produk
komunikasi bukanlah sekadar refleksi, melainkan representasi. Jadi, gaya komunikasi low
context Ahok sejatinya merepresentasikan kepentingannya yang telanjang.
Plus bisa dianggap merepresentasikan gaya berpolitik kaum Tionghoa.
Ahok harus sadar, jangan sampai ia memberi cap buruk bagi kaum Tionghoa
dalam berpolitik. Wagub Ahok harus lebih bijak. ”Ojo kagetan, Ojo gumunan, Ojo dumeh”. Sayang, ia punya potensi
dan idealisme bagus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar