Adil
dan Makmur
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
12 April 2014
TUJUAN
pembentukan negara Indonesia adalah rakyat yang adil dan makmur, begitu
disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Apa maksudnya? Tentu semua negara di
dunia tujuannya sama, yakni kemakmuran hidup rakyatnya dan keadilan tanpa
pandang bulu. Namun, konsep adil dan makmur ini tidak sama artinya bagi semua
bangsa bergantung pada struktur budayanya. Paling tidak itu isi pidato
Soepomo, doktor hukum adat, dalam rapat-rapat pembentukan UUD pada 31 Mei
1945.
Negara,
menurut Soepomo, ”bersifat barang yang
bernyawa”. Sesuatu yang bernyawa atau ”hidup” mengandung tiga elemen
dasar yang merupakan satu kesatuan utuh, yakni kehendak (yang bebas), cara
berpikir, dan tindakan yang mengandung kekuatan kekuasaan. Yang ini bukan
dari Soepomo, melainkan dari masyarakat adat Baduy yang kalau ditelusuri
lebih jauh mirip seperti yang ada di Brihad Upanishad, India kuno.
Lembaga
tertinggi yang kekuasaannya tak terbatas adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Inilah lembaga negara yang mewakili kehendak, keinginan, cita-cita
seluruh rakyat Indonesia. Di situ duduk wakil-wakil daerah dan golongan.
Lembaga ini memiliki kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan
kekuasaan rakyat tersebut. Kekuasaan MPR ini dimandatkan kepada presiden yang
menjalankan kekuasaan rakyat tersebut.
Itulah
sebabnya presiden cukup dipilih oleh MPR dan tidak meniru Amerika Serikat
yang dipilih langsung oleh rakyat. Konsep ini bersifat Indonesia, yakni
pemilik kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedangkan yang menjalankan
kekuasaan bukan pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Inilah konsep ”pasangan”
atau ”jodoh” atau ”kekeluargaan” yang ada di segala segi kehidupan kaum jadul
itu. Jelas bukan penganut liberalisme atau individualisme.
Dalam
praktik sehari-hari, yang melaksanakan kekuasaan tak lain adalah rakyat
sendiri di bawah pimpinan lokal masingmasing. Dengan demikian, ada lingkaran
kekuasaan dalam UUD 1945, seperti dirumuskan oleh Abraham Lincoln, bahwa
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak akan lenyap
dari muka bumi.
Rakyat
tak mungkin memerintah dirinya sendiri. Mereka memilih wakil-wakil yang
mereka percayai dan duduk dalam lembaga yang dapat dihitung jumlahnya, yakni
MPR. Kemudian rakyat memilih presiden melalui MPR. Presiden inilah yang
memerintah rakyat, yang jika pemerintahannya tak membawa keadilan dan
kemakmuran bagi rakyat, rakyat tinggal mendesak MPR untuk mencabut mandatnya
pada presiden. Kekuasaan itu sirkuler: dari rakyat kembali ke rakyat.
Tugas
negara, dalam hal ini presiden dan pemerintahannya, mengantarkan rakyat pada
keadilan dan kemakmuran. Mengapa adil dan makmur? Inilah konsep pasangan atau
jodoh dunia kuno kita, seperti pasangan kawula-gusti (rakyat-pemerintah),
makro-mikro (rakyat-MPR), dan lahir-batin (makmur-adil).
Roh dan badan
Kemakmuran
adalah persoalan lahir, tubuh, material yang di dunia kuno kita isinya hanya
”sehat” dan ”kaya”. Keadilan adalah persoalan batin yang rohaniah/spiritual
yang isinya cuma satu: ”masuk surga”.
Tiga elemen tujuan negara ini dapat dijabarkan dalam puluhan item menurut
kebutuhan setiap zaman, tetapi intinya tetap pasangan roh dan badan. Roh
menghidupi badan, badan menjaga roh. Itulah sebabnya elemen hidup ”sehat”
amat esensial bagi manusia.
Kemakmuran
dan kekayaan rakyat bukan satu-satunya tujuan negara. Pemerintah yang hanya
mengklaim kesuksesannya pada meningkatnya pendapatan rakyat tentu tak paham
UUD 1945. Banyak masyarakat adat yang sudah ”adil dan makmur” dalam budaya
lokalnya justru terganggu program pemerintah yang hanya mencapai sasaran ”kaya dan makmur”. Rakyat tidak hanya
butuh yang lahir, tetapi justru lebih menekan yang batin.
Pada
kepercayaan mana saja, dalam masyarakat religius, rohaniah itu lebih utama
daripada yang duniawi karena yang rohani menghidupkan, menggerakkan, dan
memberikan tenaga pada tubuh. Tenaga, energi, kekuatan adalah esensi
spiritual, begitu ungkap Leonardo da Vinci. Kita hidup dan bergerak karena
yang rohani menyatu dalam tubuh. Gerak tubuh ini tak terpisahkan dari elemen
pikiran dan keinginan manusianya. Dengan demikian, ”adil” masuk dalam
kategori hidup rohaniah.
Dunia
modern kita telah jauh meninggalkan konsep-konsep kearifan lokal Indonesia
ini. Kita memaksakan diri hidup dalam ”struktur
budaya” masyarakat yang asal-usul dan perkembangannya berbeda dengan
Indonesia. Itu sebabnya UUD 1945 kita bongkar disesuaikan dengan kebutuhan
modern kita. MPR yang dirancang sebagai lembaga kehendak dan keinginan rakyat
disingkirkan diganti dengan DPR yang justru dalam UUD hanya bagian MPR
belaka.
Jika
kelembagaan negaranya sudah seperti itu, bagaimana dapat jodoh dengan rakyat?
Bagaimana masyarakat adil dan makmur dapat terwujud? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar