Mengobati
“Hydrocephalus” Otonomi Indonesia
Irfan Ridwan Maksum ; Ketua Program
Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
|
KOMPAS,
12 April 2014
DILIHAT
dari kontur fisik pembangunan nasional dengan ukuran otonomi, bangsa
Indonesia mengidap penyakit hydrocephalus,
yakni membesarnya kepala akibat gangguan aliran cairan dalam otak. Penyakit
ini tidak ada obatnya dan secara statistik tidak ada pengidap penyakit ini
sampai berumur tua. Umumnya di usia anak-anak sudah meninggal. Amat jarang
sampai usia remaja, apalagi dewasa.
Indonesia
mengalami kelebihan beban secara fisik di ibu kota negara. Jika dibuat
analogi tubuh manusia, tentu Indonesia adalah seorang manusia dengan kepala
yang amat besar. Ibu Kota adalah pusat pemikiran dan perencanaan, pusat
pemerintahan, sehingga tepat dianalogikan sebagai kepala.
Secara
fisik, kita saksikan terjadi persoalan yang amat merisaukan di ibu kota RI,
terlebih di masa musim hujan, yakni kemacetan. Jika terjadi banjir, aktivitas
Ibu Kota lumpuh. Pada saat normal, tidak terjadi banjir sekalipun, kemacetan
sudah jadi pemandangan sehari-hari. Kelambanan aktivitas akibat kemacetan di
Ibu Kota berdampak terhadap rapuhnya sendi kehidupan, bukan saja warga kota,
melainkan juga warga Indonesia.
Kronis
Gangguan
cairan dalam penyakit hydrocephalus berupa tersumbatnya cairan, semakin
bertambah banyak, yang selanjutnya menekan jaringan otak di sekitarnya,
khususnya pusat-pusat saraf yang vital. Penderita hydrocephalus umumnya akan
bersikap rendah diri karena persoalan ketidakwajaran dalam fisiknya. Reaksi
ini berdampak terhadap kondisi kejiwaan. Efek berikutnya ialah terjadinya
kerentanan. Akhirnya, penderita rentan dalam menjaga kesehatan dirinya.
Asupan
gizi tidak diperhatikan. Akibatnya komplikasi pun terjadi. Penyakit kejiwaan
dan fisik menjadi satu sehingga amat jarang berumur panjang meski umur
ditentukan oleh Yang Mahakuasa.
Dengan
menumpuknya beban di Ibu Kota, akibat kemacetan yang tak kunjung
terselesaikan, perilaku warga dan para pengambil keputusan juga menunjukkan
gambaran yang tidak sehat. Tekanan persoalan akibat kemacetan berdampak
kejiwaan bagi warga kotanya.
Proses
pengambilan keputusan di Ibu Kota ditengarai dalam dua aras, yakni
pengambilan keputusan nasional dan pengambilan keputusan lokal yang
menyangkut Provinsi DKI Jakarta. Efek kemacetan Ibu Kota ternyata bukan hanya
pada mereka yang ada di Provinsi DKI. Para pengambil keputusan di tingkat
nasional, termasuk birokrasinya, terkena imbas kemacetan Jakarta.
Hydrocephalus otonomi Indonesia adalah
penyakit yang dihadapi elemen-elemen terkait pengambil keputusan di tingkat
nasional akibat beban Jakarta yang kian menumpuk. Pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan yang seharusnya tersalurkan ke seluruh Indonesia tidak akan
efektif akibat penyakit ini. Apalagi komplikasi dengan penyakit korupsi.
Penyakit korupsi telah menjalar ke seluruh elemen-elemen pengambilan
keputusan di setiap lini bangsa Indonesia.
Tata
kelola yang lamban secara tidak sadar dibiarkan terus terjadi. Komplikasi
penyakit terjadi dalam manajemen negara bangsa Indonesia. Bahkan, karena
stadium kronis, bangsa Indonesia seolah tidak sadar mengidap penyakit
hydrocephalus ini.
Perubahan radikal
Di Ibu
Kota terdapat dua aras pengambil keputusan bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Dalam keadaan hydrocephalus, sepatutnya aras utamalah yang bertanggung jawab
untuk mengatasi penyakit tersebut. Mereka harus membenahi persoalan kemacetan
Jakarta secara radikal.
Sebagaimana
diketahui, penanganan hydrocephalus dapat dilakukan dengan melakukan operasi
membuka urat atau saluran yang tersumbat, atau membuat saluran baru agar
cairan yang berada di kepala dapat dialirkan dengan lancar atau dikeluarkan
dari dalam tubuh. Jika terlambat penanganannya, penyakit ini dapat mematikan
penderitanya, terlebih jika sudah merusak saraf vital otak penderita.
Banjir
Jakarta adalah kondisi yang dapat menyumbat dan bahkan katalisator makin
kronisnya hydrocephalus otonomi Indonesia. Untuk itu, juga harus ditangani
secara radikal. Kita tidak sadar bahwa daya saing bangsa Indonesia lamban
karena kita mengidap otonomi hydrocephalus yang ditandai membengkaknya fisik
Ibu Kota dengan tata kelola yang tidak efektif.
Bukan
gubernur DKI yang bertanggung jawab menangani kemacetan dan banjir Jakarta.
Membangun Jakarta adalah kepentingan semua bangsa Indonesia. Dukungan semua
elemen bangsa Indonesia harus diberikan karena, jika tidak, bangsa Indonesia
dalam proses membiarkan mati secara perlahan karena penyakit hydrocephalus
terus tumbuh.
Kemauan dan kerja keras
Beruntung
analogi masyarakat mengenai penyakit ini dapat disembuhkan dengan kemauan,
kerja keras, dan kebersamaan elemen masyarakatnya. Hydrocephalus sesungguhnya
tidak ada obatnya. Hanya Tuhan Yang Mahakuasa yang menentukan.
Perencanaan
yang matang secara komprehensif menyangkut kemacetan dan banjir Jakarta harus
dibuat. Mimpinya adalah Jakarta tidak macet dan tidak banjir. Perencanaan
tersebut harus diwujudkan oleh elemen pengambil keputusan dan pelaksana
keputusan secara terpusat oleh bangsa Indonesia sendiri dan bukan oleh
otonomi hydrocephalus.
Bila
perlu, otonomi daerah untuk Jakarta dihapus terlebih dahulu menunggu bebas
dari hydrocephalus. Perihal di bagian mana di pusat yang menangani Jakarta,
harus diputuskan oleh elemen pengambil keputusan nasional cepat, tepat, dan
efektif. Orientasinya adalah kelembagaan yang mampu bertindak radikal, cepat,
dan efektif mengatasi kemacetan dan banjir Jakarta.
Dalam
hal ini, tampaknya kekhususan Jakarta harus didefinisikan ulang untuk
mengatasi otonomi hydrocephalus. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar