Rabu, 01 November 2017

“Quo Vadis” Catalonia Merdeka

“Quo Vadis” Catalonia Merdeka
Hassan Wirajuda ;   Menteri Luar Negeri RI 2001-2009; 
 Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014
                                                      KOMPAS, 31 Oktober 2017



                                                           
Menyusul referendum Catalonia pada awal Oktober lalu, Parlemen Catalonia secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan Catalonia pada 27 Oktober 2017.

Referendum dan pernyataan kemerdekaan Catalonia merupakan peristiwa yang memiliki implikasi besar. Tidak hanya bagi Spanyol, tetapi juga Eropa dan tatanan dunia, terutama yang berkaitan dengan konsepsi negara-bangsa (nation-state) dan tata hubungan antarnegara.

Mau ke mana Catalonia?

Pernyataan kemerdekaan tidak serta-merta menjadikan Catalonia negara merdeka. Memang ada batasan wilayah yang jelas dan dapat diasumsikan ada rakyat yang pro kemerdekaan. Namun, masih ada dua syarat berdirinya negara yang belum dipenuhi, yaitu belum adanya pemerintahan dan pengakuan luas oleh masyarakat internasional.

Saat ini ada kevakuman pemerintahan karena pemerintah pusat sudah membubarkan pemerintah Catalonia dan mengambil alih pemerintah daerah, termasuk mencopot kepala Kepolisian Catalonia. Uni Eropa dan 27 negara anggotanya tidak mengakui, bahkan menolak pernyataan kemerdekaan Catalonia. Juga negara-negara lain, termasuk AS dan Indonesia.

Pemerintah Spanyol telah memutuskan mengambil alih pemerintahan Catalonia melalui direct control. Parlemen Catalonia dibubarkan dan pemilihan umum daerah dijanjikan akan dilaksanakan 21 Desember 2017.

Menjadi pertanyaan besar, apa kelanjutan dari konflik Catalonia: apakah konflik pusat dan daerah ini dapat diselesaikan secara damai melalui dialog atau menjadi konflik terbuka yang berdarah? Titik kritisnya akan kita saksikan pada 50 hari mendatang.

Memperhatikan penolakan keras oleh Madrid, Carles Puigdemont-mantan gubernur dan proklamator kemerdekaan Catalonia-baru-baru ini menyatakan bahwa Catalonia akan melakukan “oposisi demokratik” terhadap Madrid. Menghadapi tekanan Madrid, bisa jadi Puigdemont akan menempuh cara penyelesaian konflik melalui dialog dan tanpa kekerasan. Secara bersamaan, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy menyatakan akan memulihkan keadaan di Catalonia melalui penegakan hukum dan bukan melalui penggelaran kekuatan. Kita perlu saksikan dinamika ini pada minggu-minggu mendatang.

Catalonia dan Eropa

Sejak lahirnya konsepsi negara-bangsa (nation state) berdasarkan Perjanjian Westphalia 1648, pada kenyataannya Eropa tidak pernah luput dari gejala disintegrasi.

Separatisme Basque di provinsi paling utara Spanyol sejak 1959 tidak pernah padam. Pada tahun 2015, atas persetujuan Pemerintah Inggris, Skotlandia menyelenggarakan referendum; kaum pro-kemerdekaan Skotlandia kalah tipis dengan selisih suara hanya 10 persen. Tuntutan kemerdekaan akan terus menguat dengan menangnya pemerintahan Partai Nasionalis Skotlandia dalam kaitan dengan referendum yang memutuskan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang lebih dikenal dengan Brexit.

Pernyataan kemerdekaan Catalonia dapat memicu penguatan separatisme di Eropa. Menurut Presiden European Commission Jean-Claude Juncker, gejala separatisme Catalonia dapat mencabik-cabik Uni Eropa.

Di Italia, dua provinsi yang kaya, Veneto dan Lombardia, menuntut kewenangan lebih besar di bidang ekonomi, imigrasi, dan pendidikan. Masih belum jelas apakah tuntutan yang didasarkan hasil referendum pada minggu ketiga Oktober itu akan dipenuhi oleh Roma. Ataukah, jika ditolak, akan memancing referendum yang menuntut kemerdekaan. Terdapat batasan yang tipis antara tuntutan akan otonomi luas dengan kemerdekaan.

Apabila pada negara-bangsa, di mana konsensus fundamental tentang negara-bangsa sudah kuat-seperti Inggris yang sudah eksis selama 310 tahun dan Kerajaan Spanyol yang sudah berusia 307 tahun-menghadapi tantangan disintegrasi, lalu bagaimana dengan negara-bangsa di banyak negara berkembang yang umumnya lahir pasca-Perang Dunia Kedua? Tatanan dunia yang berlaku hingga saat ini di bawah piagam PBB bertumpu pada prinsip hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination), yang melahirkan banyak negara-bangsa (193 negara anggota PBB), dan prinsip penghormatan terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional. Kedua prinsip yang bersumber dari sistem Westphalia ini sebetulnya mengunci potensi lepasnya bagian negara untuk menjadi suatu entitas merdeka.

Pernyataan kemerdekaan masuk dalam kategori pemisahan diri (secession), bukan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri. Tidak heran kalau dari awal Madrid mengatakan referendum di Catalonia itu ilegal dilihat dari konstitusi Spanyol ataupun dari sisi piagam PBB.

Bubarnya Yugoslavia menjadi negara Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, FRY Macedonia, dan Serbia, pada dekade terakhir abad lalu, suatu pengecualian dari prinsip-prinsip umum (suis generis) tadi. Bahwa, ada keadaan luar biasa akibat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Beograd. Ini yang membedakan dengan lahirnya Kosovo yang didorong oleh Uni Eropa pada tahun 2005 karena kondisi suis generis itu tidak ada. Sampai saat ini, Kosovo tidak mendapat pengakuan oleh PBB.

Konsekuensi terhadap hubungan antarbangsa

Konsepsi negara-bangsa di era ini mengalami banyak tekanan, baik dari kekuatan sentripetal maupun sentrifugal sekaligus. Negara-bangsa digerogoti dari bawah oleh gerakan separatisme, yaitu tumbuhnya micro-nationalism (nasionalisme sempit yang didasarkan atas kesadaran akan etnik, budaya, tradisi, bahkan agama). Negara-bangsa juga mengalami tekanan dari atas, yaitu regionalisme dan globalisasi. Uni Eropa, yang merupakan suatu organisasi supra-nasional, dapat memicu bagian-bagian wilayah dari negara-negara anggotanya untuk merdeka.

Tidak ada persoalan bagi Skotlandia atau Catalonia untuk merdeka karena-walau keduanya merupakan entitas kecil-apabila menjadi anggota Uni Eropa, roaming area-nya adalah seluruh wilayah Eropa. Penduduk mereka memiliki lintas bebas untuk menetap dan bekerja di negara lain. Tak mengherankan jika Inggris dan Spanyol dari awal sudah wanti-wanti akan memveto masuknya Skotlandia atau Catalonia ke Uni Eropa apabila mereka tetap pada opsi merdeka.

Globalisasi juga dapat memicu disintegrasi. Kemajuan teknologi telekomunikasi, terutama internet, memungkinkan kelompok-kelompok separatis membangun jaringan guna menggalang dukungan dari berbagai belahan dunia. Tetapi juga dunia yang semakin tanpa batas dan pasar bebas menjadikan negara-negara kecil yang tidak punya kekayaan alam atau pasar yang besar dapat berkembang menjadi negara yang makmur. Ini menguatkan ungkapan “small is beautiful“.

Kebebasan dan hak asasi yang menjadi karakter dasar dari kehidupan demokrasi bisa menguatkan kecenderungan ini. Toleransi pada perbedaan dapat menjurus pada pembongkaran kembali konsensus fundamental tentang negara-bangsa.

Atas nama kebebasan dan hak asasi memungkinkan gerakan seperti Khilafah Islamiyah berkembang dan berujung pada penenggelaman negara-bangsa. Referendum atau jajak pendapat merupakan suatu cara yang demokratis. Pertanyaannya adalah apakah penentuan nasib sendiri oleh rakyat suatu bagian negara untuk merdeka merupakan suatu hak?

Hak menentukan nasib sendiri (untuk merdeka) merupakan a one-time exercise yang telah melahirkan negara merdeka seperti Inggris, Spanyol, dan 191 negara anggota PBB lainnya. Maka, prinsip mendukung keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional akan menutup peluang untuk mengulang-ulang exercise tersebut. Pengecualian dapat diterima masyarakat internasional apabila negara induk menyetujui referendum untuk merdeka. Hanya ada satu negara di dunia, yaitu Etiopia, yang konstitusinya membolehkan bagian wilayahnya referendum untuk merdeka. Tetapi, ketika Eritrea menjadi negara merdeka, terjadi perang berkepanjangan antara Eritrea dan Etiopia.

Menguatnya populisme di Eropa dan AS dalam beberapa tahun terakhir ini mendorong partai atau politisi agar mengeksploitasi aspirasi untuk lepas atau merdeka, sekadar menangguk suara dalam pemilihan umum. Iming-iming kehidupan kebangsaan yang bebas dan lepas dari impitan negara induk biasanya muncul karena impitan ekonomi.

Catalonia adalah negara bagian yang kaya, penyumbang 26 persen dari PDB Spanyol, karena itu paling merasakan dampak krisis Eurozone yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang dianggapnya keliru. Politik populis yang menjanjikan kemerdekaan seharusnya mengetahui bahwa tidak ada satu pun negara yang akan mengizinkan dan rela bagian-bagian negaranya lepas menjadi entitas merdeka. Menjadi sangat tidak bertanggung jawab apabila krisis politik ini berkembang menjadi violent conflict yang mengakibatkan korban jiwa dan penderitaan bagi rakyat yang tidak berdosa.

Pada ujungnya, krisis politik di Catalonia menggugah kembali pertanyaan tentang konsepsi negara-bangsa itu sendiri. Kalau konsepsi itu rapuh pada negara-negara yang sudah eksis selama ratusan tahun, apalagi negara berkembang yang masih muda? Di sini pentingnya kesadaran bahwa proses nation and state-building adalah suatu proses yang harus dilakukan secara baik dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar