Orang
Kuat
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
31 Oktober
2017
Orang kuat pada zaman milenial
bukan lagi bercitra kanuragan perkasa layaknya tokoh mitologi Hercules atau
Samson. Juga bukan Rambo. Namun, mereka adalah yang memiliki kekuasaan: ide, jaringan, teknologi, modal politik,
budaya, sosial, dan ekonomi. Dampak kekuasaan mereka konkret dan sangat
dirasakan publik.
Dalam berbagai mitos dan sejarah
tradisi masyarakat, orang kuat cenderung diidentikkan dengan fisik perkasa
atau otot besar. Sering pula digambarkan sebagai orang sakti, memiliki daya linuwih (supranatural)
yang tidak terjangkau akal dan nalar. Serba spektakuler: memukau, mencengangkan,
menakjubkan. Dengan cara itulah kisah dan ajaran moral yang dikandung
tokoh-tokoh mitos menjadi awet hidup dalam tabung ingatan publik.
Dominasi orang kuat
Tokoh-tokoh mitologis
diciptakan untuk dijadikan potret diri, cermin besar atau referensi moral
publik. Melalui pelbagai narasi dan nilai, mereka hadir dan menciptakan
teater dalam kepala tentang kebaikan atau keburukan. Pikiran manusia pun
terbuka untuk memilih jalan moral yang menuntun perilakunya dalam praksis
sosial.
Agama dan budaya-budaya lokal
tak pernah lelah memberi asupan nilai
melalui narasi-narasi demi menjaga agar manusia tidak terjerembap dalam
blunder sejarah. Sejak kecil, orangtua kita menggugah kesadaran dengan
dongeng. Juga, guru-guru agama kita mempertajam batin kita dengan kisah-kisah
orang suci. Tujuannya agar kita menjadi orang baik (minimal) dan syukur bisa
menjadi manusia dengan kesempurnaan: tinggi akal budi, integritas, komitmen,
kapabilitas dan migunani (memberi manfaat kebaikan) terhadap banyak orang
(publik, bangsa). Ini harapan maksimal.
Seiring perkembangan kebudayaan
dari fase mistis, ontologis ke fungsional, mengacu pendapat CA van Peursen
(1976), manusia tidak lagi dikungkung/dikendalikan kekuatan alam, tetapi
telah mengambil jarak dan mengendalikan alam. Selanjutnya manusia memproduksi
sistem ide, perilaku dan nilai fungsional dalam berelasi dengan alam serta
lingkungan. Fase fungsional ini sering diidentifikasi dengan kebudayaan
modern.
Di dalam kebudayaan modern,
orang kuat tidak lagi diukur dari kekuatan mitis (kesaktian), tetapi dari
kekuatan gagasan/intelektual, kemampuan teknis, manajerial, jaringan yang
berbasis pada modal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam konteks
Indonesia, makna orang kuat mengalami penyempitan, yakni mereka yang memiliki
kekuasaan politik dan ekonomi.
Dengan kekuasaan politik dan
ekonomi, orang kuat mampu menguasai undang-undang/regulasi, lembaga-lembaga
negara, aset negara, birokrasi, dan mengatasi hukum. Mereka pun mampu
melakukan kapitalisasi kekuasaan demi meraih keuntungan besar material dan
nonmaterial.
Mereka menjelma menjadi
sosok-sosok digdaya yang tidak tersentuh hukum atas berbagai pelanggaran yang
dilakukan. Karena itu, atas nama kekuasaan politik dan ekonomi, orang kuat
bisa membatalkan tuntutan hukum atas dirinya dalam perkara korupsi uang
negara dalam jumlah besar.
Bagi orang-orang kuat, negara
bukan lembaga publik yang berdiri atas kedaulatan rakyat, melainkan
”perusahaan” yang dikuasainya. Rakyat
bukan lagi dimaknai sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) atas negara,
melainkan komunitas besar bernama konsumen. Karena itu, konsumen dianggap
tidak punya hak-hak layaknya warga negara yang dilindungi dan dijamin
konstitusi, kecuali ”hak memilih” saat pemilu tiba dan kewajiban membayar
pajak.
Demokrasi nir-kesetaraan
Munculnya orang-orang kuat
politik dan ekonomi tidak lepas dari praktik demokrasi yang timpang
(nir-kesetaraan). Kesetaraan yang disyaratkan demokrasi tak terpenuhi dalam
praksis bernegara, yakni kesetaraan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Bagaimana
demokrasi bisa berjalan secara ideal jika kemampuan ekonomi, pendidikan, dan
politik kelas berkuasa jauh lebih dominan daripada rakyat kebanyakan? Praktik
dominasi dan hegemoni pun terjadi. Politik uang pun bicara. Karena itu,
rakyat tak pernah bisa menghukum politisi busuk dalam setiap pemilu meskipun
selalu dikecewakan dan dilukai.
Selain itu, sesungguhnya rakyat
kebanyakan tidak pernah mendapatkan pendidikan politik dari kelas menengah
yang berkuasa. Selama ini yang terjadi hanyalah mobilisasi sosial politik.
Kritisisme rakyat tak pernah ditumbuhkan dan dikembangkan jadi kekuatan
politik yang berfungsi mengontrol kekuasaan.
Partai-partai politik, yang
semestinya memiliki tugas mulia untuk meningkatkan kecerdasan politik rakyat,
cenderung egois, bekerja demi kepentingannya sendiri: meraih kekuasaan dan
meraup keuntungan material. Kekuatan-kekuatan lain pun cenderung kurang daya
dalam membangun civil society.
Tidak terbangunnya civil
society yang kuat menjadikan negeri ini semakin melaju kencang menuju titik
nadir peradaban (etika, etos kerja, ide, nilai, kreativitas, inovasi, produk
budaya benda dan nirbenda). Kepemimpinan kultural cenderung melemah
dibandingkan kepemimpinan politik. Kepemimpinan kultural dapat dimaknai
sebagai kepemimpinan berbasis pada ide (idealisme, ideologi), nilai, etika,
nalar, dan perilaku yang berorientasi
pada peningkatan eksistensi publik. Adapun kepemimpinan politik merupakan
kepemimpinan yang cenderung pragmatis, lebih menyembah kepentingan jangka
pendek demi kekuasaan.
Kepemimpinan jenis ini sering
pula disebut kepemimpinan yang hanya mengejar cash flow, di mana yang sehat
dan sejahtera bukan publik melainkan penguasa dan lingkarannya. Dalam setting
seperti ini wajar jika yang dominan hanyalah orang-orang kuat secara politik
dan ekonomi. Bukan para kesatria institusi yang mampu menjawab penderitaan
dan tangisan publik atas ketidakadilan.
Tanpa nilai-nilai profetik
(kemampuan membebaskan dan meninggikan eksistensi publik), hadirnya
orang-orang kuat secara politik dan ekonomi di negeri ini hanya
mengembangbiakkan penderitaan rakyat kebanyakan. Rakyat lebih membutuhkan orang baik dalam
jumlah besar dibandingkan dengan beberapa gelintir orang kuat yang nir-budaya
dan nir-kemanusiaan.
Himpunan orang baik yang
bersinergi berpotensi menciptakan perubahan besar dalam membangun masyarakat
berperadaban dan menciptakan kesejahteraan. Kita yakin negeri ini memiliki
banyak orang baik yang kini belum
muncul ke permukaan karena dihambat sistem yang manipulatif dan korup.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar