Rabu, 01 November 2017

Orang Kuat

Orang Kuat
Indra Tranggono ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
                                                      KOMPAS, 31 Oktober 2017



                                                           
Orang kuat pada zaman milenial bukan lagi bercitra kanuragan perkasa layaknya tokoh mitologi Hercules atau Samson. Juga bukan Rambo. Namun, mereka adalah yang memiliki kekuasaan:  ide, jaringan, teknologi, modal politik, budaya, sosial, dan ekonomi. Dampak kekuasaan mereka konkret dan sangat dirasakan publik.

Dalam berbagai mitos dan sejarah tradisi masyarakat, orang kuat cenderung diidentikkan dengan fisik perkasa atau otot besar. Sering pula digambarkan sebagai orang  sakti, memiliki daya linuwih (supranatural) yang tidak terjangkau akal dan nalar. Serba spektakuler: memukau, mencengangkan, menakjubkan. Dengan cara itulah kisah dan ajaran moral yang dikandung tokoh-tokoh mitos menjadi awet hidup dalam tabung ingatan publik.

Dominasi orang kuat

Tokoh-tokoh mitologis diciptakan untuk dijadikan potret diri, cermin besar atau referensi moral publik. Melalui pelbagai narasi dan nilai, mereka hadir dan menciptakan teater dalam kepala tentang kebaikan atau keburukan. Pikiran manusia pun terbuka untuk memilih jalan moral yang menuntun perilakunya dalam praksis sosial.

Agama dan budaya-budaya lokal tak pernah lelah memberi  asupan nilai melalui narasi-narasi demi menjaga agar manusia tidak terjerembap dalam blunder sejarah. Sejak kecil, orangtua kita menggugah kesadaran dengan dongeng. Juga, guru-guru agama kita mempertajam batin kita dengan kisah-kisah orang suci. Tujuannya agar kita menjadi orang baik (minimal) dan syukur bisa menjadi manusia dengan kesempurnaan: tinggi akal budi, integritas, komitmen, kapabilitas dan migunani (memberi manfaat kebaikan) terhadap banyak orang (publik, bangsa). Ini harapan maksimal.

Seiring perkembangan kebudayaan dari fase mistis, ontologis ke fungsional, mengacu pendapat CA van Peursen (1976), manusia tidak lagi dikungkung/dikendalikan kekuatan alam, tetapi telah mengambil jarak dan mengendalikan alam. Selanjutnya manusia memproduksi sistem ide, perilaku dan nilai fungsional dalam berelasi dengan alam serta lingkungan. Fase fungsional ini sering diidentifikasi dengan kebudayaan modern.

Di dalam kebudayaan modern, orang kuat tidak lagi diukur dari kekuatan mitis (kesaktian), tetapi dari kekuatan gagasan/intelektual, kemampuan teknis, manajerial, jaringan yang berbasis pada modal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam konteks Indonesia, makna orang kuat mengalami penyempitan, yakni mereka yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi.

Dengan kekuasaan politik dan ekonomi, orang kuat mampu menguasai undang-undang/regulasi, lembaga-lembaga negara, aset negara, birokrasi, dan mengatasi hukum. Mereka pun mampu melakukan kapitalisasi kekuasaan demi meraih keuntungan besar material dan nonmaterial.

Mereka menjelma menjadi sosok-sosok digdaya yang tidak tersentuh hukum atas berbagai pelanggaran yang dilakukan. Karena itu, atas nama kekuasaan politik dan ekonomi, orang kuat bisa membatalkan tuntutan hukum atas dirinya dalam perkara korupsi uang negara dalam jumlah besar.

Bagi orang-orang kuat, negara bukan lembaga publik yang berdiri atas kedaulatan rakyat, melainkan ”perusahaan” yang dikuasainya.  Rakyat bukan lagi dimaknai sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) atas negara, melainkan komunitas besar bernama konsumen. Karena itu, konsumen dianggap tidak punya hak-hak layaknya warga negara yang dilindungi dan dijamin konstitusi, kecuali ”hak memilih” saat pemilu tiba dan kewajiban membayar pajak.

Demokrasi nir-kesetaraan

Munculnya orang-orang kuat politik dan ekonomi tidak lepas dari praktik demokrasi yang timpang (nir-kesetaraan). Kesetaraan yang disyaratkan demokrasi tak terpenuhi dalam praksis bernegara, yakni kesetaraan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Bagaimana demokrasi bisa berjalan secara ideal jika kemampuan ekonomi, pendidikan, dan politik kelas berkuasa jauh lebih dominan daripada rakyat kebanyakan? Praktik dominasi dan hegemoni pun terjadi. Politik uang pun bicara. Karena itu, rakyat tak pernah bisa menghukum politisi busuk dalam setiap pemilu meskipun selalu dikecewakan dan dilukai.

Selain itu, sesungguhnya rakyat kebanyakan tidak pernah mendapatkan pendidikan politik dari kelas menengah yang berkuasa. Selama ini yang terjadi hanyalah mobilisasi sosial politik. Kritisisme rakyat tak pernah ditumbuhkan dan dikembangkan jadi kekuatan politik yang berfungsi mengontrol kekuasaan.

Partai-partai politik, yang semestinya memiliki tugas mulia untuk meningkatkan kecerdasan politik rakyat, cenderung egois, bekerja demi kepentingannya sendiri: meraih kekuasaan dan meraup keuntungan material. Kekuatan-kekuatan lain pun cenderung kurang daya dalam membangun civil society.

Tidak terbangunnya civil society yang kuat menjadikan negeri ini semakin melaju kencang menuju titik nadir peradaban (etika, etos kerja, ide, nilai, kreativitas, inovasi, produk budaya benda dan nirbenda). Kepemimpinan kultural cenderung melemah dibandingkan kepemimpinan politik. Kepemimpinan kultural dapat dimaknai sebagai kepemimpinan berbasis pada ide (idealisme, ideologi), nilai, etika, nalar, dan  perilaku yang berorientasi pada peningkatan eksistensi publik. Adapun kepemimpinan politik merupakan kepemimpinan yang cenderung pragmatis, lebih menyembah kepentingan jangka pendek demi kekuasaan.

Kepemimpinan jenis ini sering pula disebut kepemimpinan yang hanya mengejar cash flow, di mana yang sehat dan sejahtera bukan publik melainkan penguasa dan lingkarannya. Dalam setting seperti ini wajar jika yang dominan hanyalah orang-orang kuat secara politik dan ekonomi. Bukan para kesatria institusi yang mampu menjawab penderitaan dan tangisan publik atas ketidakadilan.

Tanpa nilai-nilai profetik (kemampuan membebaskan dan meninggikan eksistensi publik), hadirnya orang-orang kuat secara politik dan ekonomi di negeri ini hanya mengembangbiakkan penderitaan rakyat kebanyakan.  Rakyat lebih membutuhkan orang baik dalam jumlah besar dibandingkan dengan beberapa gelintir orang kuat yang nir-budaya dan nir-kemanusiaan.

Himpunan orang baik yang bersinergi berpotensi menciptakan perubahan besar dalam membangun masyarakat berperadaban dan menciptakan kesejahteraan. Kita yakin negeri ini memiliki banyak orang baik yang kini belum  muncul ke permukaan karena dihambat sistem yang manipulatif dan korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar