Rabu, 01 November 2017

Tragedi Rusia

Tragedi Rusia
Trias Kuncahyono ;   Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 31 Oktober 2017



                                                           
Rusia adalah tragedi. Negeri itu bergerak dari tragedi ke tragedi. Revolusi yang pertama terjadi pada 23 Februari 1917 (menurut kalender Julian) atau tanggal 8 Maret 1917 (menurut kalender Gregorian) yang kemudian disebut sebagai Revolusi Februari menjadi yang pertama melemparkan Rusia ke lembah kekelaman, terutama bagi kemanusiaan. Sebab, revolusi tersebut telah menghasilkan revolusi yang lain dan rezim otoritarian serta brutal.

Revolusi Februari yang dikobarkan demonstran-rakyat didukung militer dan anggota parlemen (Duma)-menuntut perbaikan nasib. Mereka berteriak-teriak menuntut pembagian roti, diturunkannya harga roti, dan perbaikan kondisi ekonomi yang morat-marit akibat antara lain serangkaian kekalahan perang yang diderita Rusia. Ujung dari revolusi ini adalah turun takhtanya Tsar Nicholas II, 15 Maret 1917.

Inilah yang kadang disebut sebagai “revolusi dari bawah” yang sering dibandingkan dengan “revolusi dari atas” yang dilakukan Vladimir Lenin. Revolusi Februari ini, pertama, mengakhiri kekuasaan Tsar Nicholas II. Pada awal abad ke-20, Rusia adalah sebuah kekuasaan besar terakhir di Eropa yang penguasanya seorang autokrat, kekuasaannya tak dibatasi hukum ataupun konstitusi.

Kedua, aspek yang sangat penting dari Revolusi Februari adalah penduduk kota Petrograd (sekarang St Peterburg) memulai demonstrasi tanpa mendapat dukungan dari para pemimpin partai. Meskipun kemudian kemenangan rakyat itu dibajak Vladimir Lenin dengan Partai Bolshevik-nya yang pada 25 Oktober 1917 (menurut kalender Julian) atau 7 November 1917 menggelorakan revolusi yang disebut sebagai Revolusi Oktober.

Sebenarnya, Revolusi Oktober tidak menggantikan Dinasti Romanov yang otoritarian dan tidak kompeten, terutama memulihkan perekonomian negara dan telah menceburkan tentara Rusia yang tidak disiapkan ke kancah PD I. Sebab, pada Februari terjadi revolusi demokratik (dikobarkan oleh rakyat) yang menghasilkan pemerintahan sementara berhaluan moderat pimpinan Aleksandr Kerensky atau Aleksandr Fyodorovich Kerensky dari Partai Sosial-Revolusioner (Abaraham H Miller: 2017). Pemerintahan ini yang disingkirkan kaum Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin.

Setelah kaum Bolshevik merebut kekuasaan, Lenin melakukan apa yang sudah diantisipasinya dalam tulisan Negara dan Revolusi (1917): Atas nama kediktatoran proletariat, ia menghapus hak-hak demokratis masyarakat dan secara sistematis memakai teror untuk menghancurkan segala perlawanan (Franz Magnis-Suseno: 2016).

Revolusi inilah-Revolusi Oktober-yang kemudian melahirkan “raksasa komunis”, yang tangannya menggapai-gapai ke segala penjuru dunia dan menggenggam banyak negara serta yang kakinya menginjak-injak tidak hanya banyak negara, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Pada 1922, misalnya, Lenin “mengirim” (membuang) ratusan intelektual yang tidak setuju dengan komunisme. Revolusi tidak toleran terhadap pendapat yang berbeda.

Joseph Stalin yang menggantikan Lenin tidak kalah brutalnya. Bagi Stalin, satu kematian adalah tragedi, tetapi jutaan kematian adalah statistik belaka. Sikap semacam itu sebagai bukti dari kebijakan Stalin yang melanjutkan kebijakan Lenin yang tidak menoleransi perbedaan.

Namun, negeri hasil Revolusi Oktober tidak mampu mempertahankan napas kehidupannya pada 1991. Sebab, revolusi tidak menghasilkan “kerajaan kebebasan” (Engels), tetapi justru menjadi penjara terbesar di dunia (Franz Magnis-Suseno). Kini, setelah 100 tahun revolusi berlalu, naluri totalitarian dan fanatisme yang dahulu dipraktikkan Lenin dan para penggantinya masih ada di tengah masyarakat, tidak hanya di Rusia. Menganggap dirinya paling benar (yang lain salah), paling berkuasa (yang lain bisa ditindas), belum juga mati, melainkan justru sebaliknya kekuasaan telah membuat orang menjadi totaliter dan fanatik membabi buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar