Tragedi
Rusia
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
31 Oktober
2017
Rusia adalah tragedi. Negeri
itu bergerak dari tragedi ke tragedi. Revolusi yang pertama terjadi pada 23
Februari 1917 (menurut kalender Julian) atau tanggal 8 Maret 1917 (menurut
kalender Gregorian) yang kemudian disebut sebagai Revolusi Februari menjadi
yang pertama melemparkan Rusia ke lembah kekelaman, terutama bagi
kemanusiaan. Sebab, revolusi tersebut telah menghasilkan revolusi yang lain
dan rezim otoritarian serta brutal.
Revolusi Februari yang
dikobarkan demonstran-rakyat didukung militer dan anggota parlemen
(Duma)-menuntut perbaikan nasib. Mereka berteriak-teriak menuntut pembagian
roti, diturunkannya harga roti, dan perbaikan kondisi ekonomi yang
morat-marit akibat antara lain serangkaian kekalahan perang yang diderita
Rusia. Ujung dari revolusi ini adalah turun takhtanya Tsar Nicholas II, 15
Maret 1917.
Inilah yang kadang disebut
sebagai “revolusi dari bawah” yang sering dibandingkan dengan “revolusi dari
atas” yang dilakukan Vladimir Lenin. Revolusi Februari ini, pertama,
mengakhiri kekuasaan Tsar Nicholas II. Pada awal abad ke-20, Rusia adalah
sebuah kekuasaan besar terakhir di Eropa yang penguasanya seorang autokrat,
kekuasaannya tak dibatasi hukum ataupun konstitusi.
Kedua, aspek yang sangat
penting dari Revolusi Februari adalah penduduk kota Petrograd (sekarang St
Peterburg) memulai demonstrasi tanpa mendapat dukungan dari para pemimpin
partai. Meskipun kemudian kemenangan rakyat itu dibajak Vladimir Lenin dengan
Partai Bolshevik-nya yang pada 25 Oktober 1917 (menurut kalender Julian) atau
7 November 1917 menggelorakan revolusi yang disebut sebagai Revolusi Oktober.
Sebenarnya, Revolusi Oktober
tidak menggantikan Dinasti Romanov yang otoritarian dan tidak kompeten,
terutama memulihkan perekonomian negara dan telah menceburkan tentara Rusia
yang tidak disiapkan ke kancah PD I. Sebab, pada Februari terjadi revolusi
demokratik (dikobarkan oleh rakyat) yang menghasilkan pemerintahan sementara
berhaluan moderat pimpinan Aleksandr Kerensky atau Aleksandr Fyodorovich
Kerensky dari Partai Sosial-Revolusioner (Abaraham H Miller: 2017).
Pemerintahan ini yang disingkirkan kaum Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin.
Setelah kaum Bolshevik merebut
kekuasaan, Lenin melakukan apa yang sudah diantisipasinya dalam tulisan
Negara dan Revolusi (1917): Atas nama kediktatoran proletariat, ia menghapus
hak-hak demokratis masyarakat dan secara sistematis memakai teror untuk
menghancurkan segala perlawanan (Franz Magnis-Suseno: 2016).
Revolusi inilah-Revolusi
Oktober-yang kemudian melahirkan “raksasa komunis”, yang tangannya
menggapai-gapai ke segala penjuru dunia dan menggenggam banyak negara serta
yang kakinya menginjak-injak tidak hanya banyak negara, tetapi juga
nilai-nilai kemanusiaan. Pada 1922, misalnya, Lenin “mengirim” (membuang)
ratusan intelektual yang tidak setuju dengan komunisme. Revolusi tidak
toleran terhadap pendapat yang berbeda.
Joseph Stalin yang menggantikan
Lenin tidak kalah brutalnya. Bagi Stalin, satu kematian adalah tragedi,
tetapi jutaan kematian adalah statistik belaka. Sikap semacam itu sebagai
bukti dari kebijakan Stalin yang melanjutkan kebijakan Lenin yang tidak
menoleransi perbedaan.
Namun, negeri hasil Revolusi
Oktober tidak mampu mempertahankan napas kehidupannya pada 1991. Sebab,
revolusi tidak menghasilkan “kerajaan kebebasan” (Engels), tetapi justru
menjadi penjara terbesar di dunia (Franz Magnis-Suseno). Kini, setelah 100
tahun revolusi berlalu, naluri totalitarian dan fanatisme yang dahulu
dipraktikkan Lenin dan para penggantinya masih ada di tengah masyarakat,
tidak hanya di Rusia. Menganggap dirinya paling benar (yang lain salah),
paling berkuasa (yang lain bisa ditindas), belum juga mati, melainkan justru
sebaliknya kekuasaan telah membuat orang menjadi totaliter dan fanatik
membabi buta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar