Manuver
Menko Luhut di Meikarta
Hersubeno Arief ; Jurnalis Senior; Mantan Wartawan Republika
|
REPUBLIKA,
01 November
2017
Taipan pengembang James Riady
hari Minggu (29/10) punya hajat besar melakukan topping off dua tower
bangunan yang disebut akan menjadi kota Meikarta.
Sebagai taipan besar, tamu yang
datang tentu juga orang-orang besar dan penting. Diantara yang hadir tampak
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, tangan kanan Presiden Jokowi.
Hadirnya Luhut menunjukkan
bahwa acara tersebut sangat penting dan serius. Sebab bila dilihat dari posisinya sebagai Menko Maritim, maka
sebenarnya prosesi topping off
(pemasangan atap) tower itu tidak nyambung dan tidak kaitannya dengan jabatannya.
Media-media yang selama ini
sangat rajin memuat apapun kegiatan Meikarta,
menyebut nama Luhut lengkap dengan jabatannya. Jadi walaupun kegiatan
ini dilakukan pada hari libur, namun dapat dipastikan sebagai kegiatan resmi. Beberapa kutipan pernyataan
Luhut dalam kegiatan itu kian menegaskan bahwa kehadiran Luhut adalah resmi
sebagai pejabat negara.
Banyak pengguna media sosial
yang terheran-heran dan bertanya (karena media mainstream tidak ada yang
mempersoalkan), “Apa hubungannya antara Meikarta dan Menko Maritim? Apakah
situasi di daratan sudah demikian genting, sehingga pejabat di lautan harus
turun tangan?”
Mau dicari-cari dan
dicocok-cocokkan, bahkan kalau dalam bahasa Jawa “diotak-atik gathuk” (dipaksakan untuk
cocok) juga tidak akan nyambung. Lain
halnya bila yang hadir Menteri PU dan Perumahan Rakyat, atau setidaknya Menko
Perekonomian.
Bila melihat sepak terjang dan
perjalanan karir Luhut di pemerintahan Jokowi, hadirnya Luhut di Meikarta
bisa dipahami dari beberapa sudut pandang dan kepentingan.
Pertama, kehadiran Luhut
menegaskan dukungan pemerintahan Jokowi terhadap proyek Meikarta. Ini
merupakan isyarat dan pesan yang sangat jelas dan terang benderang bagi
Pemprov Jabar, dalam hal ini Wagub Deddy Mizwar (Demiz) yang selama ini
mempermasalahkan proses pembangunan Meikarta.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo
Kumolo pada sebuah kesempatan juga sempat menyindir Demiz. Karena dinilai
menghambat program investasi yang sangat diagung-agungkan oleh pemerintah.
Presiden Jokowi sejauh ini belum
pernah menyampaikan pernyataan apapun soal sengkarut Meikarta. Namun bila
keadaan memaksa, kemungkinan besar
Presiden Jokowi juga akan angkat bicara, seperti pada kasus reklamasi.
Kedatangan Luhut tidak bisa diragukan lagi sebagai pertanda bahwa dia hadir ‘on behalf of Presiden’.
Sebagai orang kepercayaan
Jokowi, Luhut dikenal sebagai ‘troubleshooter’ yang tidak segan untuk pasang
badan ketika muncul persoalan yang berkaitan dengan kepentingan politik
pemerintah. ‘Tour of duty’-nya di kabinet,
makin menunjukkan bahwa Jokowi sangat mengandalkan, bahkan bergantung
kepadanya.
Luhut memulai debutnya sebagai
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), kemudian bergeser menjadi Menko Polhukam, dan
terakhir menjadi Menko Maritim. Ketika menjadi Menko Maritim Luhut juga
sempat menjabat sebagai Menteri ESDM
ketika ribut-ribut kewarganegaraan
Arcandra Tahar yang dicalonkan sebagai menteri ESDM.
Sebagai Menko Maritim
Luhut menangani beberapa proyek besar
seperti perpanjangan kontrak dengan Freeport, dan yang paling monumental
ketika dia pasang badan dalam program Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Kasus reklamasi ini membuat Luhut berhadapan
dengan pasangan Anies-Sandi sebagai penguasa baru Jakarta. Luhut juga
harus berhadapan dengan perlawanan
alumni dari berbagai perguruan tinggi, serta para penggiat lingkungan dan
HAM. Semua dijabani oleh Luhut.
Ketika berlangsung hiruk pikuk
Aksi Bela Islam, dan Ahok menghina Ketua MUI KH Ma’ruf Amien di persidangan,
dengan sigap Luhut mengajak Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya menemui
Ma’ruf di rumahnya. Soal ini sebenarnya juga tidak dalam kewenangan Luhut.
Harusnya yang mengambil peran adalah Menko Polhukam Wiranto
Tapi itulah Luhut, “Man
for all seasons and situations.”
Berbagai manuver Luhut ini sebenarnya bisa menjelaskan mengapa Luhut kemudian
muncul di ‘topping off’ Meikarta.
Kedua, sebagai seorang
troubleshooter kehadiran Luhut bisa dimaknai ada suatu masalah yang harus
segera diselesaikan di Meikarta. Selain persoalan perizinan, Meikarta
nampaknya menghadapi problem tidak dapat memenuhi infrastruktur penunjang
yang dijanjikan.
Dalam berbagai brosur dan iklan
yang disebar secara massif, Meikarta menjanjikan kawasan seluas 500 hektar
itu akan terhubung dengan berbagai
moda transportasi yang kini tengah dibangun pemerintah, antara lain kereta
api cepat Jakarta-Bandung.
Belum lagi sederet fasilitas
seperti pembangunan Patimban Deep Seaport, pembangunan bandara internasional
Kertajati, dan pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek Elevated Higway.
Dari semua infrastruktur
tersebut yang benar-benar terhubung dan akan menjadi andalan Meikarta adalah
kereta api cepat Jakarta-Bandung. Salah satu transit oriented
development(TOD) atau stasiun besar kereta cepat, langsung menempel dengan Meikarta.
Masalahnya sejak dilakukan ‘ground
breaking’ oleh Presiden Jokowi pada
Januari 2016, sampai sekarang proyek yang menelan dana sampai Rp 75 trilyun,
dan ditargetkan mulai operasi awal 2019 itu belum bergerak. Sementara
Meikarta menjanjikan serah terima hunian pada Desember 2018.
Dapat dibayangkan apa yang akan
terjadi dengan lalu lintas sepanjang jalur Jakarta-Cikampek, bila target awal
mereka sebanyak 250 ribu apartemen sudah terbangun dan dihuni oleh 1 juta
orang. Pemerintah saat ini tengah membangun
Jakarta-Cikampek Elevated Highway untuk mengurai kemacetan dahsyat sepanjang
jalur ini. Dengan bermukimnya 1 juta warga baru di Meikarta, akan membuat
jalur ini benar-benar menjadi jalur neraka.
Soal ini pasti membuat galau
ratusan ribu konsumen yang katanya sudah membeli apartemen di Meikarta.
Sebagai troubleshooter Luhut kembali beraksi. Dia menyatakan pemerintah akan
mempertimbangkan pembangunan Light Rail Transit (LRT) yang semula
direncanakan hanya sampai Bekasi, diperpanjang sampai Meikarta.
Pernyataan Luhut ini harus
dilihat sebagai bahasa marketing, bukan bahasa seorang pejabat negara. Sampai
saat ini pembangunan LRT Jabodetabek sedang mengalami persoalan pendanaan.
Untuk menyelesaikan proyek tersebut, DPR sudah menyetujui pengalihan dana
penyertaan modal negara (PMN) PT KAI sebesar Rp 2 triliun dari pembangunan
kereta api Sumatera ke LRT.
Ekonom Universitas Indonesia
Faisal Basri memprediksi proyek LRT akan mangkrak, karenanya dia menyarankan
untuk ditunda. Sekjen DPP PAN Eddy Soeparno mengatakan mendengar banyak
supplier proyek LRT yang belum dibayar. Dengan kondisi proyek LRT terancam mangkrak, bagaimana mungkin Menko
Luhut berpikir untuk memperpanjangnya sampai Meikarta?
Proyek Meikarta bila tidak
ditangani dengan serius, bisa menjadi bom waktu bagi pemerintahan Jokowi. Mereka
akan dinilai sebagai pemerintahan yang
disetir pengembang. Proyek ini juga bisa menjadi sumber ketegangan baru
antara pemerintah pusat dengan Pemprov Jabar, dan simpul-simpul masyarakat
madani (civil society) yang sejak awal menentangnya.
Mari kita tunggu aksi dari
Menko Luhut berikutnya. Bisakah dia meredam perlawanan di Meikarta? Sementara
sengkarut di pulau reklamasi Jakarta juga belum dimenangkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar