Subsidi
Bagja Hidayat ; Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2014
Di
perempatan itu, sebuah simpang empat yang sibuk di Jalan Matraman dan
Proklamasi, anak usia 6 atau 7 tahun menggendong bayi, menengadahkan tangan
kepada para pengendara yang menunggu lampu hijau. Ia mengemis, katanya buat
makan. Bayi di gendongannya yang melorot-mungkin usianya baru setahun-tidur
terkulai. Bekas ingus mengering di pipinya, lehernya penuh daki.
Di
perempatan itu, sebuah simpang empat yang padat oleh sepeda motor dan mobil,
dekat Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, seorang bapak menyeret anak 2 tahun
yang kelelahan dipanggang terik Jakarta, mengetuk pintu mobil ke mobil.
Mereka mengemis, katanya buat makan anak kecil itu. Laki-laki ini, sekitar 40
tahun, dengan tangan kiri buntung dan jalan pincang, mencoba membujuk setiap
pengendara agar memberinya uang seribu-dua ribu perak.
Saya
tak perlu meneruskan deskripsi grotesque itu. Di Jakarta, adegan di Matraman
dan Kebayoran Baru tersebut bisa meruyak di banyak perempatan. Para pengemis
patah tumbuh hilang berganti. Anak-anak yang turun ke jalan kian banyak.
Siapa
ibu-bapaknya? Kenapa mereka tak sanggup membuatnya menikmati hidup? Saya juga
tak perlu meneruskan pertanyaan klise ini. Yang terang, di perempatan
Al-Azhar itu ada juga yang memberikan koin Rp 500 atau seribu rupiah, dan
lebih banyak yang melambaikan tangan. Namun, di depan saya, laki-laki buntung
dan anak kecil itu mendapatkan kurang-lebih Rp 5.000. Saya tak menengok ke
belakang berapa orang lagi yang memberikan koin kepadanya.
Jarak
waktu dari lampu merah ke hijau, dan dari lampu hijau ke merah, sekitar tiga
hingga lima menit. Lima menit Rp 5.000. Jika si bocah dan laki-laki bertangan
buntung ini mengemis 10 jam sehari, ia akan menengadahkan tangan dalam 120
kali lampu merah. Jika tiap kali lampu merah ia mendapatkan Rp 5.000,
penghasilannya sehari bisa sampai Rp 600 ribu. Saya bolak-balik memeriksa
kalkulator. Ini sama dengan, kira-kira, gaji sebulan seorang manajer yang ke
mana-mana diantar sopir dan menyandang predikat kelas menengah.
Matematika
mungkin hanya eksak di buku pelajaran. Jika sepertiga dari 13 juta penghuni
Jakarta pada siang hari memberikan koin Rp 500 kepada para pengemis ini, ada
Rp 2 miliar dalam sehari berputar di jalan-jalan raya, bus-bus reyot, juga
perempatan-perempatan untuk "Pak Ogah" yang mengatur lalu lintas.
Subsidi "dari rakyat untuk rakyat itu" dalam setahun berarti Rp 730
miliar-setengah nilai subsidi kesehatan gratis di seluruh rumah sakit
Jakarta.
Kini
presiden baru dan presiden lama saling lempar soal siapa yang seharusnya
mencabut subsidi bahan bakar, yang dikonsumsi oleh mereka yang memberikan
"subsidi" kepada para pengemis di jalanan. Dan pencabutan subsidi
berakibat harga bensin yang naik. Itu berarti harga angkut beras bakal
melonjak, dan harga nasi di Jakarta, yang menjadi bahan bakar para pengemis,
akan naik pula. Artinya, para pengemis harus lebih giat mengemis agar bisa
tetap makan.
Dengan
inflasi yang naik, sementara kemampuan belanja setiap orang tak beringsut,
yang lahir adalah orang miskin, anak-anak dan laki-laki bertangan buntung
itu. Akan makin banyak orang yang punya alasan turun ke jalan menjadi
pengemis. Dengan anjuran dan pahala tentang kebaikan sedekah di televisi,
dorongan kemiskinan lewat pemangkasan subsidi, lampu-lampu merah akan kian
penuh oleh orang yang meminta-minta-dengan sandiwara atau mimik yang
begitulah memang faktanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar