Dekonstruksi
Subsidi
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2014
Menjelang
peralihan kekuasaan, dari duet SBY-Boediono ke Jokowi-JK, terjadi perdebatan
seru mengenai BBM bersubsidi. Sejumlah pihak, terutama politikus PDIP dan
partai pengusung Jokowi-JK, mendesak agar Presiden SBY menaikkan harga BBM.
Tanpa penaikan harga BBM bersubsidi, ruang fiskal yang diwariskan SBY ke
Jokowi amat sempit. Presiden SBY menolak desakan itu. Menurut SBY, saat ini
tidak tepat untuk menaikkan harga BBM. Penaikan harga BBM bakal
menyengsarakan rakyat.
Untuk
kesekian kalinya, kata "subsidi" menjadi materi debat seru. Dengan
dalih ada lapisan rakyat yang dimanjakan, tiba-tiba subsidi jadi barang
haram. Yang dianggap subsidi adalah pengeluaran pemerintah untuk membantu
rakyat mendapatkan BBM murah. Mengapa aneka pos pengeluaran APBN buat para
politikus dan wakil rakyat di DPR, seperti uang sidang, tunjangan jabatan,
studi banding ke luar negeri, dan pelbagai fasilitas yang hasilnya tak pernah
dilaporkan ke rakyat, tidak disebut sebagai subsidi yang bisa dipangkas?
Dalam
UUD 1945 tak ada kata "dibantu", "disubsidi", atau
"pemerintah membantu rakyat". Konstitusi mengamanatkan negara
menyediakan penghidupan yang layak, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan (Pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (Pasal 31 ayat1 dan 2), dan
hak dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (Pasal 34 ayat 1).
Rakyat
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27
ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28h ayat 3), hak
mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 ayat 1), dan hak
mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28c ayat 1).
Menurut konstitusi, itu semua merupakan hak.
Kewajiban
itu belum ditunaikan oleh negara. Rakyat tentu tidak marah jika pemerintah
tidak pandang bulu menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi. Tapi
pemerintah tidak konsekuen. Salah satunya, bunga dana rekapitalisasi
perbankan akibat krisis 1998 sebesar Rp 600 triliun. Tiap tahun APBN,
termasuk di RUU APBN 2015, tersedot Rp 60 triliun untuk membayar bunga yang
tak perlu itu. Bunga itu berasal dari pajak rakyat. Ironisnya, bunga hanya
dinikmati segelintir pemilik bank, termasuk asing.
Subsidi
bukan barang haram. Subsidi jadi tugas negara untuk membantu warga miskin.
Subsidi lazim ada di negara-negara kesejahteraan. Tapi di negara liberal pun
subsidi diberikan. Pemberian subsidi sangat ketat, melewati proses seleksi
yang meletihkan, dan antre dalam kurun waktu tertentu. Untuk melihat apakah
subsidi digunakan sebagaimana mestinya untuk meraih kesejahteraan, secara
rutin petugas mendatangi sasaran subsidi, mencatat, dan melakukan inspeksi
apakah betul penerima subsidi masih layak dibantu.
Di
negara maju, subsidi tidak boleh jadi alat mendongkrak popularitas pemimpin,
baik itu para politikus maupun penguasa. Subsidi disalurkan melalui
lembaga-lembaga resmi dengan prinsip good governance. Subsidi tidak boleh
massal, apalagi bila subsidi bisa jadi substitusi bagi masyarakat yang kaya untuk
mengambil hak kaum papa. Subsidi diberikan selektif dan dibatasi. Subsidi
dilakukan dengan pendampingan (Kasali,
2012).
Sebaliknya,
di Indonesia, subsidi bersifat terbuka. Ini terjadi pada subsidi BBM dan
pupuk. Konsekuensinya, efektivitas subsidi rendah, dan subsidi sebagai alat
pemerataan serta sarana menegakkan keadilan tak tercapai. Apalagi subsidi
sering kali jadi alat politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar