Seputar
Peran Golkar
Indra J Piliang ; Tokoh
Muda Golkar
|
KORAN
JAKARTA, 08 September 2014
Partai
Golkar (PG) sebentar lagi berusia 50 tahun, tepatnya tanggal 20 Oktober 2014,
yang bersamaan dengan pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil
presiden RI 2014–2019. Usia emas dicapai di tengah dua kekalahan dalam pemilu
legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden. Usia emas tanpa piala emas.
Paling banter, Partai Golkar mendapat kursi DPR. Itu pun dengan dua syarat:
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3)
dan Koalisi Merah Putih (KMP) tetap kompak.
Andai
skenario itu tidak berhasil, PG menderita kelumpuhan jangka menengah berupa
kehilangan kekuatan di DPR, ketiadaan kader di eksekutif, sekaligus
kemerosotan pesona sebagai partai politik modern. Ditambah dengan pemecatan
tiga kader PG, fungsi pengelolaan konflik kurang berjalan. Sebab kader-kader
partai politik lain yang menyeberang ke kubu koalisi pilpres sama sekali
tidak dipecat.
Ada
sejumlah nama yang memang digeser dari posisinya, seperti Rachmawati di
Partai Nasdem atau Reza Syarif di Partai Hanura. Namun, mereka tidak kisruh
sedalam PG.
Kelambanan
proses konsolidasi dan rekonsiliasi dalam tubuh beringin pascapilpres juga
membawa kelelahan dalam partai. Komunikasi berlangsung hanya melalui media
massa atau pertemuan-pertemuan terbatas. Tanpa ada upaya pihak yang memiliki
kewibawaan untuk menjembatani perbedaan pendapat di dalam tubuh partai, bisa
memicu persaingan tidak sehat dan hanya berdasarkan rumor.
Partai
mengalami penggerogotan dari dalam akibat perbedaan makin tajam dan
memunculkan friksi yang kian menyebar ke mana-mana. Bahasa-bahasa kekuasaan
yang ditunjukkan otoritas DPP PG juga memunculkan sikap yang berjarak.
Bukannya mencoba merangkul atau mengajak kembali pihak-pihak yang berbeda
pendapat selama pilpres, malahan DPP PG menebarkan ancaman pemecatan atau
pencopotan dari jabatan.
Bahkan
pihak yang menginginkan Munas dilaksanakan pada Oktober 2014 dianggap
anarkistis. Padahal, tidak ada satu pun bentuk kekerasan yang terjadi selain
perbedaan pendapat.
Kocar-kacir
Golkar
juga terlihat “larut dalam kekalahan”. Bahkan beringin tetap menjadikan
kekalahan dalam pilpres sebagai bentuk ketidakbecusan penyelenggaraan. Sikap
ini berbeda dengan pemilu legislatif. Bahkan, ketika partai-partai politik
lain sudah mulai melunak sikapnya, terutama Partai Demokrat, PPP, dan PAN,
Golkar terlihat masih berada pada posisi yang sama dengan Gerindra dan PKS.
Padahal, momentum untuk evaluasi sudah datang sebagaimana terjadi dengan PKB
dan Nasdem.
Kondisi
itu menyebabkan para kader terlihat kocar-kacir. Sebagian kader sudah
terlihat “merapat” ke pemerintahan Jokowi-JK, sebagian lain terus mengkritik.
Mayoritas kader berada dalam posisi tanpa suara (silent majority). Sejumlah pertemuan yang digelar kader-kader PG,
baik secara tertutup maupun terbuka, terus komunikasi intensif dengan
penyikapan yang beragam. Sama sekali tidak ada forum yang lebih kondusif guna
mengatasi beragam kemunculan perbedaan pendapat.
Padahal,
agenda-agenda politik dan pemerintahan terus berjalan, antara lain pelantikan
anggota DPRD kabupaten, kota, dan provinsi. DPP PG memang memiliki kewenangan
menunjuk pimpinan DPRD, terutama di tingkat provinsi. Bagi kader yang
terpilih menjadi legislator, kesibukan terlihat dalam mengikuti beragam
pelatihan, terutama yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah.
Artinya,
kader-kader PG sudah diberi wawasan dan pemahaman yang lebih sebagai penyelenggara
negara di berbagai tingkatan. Ditinjau dari sisi opini, tidak banyak yang
bisa dipetakan. Diskusi masih seputar rencana pencopotan jabatan sejumlah
kader, posisi di dalam atau pengimbang pemerintah. Ada juga soal kedudukan di
KMP dan jadwal pelaksanaan munas antara 2014 atau 2015.
Sejumlah
nama calon ketua umum juga terus mengapung, seperti Agung Laksono, MS
Hidayat, Agus Gumiwang Kartasasmita, Priyo Budi Santoso, Airlangga Hartarto,
Mahyuddin, dan Azis Syamsuddin. Kegiatan lain paling banter adalah sejumlah
diskusi yang diselenggarakan kaum muda partai, namun tempatnya terbatas.
Padahal,
inilah saatnya bagi PG untuk menggiring arah pemerintahan baik berada di luar
atau di dalam. Apalagi, terdapat program-program baru yang coba ditawarkan
pemerintahan Jokowi-JK, seperti upaya menekan subsidi bahan bakar fosil,
perampingan kabinet, pemberdayaan sektor maritim, mengatasi kelangkaan
pangan, sampai pemodalan yang lebih bersahabat kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Sebagai party of ideas,
selayaknya Golkar mengungkapkan lebih banyak dan terbuka soal ini ketimbang
hanya bicara masalah-masalah internal.
Peranan
politik partai tidak selalu berada di pemerintahan atau memenangi pemilu.
Dalam sejarah kepartaian di Indonesia, terdapat partai-partai politik pra dan
pasca kemerdekaan yang selalu menjadi bahan perbincangan sekalipun kecil
secara elektabilitas. Bahkan ada partai yang tidak berhasil masuk
pemerintahan. Sementara, PG menempatkan diri sebagai partai terbesar kedua
dengan sebaran kader dari pusat ke daerah yang mewarnai jalannya
pemerintahan.
Sudah
saatnya PG melakukan lagi inventarisasi ulang terhadap para kadernya sembari
terus mengemukakan pandangan-pandangan visioner guna memajukan dan
menyejahterakan bangsa. Pada gilirannya nanti, masyarakat akan mencatat bahwa
kontribusi PG tidak hanya ketika memenangi kompetisi politik, bahkan juga
saat kalah. Terlalu larut dengan bahasa komunikasi politik yang tendensius,
negatif, bahkan intimidatif justru membawa konsekuensi penurunan simpati dan
empati publik.
Terlepas
kapan waktu pelaksanaan Munas ataupun posisi PG nantinya, keunggulan ide dan
gagasan yang dimiliki patut terus diapungkan, begitu juga dengan kader-kader
potensial yang dimiliki. Masalah terbesar PG bukan terletak pada tokoh yang
akan duduk di kabinet atau pimpinan legislatif, tetapi memberdayakan sejumlah
kader yang gagal meraih kursi parlemen dalam Pemilu 2014 lalu. Nama-nama yang
disegani, berpengalaman, berpengetahuan, serta sudah kenyang asam garam
politik harus dioptimalkan perannya. Memaksimalkan peran mereka adalah bagian
dari upaya penguatan PG dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar