Memperingati
Sepuluh Tahun
Kematian
Aktivis HAM Munir
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
|
JAWA
POS, 08 September 2014
ADA
kekecewaan yang mendalam pada orang-orang tertentu ketika presiden terpilih
Joko Widodo (Jokowi) memasukkan nama Hendropriyono sebagai ”orang penting” di
Rumah Transisi. Sebut saja, misalnya, Suciwati, istri almarhum Said Munir
Thalib, aktivis HAM yang meninggal lantaran racun arsenik dalam pesawat
jurusan Amsterdam pada 7 September 2004.
Bagi
aktivis prodemokrasi, kematian Munir menyisakan sebuah pertanyaan besar.
Karena mengindikasikan ke sebuah arah pelanggaran HAM yang notabene
melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN) yang ketika itu Hendropriyono masih
aktif di BIN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri pernah berjanji
mengusut tuntas kasus tersebut. Namun, kenyataannya, hingga detik ini
orang-orang yang diindikasikan terlibat kuat tidak bisa terbongkar.
Kali
terakhir Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menahan Muchdi P.R.
sebagai tersangka. Muchdi adalah mantan deputi V BIN. Rachlan Nasidik,
direktur Imparsial ketika itu dan mantan anggota tim pencari fakta (TPF)
kasus Munir, mengatakan bahwa penangkapan Muchdi meruntuhkan mitos tentang
sakralnya lembaga-lembaga tinggi negara seperti BIN yang tak bisa dijamah
hukum. Penangkapan Muchdi membuktikan bahwa hukum di Indonesia menganut
equality before the law, yakni siapa pun setara di hadapan hukum.
Ada
indikasi juga saat itu keterlibatan tiga orang pejabat BIN. Edaran SMS dengan
pesan yang menyudutkan pejabat BIN berisi, antara lain, pilot Garuda
Pollycarpus pada Februari 2002 direkrut Muchdi sebagai agen utama intelijen
negara, diangkat dengan SKep Ka BIN Nomor 113/2/2002.
Keputusan
Mahkamah Agung (MA) tanggal 4 Oktober 2006 menyatakan, Pollycarpus tak
terbukti membunuh Munir. Berdasar keputusan itu pula, Pollycarpus dibebaskan
dan berbagai tuntutan kepadanya segera dihentikan. Keputusan MA saat itu
bertolak belakang jauh dengan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat
pada 20 Desember 2005 yang menyatakan bahwa Pollycarpus terlibat
berkonspirasi atas pembunuhan Munir.
Padahal,
fakta-fakta yang mengiringi keputusan PN Jakarta Pusat jauh lebih matang.
Sebab, fakta-fakta itu ditemukan lewat penyelidikan dan penelitian TPF yang
melibatkan teman-teman dekat Munir sendiri.
Tidak
begitu jelas paradigma apa yang melatari sehingga keputusan MA saat itu
berkesimpulan bahwa Pollycarpus tidak terbukti membunuh Munir. Pollycarpus
memang tak membunuh Munir secara langsung, namun dia jelas terlibat
berkonspirasi dalam membunuh Munir. Dan hal itu sudah dibuktikan lewat
fakta-fakta yang ditunjukkan TPF.
Mestinya
MA tidak melepaskan Pollycarpus atau apalagi menghentikan kasus-kasus yang
berkenaan dengannya. Akan tetapi melanjutkan temuan-temuan TPF dan secara
lebih jauh membuka jalan dari temuan selanjutnya untuk menjaring siapa
aktor-aktor intelektual di balik pembunuhan Munir. Dikatakan seperti itu
karena kasus pembunuhan Munir dilakukan secara konspiratif, melibatkan
tokoh-tokoh tertentu.
Terdapat
suatu keyakinan kuat, keluarnya keputusan membebaskan Pollycarpus tak steril
dari ”mafia peradilan”. Jika memang yang terjadi demikian, teramat sangat
disayangkan, mengapa peradilan tertinggi seperti MA masih bisa dipermainkan
para mafia peradilan, di mana praktik-praktik jual beli kasus dan sebagainya
adalah bukan sesuatu yang aneh. Bagaimana, misalnya, kasus Probosutedjo
ketika itu yang terang-terang mengungkapkan kepada publik lewat media massa
bahwa dirinya dimintai sejumlah uang oleh salah seorang pegawai di lingkungan
MA supaya kasusnya dapat terbebas dari tuntutan-tuntutan.
Sepuluh
tahun kasus Munir mestinya tak boleh berhenti, tetapi harus diusut sampai
setuntas-tuntasnya hingga ke akar. Fakta-fakta yang telah ditemukan TPF bisa
dijadikan dasar untuk pengusutan lebih lanjut. Atau jika tidak demikian,
kasus Munir harus dibawa ke peradilan internasional sehingga netralitas dan
independensinya bisa terjaga serta keadilan dapat ditegakkan. Hal itu penting
mengingat setiap kasus yang ”melibatkan” orang-orang atau tokoh-tokoh
berpengaruh di negeri ini seakan selalu dapat membebaskan mereka dari jerat
hukum.
Pertanyaannya,
sanggupkah Presiden Jokowi ke depan mengusut kasus tersebut? Sebuah
pertanyaan ambivalen mengingat orang-orang dekat almarhum Munir telah kecewa
dengan dijadikannya Hendropriyono sebagai ”orang penting” dalam Rumah
Transisi Jokowi-JK. Kasus Munir akan menjadi tantangan di masa pemerintahan
Jokowi-JK yang harus dapat diselesaikan. Presiden SBY sendiri mengatakan
bahwa kasus Munir adalah to make our
history, untuk membuat sejarah bahwa hukum bisa ditegakkan dengan tidak
pandang bulu.
Dalam
kasus Munir, penyelidikan terhadap orang-orang yang diduga terlibat sangat
sulit disentuh karena bukan sekadar faktor kekuasaan, melainkan juga faktor
”jaringan” konspiratif, yang jika salah satu terbongkar, terbongkar pulalah
orang-orang selanjutnya. Namun, secanggih apa pun konspirasi itu, kasus Munir
mestinya harus tetap dijalankan dan diusut setuntas-tuntasnya.
Hal
tersebut penting supaya hukum bisa tegak di negeri ini. Selain itu supaya
kasus Munir dapat menjadi pelajaran bahwa siapa pun tidak kebal dari hukum.
Sebaliknya, jangan sampai kasus Munir itu berhenti sehingga hukum di negeri
ini akhirnya tak bisa dipercayai, baik oleh masyarakatnya sendiri maupun
publik internasional. Jika sudah seperti itu, orang-orang jahat di negeri ini
akan terus mengulang kejahatannya. Sebab, bagi mereka hukum bisa dibeli
sehingga mereka bisa melakukan apa saja.
Hukum
di negeri ini akhirnya menjadi hukum uncivilized,
siapa yang kuat dialah yang menang. Sedangkan mereka para pencari keadilan
selalu tak mendapatkan keadilannya. Hukum di negeri ini harus berpegang kembali
pada asas moral yang kuat. Bahwa hukum itu harus melayani semua kebutuhan
persoalan-persoalan manusia, tanpa pandang bulu, dan keadilan menjadi
tujuannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar