Mafia
Migas dan Strategi Mineral Mentah
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
08 September 2014
KARENA
skala ekonominya yang besar, sektor pertambangan di Indonesia masih dan
selalu penting kontribusinya bagi perekonomian. Laba Pertamina Rp 32 triliun
pada 2013 merupakan yang tertinggi di Indonesia, mengungguli Bank Rakyat
Indonesia (Rp 21 triliun) dan Astra International (Rp 19,4 triliun). Bisnis
minyak dan gas masih memiliki daya tarik yang sangat besar kendati cadangan
minyak dan gas terus menipis.
Isu
mafia migas mulai santer kembali diwacanakan saat kampanye pemilihan presiden
lalu. Kedua kandidat presiden sama-sama berkeinginan memberantas mafia migas
agar iklim usaha di sektor pertambangan lebih kompetitif. Isu ini kian
menemukan momentumnya saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik
dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pekan
lalu. Peristiwa ini diduga hasil pengembangan dari kasus yang menimpa Kepala
SKK Migas Rudi Rubiandini. Dua pejabat tertinggi sektor migas dinyatakan
tersangka oleh KPK. Belum pernah ada tersangka yang bisa lolos dari KPK.
Di
satu pihak, tentu kita kecewa bahwa dua pejabat tertinggi terjerembap kasus
korupsi. Namun, di sisi lain, kedua peristiwa itu hendaknya bisa menjadi
momentum pembersihan mafia migas. Sejauh pemberitaan media, mafia migas dapat
diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, terjadinya perburuan rente ekonomi (rent seeking behavior) di seputar
bisnis migas. Kedua, praktik suap dan pemerasan oleh birokrat atau regulator
terhadap operator seperti perusahaan pertambangan.
Istilah
perburuan rente pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Anne O Krueger dari
Universitas Duke yang menulis artikel ”The
Political Economy of Rent Seeking Society” (American Economic Review, 1974). Pemburu rente adalah pihak-pihak
yang dengan muslihatnya mengeruk keuntungan besar dari peraturan yang dibuat
oleh regulator. Dalam kasus minyak, misalnya, para pemburu rente diuntungkan
oleh keberadaan kilang minyak di Singapura. Bisnis pengilangan minyak di
Singapura menguntungkan tatkala jumlah kilang di Indonesia tidak memadai.
Akibatnya, minyak mentah produksi Indonesia harus dikirim dulu ke Singapura.
Mata rantai produksi yang panjang ini dinikmati oleh para pemburu rente yang
mendapatkan nilai tambah dalam pemrosesannya.
Indonesia
pernah sukses mendongkrak proses nilai tambah pada kasus kayu lapis. Tahun
1980, melalui Surat Keputusan Tiga Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri
Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan), dikeluarkan
larangan ekspor kayu gelondongan atau kayu bulat (log). Tujuannya agar kayu
bulat dapat diolah di dalam negeri sehingga bisa menghasilkan kayu lapis (plywood). Di dunia dikenal dua jenis
kayu lapis, yakni yang diproduksi di negara empat musim (Amerika Serikat dan
Tiongkok) serta yang diproduksi di hutan tropis (Indonesia dan Brasil).
Larangan
ekspor kayu dari Indonesia yang efektif sejak 1985 langsung memukul industri
kayu lapis di Korea Selatan. Sebaliknya, industri kayu lapis kita mengalami
”musim semi”. Industri kayu lapis Indonesia dimulai tahun 1973 dengan dua
pabrik. Pada 1980 naik menjadi 29 pabrik. Saat larangan ekspor kayu bulat
berlaku penuh tahun 1985, jumlah pabrik menjadi 101 buah. Puncaknya, jumlah
pabrik mencapai 122 (1997). Devisa yang bisa diperoleh dari ekspor kayu lapis
sebesar 3,4 miliar dollar AS.
Kejadian
yang mirip kini terjadi di sektor pertambangan. Melalui Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009, pemerintah melarang ekspor mineral mentah. Tujuan UU ini adalah
mendorong berkembangnya industri pengolahan mineral agar dapat diekspor
berupa barang jadi (final goods)
atau setengah jadi (semi-finished goods)
yang harganya jauh lebih tinggi, ada nilai tambah.
Menteri
Keuangan Chatib Basri pernah mengajak pengamat ekonomi mendiskusikan hal ini.
Tahun ini kita akan kehilangan 5 miliar dollar AS akibat tidak mengekspor
mineral mentah. Namun, ke depan, ekspor kita bakal naik jauh lebih tinggi
ketika kita bisa mengekspor mineral yang sudah diproses, misalnya bauksit
diolah menjadi alumina, lalu diolah lagi jadi aluminium. Setiap tahap
pemrosesan bisa menciptakan nilai tambah hingga 10 kali lipat. Dari bauksit
ke alumina bisa meningkatkan harga 10 kali lipat, demikian pula dari alumina
ke aluminium.
Kebijakan
ini menimbulkan resistensi. Beberapa operator merasa tak siap meski sudah
diberi waktu persiapan lima tahun. Operator lain menggunakan alasan skala
usahanya terlalu kecil sehingga tidak sanggup membangun smelter. Industri
pertambangan sebagaimana banyak industri lain memang membutuhkan operator
yang cukup besar agar bisa mencapai skala ekonomis (economies of scale).
Ada
tiga hal bisa disimpulkan dan disarankan. Pertama, momentum kasus Jero Wacik
dan Rudi Rubiandini harus dimanfaatkan pemerintahan baru presiden terpilih
Joko Widodo untuk mengenyahkan mafia minyak. Ruang gerak para pemburu rente
ekonomi harus dipersempit melalui pembangunan kilang minyak. Laba Pertamina
hingga Rp 32 triliun mengindikasikan bahwa kita tidak memiliki hambatan dana
yang serius membangun kilang di dalam negeri.
Kedua,
Pertamina yang kini produksinya sekitar 20 persen di Indonesia, hanya kalah
dari Chevron (47 persen), sudah waktunya didorong menjadi perusahaan terbuka
yang menjual sahamnya di bursa efek. Saya selalu percaya bahwa upaya paling
efektif mendorong sebuah perusahaan untuk menaati tata kelola yang baik
adalah melalui go public. Menjadi perusahaan terbuka lebih menjamin
transparansi dan bisa mengurangi kemungkinan diintervensi oleh birokrat
secara tidak perlu. Pertamina kini juga sudah masuk Fortune Global 500 di urutan ke-122 (2013). Tak ada alasan lagi
perusahaan ini tidak diaudit dan dipantau secara lebih intensif oleh para
pengawas bursa dan banyak pemangku kepentingan.
Ketiga,
dalam hal pelarangan ekspor mineral mentah, kita sudah di jalur yang benar.
Kita pun mestinya membangun industri pengolahan mineral untuk merebut nilai
tambah lebih besar. Bahwa ada resistensi dari operator yang tidak siap, itu
biasa. Ibarat ujian, akan ada yang lulus, lulus dengan sejumlah perbaikan,
dan ada pula yang tidak lulus. Namun, yang paling esensial, ke depan kita
terus berupaya mendapatkan devisa ekspor lebih besar agar bisa mengatasi
defisit perdagangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar