Jumat, 12 September 2014

Revolusi Politik Monoton

Revolusi Politik Monoton

Deny Humaedi Muhammad  ;   Peneliti Muda
Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
HALUAN, 11 September 2014

Artikel DHM ini telah dimuat di OKEZONENEWS 3 September 2014
                                                                                                                       
                                                      

Dunia politik selalu mengundang per­hatian publik. Sebab, segala hal yang  berkaitan dengan kebijakan yang berhubungan dengan rakyat ditentukan lewat mekanisme politik. Tidak salah sejumlah filsuf Yunani Kuno menyebut politik sebagai jalan pengabdian terhadap hidup.

Tetapi, hipotesa itu kian terbantahkan oleh praktik di dalam kenyataan politik sendiri. Pelbagai kasus dan intrik sengit yang dipertontonkan para elit (politikus) meng­giring nalar publik bahwa politik selalu menyajikan perihal yang sarat kepen­tingan kelompok/pribadi de­ngan bungkusan apik sejum­­lah program yang diklaim sesuai dengan selera rakyat.

Dengan bungkusan ini, awalnya  publik dibuat takjub tanpa henti. Terlebih kewibawaan, penampilan yang klimis, kesantunan, dan retorika yang menyentuh semakin membuat publik kagum luar biasa.

Namun, semakin ke sini publik semakin cerdas bahwa apa yang mereka perlihatkan sungguh berbanding terbalik dengan kenyataan sesung­guhnya.  Apa yang mereka tampilkan sebatas rekayasa. Jauh dari prinsip kejujuran. Jadinya, yang tam­pak hanya­lah ke­semuan belaka.  Karena itu, me­lihat realitas po­litik yang de­mikian tak ubahnya menon­ton drama  yang me­muat cerita dengan akting mumpuni dari aktris dan aktor.

Tidak Mencerahkan

Drama dan dunia politik memang berbeda. Drama hanyalah rekaan cerita yang melibatkan kreasi imajinasi kendati kadang dipadu dengan kisah nyata. Sementara politik adalah dunia yang kese­hariannya memperbincangkan ikhwal kepentingan, kebijakan, dan dinamika pemerintahan. Tapi, keduanya sama-sama menyuguhkan cerita dan ki­sah seputar ke­hi­dupan.

Dalam dra­ma ka­­dang te­r­saji cerita menarik yang membuat penonton betah mengikuti alur cerita. Hingga akhir cerita, pe­nonton ter­ke­sima dengan alur, plot, dan peran para ar­tis. Lebih dari itu kisah yang di­suguh­kan da­pat mem­berikan pen­cera­han dan wawasan baru bagi penonton. Sehingga, tak da­pat disang­sikan kisah ins­piratif dra­­­ma se­ring men­jadi re­ferensi hi­dup ba­gi pe­­nonton.

Tetapi, tidak bisa dip­ung­ki­ri juga ce­rita da­­­lam drama terkesan tidak me­narik. Alur cerita yang bo­lak-balik dan tambahan cerita terkesan dilebih-lebihkan membuat tontonan semakin basi. Cerita pun a­khir­nya kehila­ngan taji. Pesan moral yang hendak disampaikan tidak berbekas. Akhirnya, penonton sama sekali tidak mendapat pencerahan baru.

Tidak jauh berbeda, di­namika politik kita dewasa ini jauh dari kesan pendidikan. Sebagai media yang sering diperhatikan publik, politik melalui para  elitnya sering menam­pilkan pe­rilaku yang jauh dari tela­dan. Di me­­­dia te­levisi kita se­ring me­nyak­sikan bagaimana para elit sering tersulut emosi, debat kusir, hingga memaki saat mendialogkan perihal yang berkaitan dengan rakyat.

Sebagai kaum intelek, hendaknya mereka me­nyu­guhkan argumen cerdas, jelas, dan objektif, sehingga publik memahami duduk perkara yang tengah didialogkan. Malahan, politik se­ma­kin jauh dari media pendidikan ketika belakangan ini munculnya perilaku korup, skandal seks, dan lainnya.

Jelas saja, ini me­ngun­dang kekecewaan publik. Politik, kini, seolah menjadi public  enemy yang harus dibinasakan. Untuk itu, seperti halnya drama, dinamika politik kita dari tahun ke tahun, dari bergan­­tinya orde ke orde yang baru tidak me­nawarkan perubahan yang be­rarti. Terjebak dalam keman­degan. Itu-itu saja yang ditam­pilkan. Mo­noton.

Revolusi Harga Mati

Kisruh politik de­mikian berimplikasi pada ketidak­percayaan publik pada politik, khu­sus terhadap kinerja para elit. Hal ini bisa kita lihat dari data survei yang dilakukan Pol-Tracking institute bebe­rapa waktu lalu. Hasil survei ini menunjukan, hanya 12,64% ma­syarakat yang menja­wab kinerja DPR baik. Sisanya 61,85% menilai tidak baik, dengan rincian 46,2% menya­takan kurang baik, 15,65% buruk, dan sisa­nya 25,68% menyatakan tidak tahu.

Sangat jelas berdasarkan hasil survei ini, publik semakin jengah dengan kondisi politik kita. Sebab itu politik kita harus segera dibenahi. Dalam konteks ini revolusi—peru­bahan cepat dan mendasar—menjadi  harga mati tanpa harus ditawar lagi.
Untuk itu ada empat hal yang kudu direvolusi. Pertama,  revolusi mental. Ini penting sebab mentalitas elit politik kita selalu tertuju pada hitungan kalkulasi antara untung dan rugi. Jadinya, politik dijadikan lahan strategis untuk meraih kekayaan pribadi.

Kedua, revolusi akhlak (perilaku). Kebobrokan elit dalam skandal seks menye­babkan tujuan utama politik secara perlahan luntur. Untuk itu perubahan akhlak harus di­upayakan. Para elit patut sadar bahwa mereka adalah pemimpin rakyat. Sebagai pemimpin, mereka harus bertanggung jawab kepada rakyat. Apalagi, kelak, akan dimintai pertang­gungjawaban oleh Tuhan.

Ketiga, revolusi kerja. kerja, kerja, kerja. Sebuah kata singkat tapi mempunyai makna dalam ini  yang harus ditim­bang para elit kita. Kerja yang yang dimaksud ialah kerja nyata, yakni kerja yang orientasinya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk pribadi semata.

Terakhir, revolusi sistem. Hemat saya ini sesuai dengan pidato kenegaraan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (15/8/2014) bahwa hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam politik adalah sistem. Menurut­nya, dengan mengacu sejarah bahwa ada relasi kuat antara sistem, negara, dan rakyat. Sistem yang kuat akan men­­cipta­kan negara yang kuat. Negara kuat akan menciptakan rakyat yang kuat. Sebaliknya manakala sistem lemah, politik kita akan mengalami kemun­duran.

Revolusi terhadap politik yang monoton menemukan relevansinya dengan pemerintah baru nanti. Presiden dan Anggota Dewan yang baru terpilih hendaknya menam­pilkan sesuatu yang “meng­gemaskan” publik. Sesuatu “tontonan” yang mencerahkan dan mendidik publik.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar