Revolusi
Politik Monoton
Deny Humaedi Muhammad ;
Peneliti
Muda
Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
|
HALUAN,
11 September 2014
Artikel DHM ini telah dimuat di OKEZONENEWS 3 September 2014
Dunia politik selalu
mengundang perhatian publik. Sebab, segala hal yang berkaitan dengan
kebijakan yang berhubungan dengan rakyat ditentukan lewat mekanisme politik.
Tidak salah sejumlah filsuf Yunani Kuno menyebut politik sebagai jalan
pengabdian terhadap hidup.
Tetapi, hipotesa itu kian terbantahkan oleh
praktik di dalam kenyataan politik sendiri. Pelbagai kasus dan intrik sengit
yang dipertontonkan para elit (politikus) menggiring nalar publik bahwa
politik selalu menyajikan perihal yang sarat kepentingan kelompok/pribadi dengan
bungkusan apik sejumlah program yang diklaim sesuai dengan selera rakyat.
Dengan bungkusan ini, awalnya publik
dibuat takjub tanpa henti. Terlebih kewibawaan, penampilan yang klimis,
kesantunan, dan retorika yang menyentuh semakin membuat publik kagum luar
biasa.
Namun, semakin ke sini publik semakin
cerdas bahwa apa yang mereka perlihatkan sungguh berbanding terbalik dengan
kenyataan sesungguhnya. Apa yang mereka tampilkan sebatas rekayasa.
Jauh dari prinsip kejujuran. Jadinya, yang tampak hanyalah kesemuan
belaka. Karena itu, melihat realitas politik yang demikian tak
ubahnya menonton drama yang memuat cerita dengan akting mumpuni dari
aktris dan aktor.
Tidak
Mencerahkan
Drama dan dunia politik memang berbeda.
Drama hanyalah rekaan cerita yang melibatkan kreasi imajinasi kendati kadang
dipadu dengan kisah nyata. Sementara politik adalah dunia yang kesehariannya
memperbincangkan ikhwal kepentingan, kebijakan, dan dinamika pemerintahan. Tapi,
keduanya sama-sama menyuguhkan cerita dan kisah seputar kehidupan.
Dalam drama kadang tersaji cerita
menarik yang membuat penonton betah mengikuti alur cerita. Hingga akhir
cerita, penonton terkesima dengan alur, plot, dan peran para artis. Lebih
dari itu kisah yang disuguhkan dapat memberikan pencerahan dan wawasan
baru bagi penonton. Sehingga, tak dapat disangsikan kisah inspiratif drama
sering menjadi referensi hidup bagi penonton.
Tetapi, tidak bisa dipungkiri juga cerita
dalam drama terkesan tidak menarik. Alur cerita yang bolak-balik dan
tambahan cerita terkesan dilebih-lebihkan membuat tontonan semakin basi.
Cerita pun akhirnya kehilangan taji. Pesan moral yang hendak disampaikan
tidak berbekas. Akhirnya, penonton sama sekali tidak mendapat pencerahan
baru.
Tidak jauh berbeda, dinamika politik kita
dewasa ini jauh dari kesan pendidikan. Sebagai media yang sering diperhatikan
publik, politik melalui para elitnya sering menampilkan perilaku yang
jauh dari teladan. Di media televisi kita sering menyaksikan
bagaimana para elit sering tersulut emosi, debat kusir, hingga memaki saat
mendialogkan perihal yang berkaitan dengan rakyat.
Sebagai kaum intelek, hendaknya mereka menyuguhkan
argumen cerdas, jelas, dan objektif, sehingga publik memahami duduk perkara
yang tengah didialogkan. Malahan, politik semakin jauh dari media
pendidikan ketika belakangan ini munculnya perilaku korup, skandal seks, dan
lainnya.
Jelas saja, ini mengundang kekecewaan publik.
Politik, kini, seolah menjadi public enemy yang harus dibinasakan.
Untuk itu, seperti halnya drama, dinamika politik kita dari tahun ke tahun,
dari bergantinya orde ke orde yang baru tidak menawarkan perubahan yang berarti.
Terjebak dalam kemandegan. Itu-itu saja yang ditampilkan. Monoton.
Revolusi Harga Mati
Kisruh politik demikian berimplikasi pada
ketidakpercayaan publik pada politik, khusus terhadap kinerja para elit.
Hal ini bisa kita lihat dari data survei yang dilakukan Pol-Tracking institute beberapa waktu lalu. Hasil survei ini
menunjukan, hanya 12,64% masyarakat yang menjawab kinerja DPR baik. Sisanya
61,85% menilai tidak baik, dengan rincian 46,2% menyatakan kurang baik,
15,65% buruk, dan sisanya 25,68% menyatakan tidak tahu.
Sangat jelas berdasarkan hasil survei ini,
publik semakin jengah dengan kondisi politik kita. Sebab itu politik kita
harus segera dibenahi. Dalam konteks ini revolusi—perubahan cepat dan
mendasar—menjadi harga mati tanpa harus ditawar lagi.
Untuk itu ada empat hal yang kudu
direvolusi. Pertama, revolusi mental. Ini penting sebab mentalitas elit
politik kita selalu tertuju pada hitungan kalkulasi antara untung dan rugi.
Jadinya, politik dijadikan lahan strategis untuk meraih kekayaan pribadi.
Kedua, revolusi akhlak (perilaku).
Kebobrokan elit dalam skandal seks menyebabkan tujuan utama politik secara
perlahan luntur. Untuk itu perubahan akhlak harus diupayakan. Para elit
patut sadar bahwa mereka adalah pemimpin rakyat. Sebagai pemimpin, mereka
harus bertanggung jawab kepada rakyat. Apalagi, kelak, akan dimintai pertanggungjawaban
oleh Tuhan.
Ketiga, revolusi kerja. kerja, kerja,
kerja. Sebuah kata singkat tapi mempunyai makna dalam ini yang harus
ditimbang para elit kita. Kerja yang yang dimaksud ialah kerja nyata, yakni
kerja yang orientasinya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk
pribadi semata.
Terakhir, revolusi sistem. Hemat saya ini
sesuai dengan pidato kenegaraan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(15/8/2014) bahwa hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam politik adalah
sistem. Menurutnya, dengan mengacu sejarah bahwa ada relasi kuat antara
sistem, negara, dan rakyat. Sistem yang kuat akan menciptakan negara yang
kuat. Negara kuat akan menciptakan rakyat yang kuat. Sebaliknya manakala
sistem lemah, politik kita akan mengalami kemunduran.
Revolusi terhadap politik yang monoton
menemukan relevansinya dengan pemerintah baru nanti. Presiden dan Anggota
Dewan yang baru terpilih hendaknya menampilkan sesuatu yang “menggemaskan”
publik. Sesuatu “tontonan” yang mencerahkan dan mendidik publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar