Selasa, 16 September 2014

Rakyat Dukung Ahok

Rakyat Dukung Ahok

Hendra Kurniawan  ;   Dosen Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
KORAN JAKARTA, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Keputusan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mundur dari Partai Gerindra patut diapresiasi karena tidak sejalan dengan partainya yang mendukung pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota oleh DPRD.

Ahok berhasil memimpin Belitung Timur dan DKI Jakarta karena dipilih rakyat. Ahok yakin, apabila saat itu pilkada diselenggarakan melalui DPRD, dia tidak akan menjadi bupati atau wakil gubernur DKI. Suara hati memang tidak dapat berbohong. Pemimpin yang memikirkan rakyat akan menolak pilkada tidak langsung.

Sistem pilkada langsung merupakan wujud keberhasilan demokrasi Indonesia. Dunia internasional juga mengakui bahwa Indonesia sekarang menjadi negara unggul kehidupan demokrasinya. Menjadi sangat ironis tatkala partai-partai politik dalam Koalisi Merah Putih mengusulkan pilkada kembali sebelum reformasi.

Ini bukan semata-mata kemunduran demokrasi. Pilkada lewat DPRD juga rentan menimbulkan korupsi terstruktur, sistematis, dan masif. Dalam Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa tujuan umum partai politik adalah mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya juga disebutkan tujuan khususnya meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Maka, sangat ironis ketika mayoritas partai politik legislatif justru bersama-sama melahirkan wacana meniadakan pilkada langsung.

Pilkada melalui DPRD jelas mencederai asas kedaulatan rakyat dan mereduksi partisipasi politik masyarakat. Rakyat kehilangan hak turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Apabila RUU yang mengatur pilkada tidak langsung disahkan, fungsi partai akan terdegradasi. Dia sebagai sarana pendidikan politik masyarakat tidak akan berperan. Fungsinya dalam menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi masyarakat akan selalu dipertanyakan karena bisa menjadi bias saat warga tidak lagi memilih pemimpinnya secara langsung.

Partai juga dapat mengalami stagnasi dalam proses perekrutan politik untuk pengisian jabatan karena hanya mereka yang memiliki kedekatan dan mampu memberi “keuntungan” partai diangkat. Yudi Latif (2011), dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, menegaskan negara yang berkedaulatan rakyat mengandung cita-cita kerakyatan dan permusyawaratan.

Berdasarkan sila keempat, suatu keputusan politik harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, berorientasi jauh ke depan. Dia bukan karena kepentingan jangka pendek yang destruktif dan mempertimbangkan pendapat semua pihak.

Atas berbagai dasar ini, benarkah wacana pilkada tidak langsung yang kini menuai protes rakyat dianggap lebih memenuhi prinsip sila keempat? Dalam prinsip musyawarah mufakat, keputusan tidak didikte golongan mayoritas ataupun minoritas elite. Masyarakat harus diberi akses dalam proses pengambilan keputusan.

Untuk itu, demokrasi Pancasila menekankan pelaksanaan kedaulatan rakyat bahwa rakyatlah yang berkuasa secara mutlak, maka tugas perwakilan (DPR maupun DPRD) ialah memperhatikan dan menyalurkan harapan masyarakat.

Orientasi etis dalam sila keempat bahwa kerakyatan itu dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan mensyaratkan kearifan. Para wakil rakyat harus bijak agar bisa merasakan dan mengetahui aspirasi rakyat sehingga dapat mengambil keputusan benar untuk negara.

Pertanyaannya, sudahkah wakil rakyat menunjukkan kearifaannya apabila wacana pilkada tidak langsung yang semakin panas pascapilpres ini ternyata sarat kepentingan dan sentimen politik tertentu?

Tidak Sendiri

Terkait penolakan pilkada oleh DPRD ini, banyak kepala daerah mundur dari partai karena tidak sejalan. Salah satunya Wakil Gubernur DKI Jakarta tadi. Sikap Ahok yang tidak mementingkan diri sendiri tak berarti kutu loncat. Ini karena bukan persoalan partai yang paling menguntungkan secara finansial baginya.

Ahok mundur karena berpihak pada rakyat. Ini justru dapat menjadi bahan refleksi bagi Gerindra maupun politisi lain sebagai momentum untuk sadar dan segera kembali mendekatkan diri pada (kepentingan) rakyat. Kemunduran Ahok, cepat atau lambat, segera diikuti kader partai lainnya yang juga berjiwa berani dan tegas.

Ahok dan beberapa pemimpin daerah lain yang progresif dan mengutamakan rakyat merupakan produk pilkada secara langsung. Saat ini saja ratusan kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) dengan tegas menolak pilkada tidak langsung.

Apalagi mereka itu notabene juga dipilih secara langsung rakyat. Mereka meyakini bahwa tidak ada korelasi antara tingginya angka korupsi dan sistem pilkada langsung. Sekarang hanya perlu penyempurnaan teknis pelaksanaan pilkada. UUD 1945 telah menjamin bahwa rakyat memiliki hak fundamental untuk menentukan pemimpin daerahnya sendiri.

Tak urung sikap Ahok ini justru semakin meningkatkan simpati masyarakat padanya. Dukungan pun terus mengalir, terutama melalui media sosial. Beberapa akun di jejaring sosial dibuat untuk menampung berbagai komentar dan simpati masyarakat. Penolakan RUU mengenai Pilkada Tidak Langsung juga ditunjukkan para aktivis 1998. Mereka menilai demokrasi yang telah diperjuangkan di masa Reformasi guna melawan rezim Orde Baru sudah dilupakan karena emosi politik sesaat. Perpecahan politik akibat pilpres kemarin menuntut tumbal yang terlalu besar.

Sangatlah bijak apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di akhir masa pemerintahannya, segera turun tangan menyelesaikan kegelisahan soal RUU Pilkada. SBY memiliki kekuatan membatalkan RUU Pilkada sehingga kembali pada UU lama. Jangan sampai RUU Pilkada baru menjadi motif bagi-bagi kekuasaan di daerah.

Pilkada melalui DPRD berarti hilangnya suara rakyat dan memberikan kekuasaan kepada sejumlah elite. Ini tidak hanya mencederai demokrasi rakyat, namun juga akan melahirkan penguasa-penguasa daerah dari kalangan elite partai yang sekali-kali tidak akan merasa berdosa apabila mengabaikan kepentingan rakyat.

Sikap rakyat yang sedia pasang badan dan berdiri di belakang Ahok menunjukkan bahwa keteladanan pemimpin seperti dia saat ini dibutuhkan bangsa. Ahok tidak sendiri. Keputusannya didukung rakyat. Rakyat menanti kemunculan “Ahok-Ahok” lain di berbagai daerah. Kalau toh tetap ada yang menyatakan bahwa sikap kepala daerah yang tidak sejalan dengan partai pengusungnya dianggap berkhianat, biarkan saja. Yang lebih penting, mereka tidak berkhianat pada rakyat, pemilihnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar