Sabtu, 13 September 2014

Pengunduran Diri Ahok

Pengunduran Diri Ahok

Muhammad Tri Andika  ;   Kepala Jurusan Ilmu Politik Universitas Bakrie
Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS)
KORAN SINDO, 12 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pengunduran diri Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok, sebagai kader Partai Gerindra merupakan realitas politik yang menarik untuk disimak.

Sikap Ahok yang konsisten mendukung pemilukada langsung yang dipandang lebih demokratis dibanding dengan pandangan partainya, dianggap menjadi faktor utama pengunduran diri Ahok. Konflik Ahok dengan Gerindra tidak bisa dihindarkan.

Lantas pertanyaannya, apakah beda pandangan mengenai pemilukada antara Ahok dan Gerindra menjadi faktor utama pengunduran diri wagub DKI Jakarta sebagai kader Partai Gerindra?

Pengunduran diri dalam keanggotaan partai politik pada dasarnya merupakan sesuatu yang normal. Setiap partai politik dalam AD/ART-nya pasti mengatur mekanisme pengunduran diri seseorang dari keanggotaan organisasinya.

Dengan kata lain, pengunduran diri seseorang dari partai politik merupakan hak yang sah. Atas dasar ini, sikap Ahok mundur dari partai yang telah mengusungnya menjadi wagub DKI Jakarta adalah hak politik yang bersangkutan.

Namun, dalam peristiwa yang tengah berkembang antara Ahok dan Gerindra, terlalu sederhana tampaknya jika Ahok menjadikan isu perbedaan sikap dalam isu pemilukada sebagai alasan utama pengunduran dirinya.

Bisa jadi hal ini hanya merupakan faktor pemicu bukan faktor utama. Dalam hal perbedaan pandangan antara kepala daerah dan partainya, sepertinya bukan hanya terjadi pada kasus Ahok. Kita juga bisa melihat bupati/wali kota lain yang memiliki perbedaan pendapat dengan partainya mengenai isu pemilukada ini.

Sebut saja Ridwan Kamil yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra serta Bima Arya Sugiarto yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Keduanya juga mendukung pemilukada secara langsung dan memiliki sikap yang berbeda dengan pandangan partainya.

Atau jika lebih luas lagi untuk bisa melihat singgungan pendapat antara kepala daerah dan partainya, kita bisa melihat hubungan Trismaharini dengan PDIP di Surabaya.

Sehingga, perbedaan pendapat dalam satu partai merupakan isu yang biasa, dan berlebihan nampaknya jika ini bisa menjadi faktor utama pengunduran diri Ahok dari Gerindra. Masih cukup banyak faktor yang bisa turut menjelaskan pengunduran diri Ahok di luar isu perbedaan pandangan tersebut.

Seperti faktor komunikasi politik Ahok yang sangat unik, atau bahkan ada motivasi politik lain yang muncul seiring dengan perkembangan dinamika politik nasional.

Perilaku Politik vs Etika Politik

Pengunduran diri Ahok juga bisa mengajak kita sedikit menengok benturan dua aspek dalam kajian ilmu politik yang sering kali tidak pernah sejalan; yakni perilaku politik dan etika politik. Membahas perilaku politik pada tataran yang normatif, sering kali dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang naif.

Sebab katanya, politik memang tentang seni bagaimana mendapatkan kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Atas dasar inilah sering kali etika politik hanya menjadi bagian yang tersudutkan dalam pembahasan perilaku aktor politik. Namun, penulis berpandangan bahwa kerasnya pertarungan perebutan kekuasaan dengan segala cara, tidak akan pernah menutup kerinduan masyarakat akan dijunjungnya etika politik.

Sejatinya, kekuasaan politik yang sudah didapatkan tidak hanya membutuhkan legitimasi secara hukum, tapi juga dibutuhkan pembenaran normatif yang berlaku di dalam masyarakat. Namun, politik adalah pertarungan kekuatan. Sering kali realitas politik yang dipertontonkan tidak bisa dijelaskan dalam etika politik yang dianggap ideal.

Mundur sebagai Wagub DKI Jakarta?

Sikap Ahok yang tidak mundur dari wagub DKI Jakarta bisa dipahami secara konstitusional, sebab tidak ada aturan yang menegaskan ia harus mundur dari posisinya. Meskipun kader partai dan dicalonkan oleh partai, kepala daerah tidak bisa diganti dari jabatannya ketika dirinya keluar dari partai yang mengusungnya. Kendali partai terputus bersamaan dengan pelantikan kandidat yang diusung sebagai kepala daerah.

Namun pada saat yang bersamaan, penulis berpendapat bahwa hal ini merupakan cermin dari sistem politik kita yang masih mengabaikan etika politik, sehingga kepala daerah bisa dengan mudah meninggalkan partai politik yang telah mengusungnya ketika jabatan yang dituju sudah dicapai.

Lebih jauh lagi, dalam konteks ini penulis juga berpandangan bahwa ke depannya di satu sisi pelibatan publik yang luas dalam proses pemilukada langsung yang sudah sepuluh tahun diterapkan harus tetap dijaga. Pasalnya, ongkos pembelajaran politik yang sudah dikeluarkan bangsa ini tidak terbuang sia-sia.

Namun, jangan sampai pada saat yang bersamaan hal ini justru memperlemah peran dan fungsi partai politik dalam praktik berdemokrasi. Peran partai politik tetap harus diperhatikan secara serius ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar