Jangan
Main-main dengan Rakyat
M Subhan SD ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
13 September 2014
“DULU saya kira
kepemimpinan itu berarti kekuatan, tetapi sekarang kepemimpinan ternyata
maknanya adalah berbaur bersama rakyat,” kata Indira Gandhi (1917-1984), mantan
Perdana Menteri India. Ucapan Gandhi sepatutnya menyadarkan para politisi di
DPR yang tengah ngotot menggergaji pilar-pilar demokrasi. Di Senayan, heboh
sekali politisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menyusun kekuatan
untuk merampas demokrasi langsung dari tangan rakyat (electoral democracy). Mereka menyiapkan Rancangan Undang-Undang
Pilkada yang hendak mengembalikan pesta demokrasi lokal ke DPRD seperti zaman
Orde Baru yang otoriter.
Sampai
September ini, fraksi-fraksi yang ngotot pemilihan (pilkada) di DPRD adalah
Golkar, PKS, Demokrat, PAN, PPP, dan Gerindra. Padahal, pra-pilpres Mei lalu,
semua fraksi itu setuju pemilihan langsung. Fraksi yang konsisten pemilihan
langsung adalah PDI-P dan Hanura. PKB yang semula ingin pemilihan bupati/wali
kota di DPRD, kini setuju pemilihan langsung. Memang aneh, fraksi-fraksi yang
mendukung pilkada di DPRD bukannya memperkuat demokrasi di tangan rakyat,
mereka justru hendak merampas demokrasi dari rakyat. Mereka lupa bahwa lima
tahun lalu mereka bisa sampai ke Senayan pun karena dipilih langsung oleh
rakyat.
Mereka
beralasan pemilihan langsung berbiaya mahal (high cost) yang buntutnya banyak kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur)
terjerat korupsi. Namun, kesalahan itu bukan pada sistem pemilihan langsung,
melainkan lebih karena tabiat rakus kuasa dan rasionalitas keliru para
politisi. Lagi pula, siapa bilang pemilihan di DPRD murah? Biaya politik
dalam demokrasi langsung bisa dicek transparansi dan akuntabilitasnya. Di
pilkada langsung, political cost bisa dihitung, katakanlah untuk poster,
spanduk, baliho, kampanye, atau sebagian money politics. Sebaliknya,
pemilihan di DPRD, jangan-jangan money
politics-nya ibarat ”sumur tanpa dasar”.
Jadi,
niat politisi di Senayan itu sungguh keterlaluan. Ketika banyak pihak
berpikir keras untuk mewujudkan demokrasi yang lebih substantif, bukan lagi
prosedural, mereka malah berpikiran mundur. Rasanya
tak sulit melihat niat mereka sebagai tindakan balas dendam terhadap
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang pada Oktober
mendatang akan menggantikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Kalah dalam kontestasi pilpres, termasuk dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi,
tidak juga membuat mereka sadar dan mengakui kekalahan. Padahal, dalam
demokrasi bukan cuma mengajarkan memenangi kontestasi secara elegan,
melainkan pihak-pihak yang kalah seharusnya juga menerima keputusan apa pun
dari suatu proses konstestasi, serta pihak-pihak yang menang sewajarnya
merangkul kembali pihak-pihak yang terjungkal itu.
Kriteria
pemerintahan demokratis, kata ahli ekonomi-politik Anthony Downs (1957),
antara lain pihak yang kalah dalam pemilu tidak mencoba menggunakan kekerasan
atau cara-cara ilegal untuk menghadang partai pemenang. Sebaliknya, partai
berkuasa juga tidak membatasi kegiatan politik rakyat selama tidak ada upaya
penggulingan pemerintah dengan cara-cara kekerasan. ”Demokrasi ditandai dengan pemilu secara periodik yang diputuskan
oleh mayoritas dengan one-person, one-vote,” kata Downs.
Niat
mengembalikan demokrasi ke DPRD juga tak ubahnya serangan balik karena
keputusasaan saat bertarung dalam pemilihan langsung. Ternyata dalam
pemilihan langsung, uang yang semula diyakini sebagai ”jimat sakti” pada
akhirnya bukan segala-galanya. ”Uang tidak dapat membeli kehidupan Anda,”
teriak Bob Marley (1945-1981), legenda reggae dari Jamaika. Rakyat kita makin
cerdas. Terlalu sering kita dengar rakyat bilang begini: ”Ambil uangnya, jangan
pilih orangnya”. Sesungguhnya itulah bentuk perlawanan rakyat terhadap
cara-cara berpolitik kotor.
Tak
heran, buat politisi yang suka cara-cara kotor, pilkada langsung kini tidak
jadi jaminan lagi, malah menjadi ancaman terbesar. Dengan pilkada langsung,
rakyat makin mengerti memilih pemimpin baik. Setelah pengalaman hampir 10
tahun, pilkada langsung pun mulai menemukan bentuknya dalam menyeleksi
pemimpin baik dan berintegritas. Dari pilkada langsung lahirlah Jokowi di
Solo dan kemudian Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, Ridwan Kamil di
Bandung, Nurdin Abdullah di Bantaeng, dan banyak lagi. Jadi, jangan potong
”musim semi” itu.
Menurut
Freedom House (2008), untuk memenuhi standar minimum, sebuah negara electoral
democracy memiliki empat syarat, yakni (1) kompetitif, dengan sistem politik
multipartai; (2) hak pilih bagi semua warga negara; (3) kontestasi dan
pemungutan suara lewat pemilu teratur, rahasia, tak ada penipuan, dan
mewakili suara rakyat; serta (4) akses publik dari parpol kepada rakyat melalui
media dan kampanye terbuka. Di dunia, banyak negara ingin berubah ke electoral democracy, meninggalkan pseudo democracy.
Lebih
dari seabad silam, semasa perang saudara di Amerika Serikat, di Pemakaman
Nasional Prajurit di Gettysburg, Pennsylvania, Presiden Abraham Lincoln
(1809-1865) berpidato lantang: ”Kita
berada di sini untuk mendedikasikan pada tugas besar yang tersisa di hadapan
kita... bahwa negara ini, di bawah kuasa Tuhan, akan melahirkan kebebasan
baru, dan bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak
boleh binasa dari muka bumi.”
Jadi, jangan main-main
dengan rakyat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar