Memeras
Secara Imajiner
Mohamad Sobary ; Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 08 September 2014
Kata
memeras itu biasanya berhubungan dengan benda-benda nyata di dalam kehidupan
kita sehari-hari. Bagi para peternak lembu perah, atau kambing etawa, kata
memeras, biasanya disebut ”memerah”, berhubungan dengan susu, untuk
memperoleh apa yang kita banggakan sebagai minuman segar dan sehat.
Boleh
jadi malah disebut paling segar dan paling sehat. Peras memeras di sini sehat
dan menyehatkan. Bagi mereka yang memiliki ketangkasan luar biasa, memeras,
dan sekali lagi diganti sebutan menjadi ”memerah” tadi, juga berhubungan
dengan benda, yaitu hewan, tetapi yang diperahnya bukan lagi lembu atau
kambing, melainkan kuda liar. Sulit membayangkan kuda liar bisa tunduk dan
taat ketika ada orang yang datang menangkapnya, dan berusaha memerah susunya.
Di
dalam khasanah kehidupan orang ”prairie”, padang rumput di zaman ”wild wild
west”, yaitu surganya orang Indian, yang sekarang menjadi Amerika Serikat
itu, orang yang bisa berbuat begitu mungkin dapat dihitung dengan jari. Dan
di dalam jumlah terbatas itu ada nama Old Shatterhand. Seliar apa pun seekor
kuda, yang kekuatannya tak terhingga, Old Shatterhand mampu mengatasinya,
sampai si kuda mandi keringat dan kehabisan tenaga. Tapi peras-memeras di
dalam birokrasi lain.
Pemerasan
di sana hampir tak menggunakan tenaga. Si pemeras boleh jadi tersenyum. Boleh
jadi pula sambil sedikit melemparkan ucapan ini dan itu di balik senyumnya
tadi. Sering kedua belah pihak berhadapan di suatu tempat rahasia, dan
keduanya kelihatan akrab seperti dua sahabat yang lama tak bertemu Tak jarang
pula mereka berjauhan satu dari yang lain. Jadi, ”memerah” susu harus
berhadapan, dalam jarak berdekatan tetapi memeras di dalam birokrasi tidak.
Yang
diperas tak harus tersentuh. Dan pihak yang memeras tak harus menggunakan
tangan. Inilah jenis pemerasan imajiner yang kita kenal di sebagai tingkah
laku serong, atau selingkuh, dari aturan dan tata karma birokrasi. Kecuali
imajiner, pemerasan di dalam birokrasi juga halus, dan lembut. Ancaman pun,
jika diperlukan, dengan sendirinya sangat lembut, super halus, dan simbolik
sekali sifatnya.
Sama
dengan pemerasan kaum mafioso yang menggetarkan manusia biasa. Novel The God father, dan filmnya, yang
tetap memakai judul yang sama, bisa menjadi contoh aktual mengenai bagaimana
kelembutan pemerasan yang justru terjadi di dalam liarnya dunia gelap di
bawah tanah. Kaum mafioso tak perlu mengancam dengan kata-kata.
Birokrat
yang sadar akan kekuasaannya, apalagi pada tingkat menteri, juga tak perlu
mengancam. Lagi pula tak jarang bahwa peras memeras di dalam birokrasi itu
dilakukan berdasarkan perasaan ”suka sama suka” karena ada kepentingan masing-masing
yang sedang diperjuangkan. Di sini jelas tak perlu ada ancaman.
Bersikap
lembut atau kasar, menggunakan gaya preman terminal bus maupun meminjam gaya
mafioso, pemerasan di dalam birokrasi dikategorikan ke dalam tindak pidana
korupsi. Dan pada hari ini, kita tahu bahwa korupsi berhadapan langsung
dengan KPK, yang tak kenal tawar-menawar, dan tak bisa disogok.
Korupsi
ya korupsi. Dan barang siapa yang terbukti korupsi, bukan hanya dikenai
tindak pidana kurungan, tapi juga dipermalukan. Di dalam masa genting ketika
uang negara, yaitu jatah kesejahteraan rakyat dimakan para pejabat dengan
cara yang begitu kejam, melawan kemanusiaan yang sudah terluntalunta, siapa
pun yang krup dihukum.
Tak
peduli ia pejabat tinggi, pejabat tertinggi, keluarga mereka, saudara mereka,
besan mereka, orang tua mereka, mertua mereka, atau istri dan anak, atau
anak-anak mereka, semua ditangkap, diadili dan dihukum. Para pejabat KPK
mulai lebih serius, dan bergerak menyerang perasaan mereka karena tanpa itu
kelihatannya hukuman tak menimbulkan efek jera. Kejutan dibikin, dan
menggetarkan semua pihak.
Jangan
ada yang menyangka bahwa di akhir masa jabatan berarti segalanya sudah
berakhir. Banyak pihak ditangkap dan diperiksa sebelum pada akhirnya dijatuhi
hukuman. Memeriksa pejabat di akhir masa jabatan itu membikin orang, kecuali
badak, menjadi takut. Jadi banyak yang kelihatannya akan ditangkap KPK.
Dan
banyak yang ditangkap, lalu diadili, dan dihukum, itu baiknya bukan main. KPK
telah menegakkan rasa keadilan yang selama ini dihancurkan para pejabat
sendiri. Bila seseorang ditangkap dan tidak ada bukti bahwa dia, sang
birokrat, menerima uang? Itu tetap masalah. Tak menerima uang tapi memperkaya
orang lain, orang itu kena pasal yang hukumannya tak bisa ditawar-tawar tadi.
Dia tak makan sepeser pun uang tapi tindakannya merugikan negara, itu juga
korupsi.
Dia
tak mengantongi sepeser pun uang pun dari hasil kebijakannya, tapi karena
kebijakannya itu membuatnya memperoleh hadiah suatu jabatan, tak peduli dia
siapa, teman siapa, anak siapa, dan apa partainya, dia jelas korupsi. Dan
kita tahu, dia harus dihukum. Dia dikategorikan korupsi kebijakan. Dan
korupsi jenis ini lebih berbahaya. Korupsi kebijakan bisa merugikan negara
dalam jumlah sangat besar.
Tapi
lebih dari itu, korupsi kebijakan yang tergolong tak merugikan negara, tetapi
merugikan hakhak warga masyarakat, terutama warga masyarakat miskin yang tak
berdaya, ini lebih berbahaya, dan hukumannya harus lebih besar. Korupsi
kebijakan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kebijakan.
Kita
belum cukup jelas bagaimana Pak Jero Wacik, abdi dalem ”kinasih ”, dan tangan
kiri sekaligus tangan kanan Bapak Presiden, dikabarkan melakukan pemerasan?
Bagaimana orang yang kelihatannya ”senyam-senyum” melulu, dan kata-katanya
begitu patriotik, melakukan tindakan yang disebut memeras? Bagaimana dia
memeras? Mengapa istri dan anaknya juga diduga terlibat di dalam peras
memeras itu?
Media
belum menjelaskan secara tuntas. Apakah gengsinya merosot dari langit ke
bumi? Siapa pembela-pembelanya? Membela koruptor sebaiknya juga dikategorikan
tindakan korupsi, karena jika dia dibayar dengan uang hasil korupsinya tadi.
Maling, garong, kecu, perampok, pembunuh, harus dibela supaya mereka
diperlakukan secara adil. Tapi bagaimana kalau koruptor dibikinkan aturan
khusus, tegas dan keras, bahwa mereka tak perlu dibela?
Alasannya
jelas: memerah susu lembu, kambing etawa atau kuda liar itu pemerasan yang
sehat dan menyehatkan. Tapi pemerasan di birokrasi, biarpun kelihatannya
imajiner, jelek, tidak sehat, berbahaya, dan menghancurkan kehidupan.
Seimajiner apa pun, memeras itu korupsi yang menghancurkan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar