Selasa, 23 September 2014

Lampu Masyarakat Terdidik

Lampu Masyarakat Terdidik

Mohammad Nuh ;   Direkam dan diedit dari sambutan lisan Mendikbud Mohammad Nuh dalam penganugerahan gelar doktor kehormatan Jakob Oetama bidang ilmu jurnalistik dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada 5 September 2014 di Jakarta
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SALAH satu syarat kebiasaan orang memberikan apresiasi adalah dia sendiri pernah berprestasi atau merasakan betapa berat untuk berprestasi.
Kalau budaya apresiatif-konstruktif ini bisa kita bangun, itu ibarat spiral yang outward, lari ke luar, sehingga tambah lama, tambah besar. Kalau masyarakat kita pelit, ia jadi spiral inward yang lari ke dalam, tadinya besar tambah lama tambah kempis.

Kami tak ingin bangsa ini terjebak pada tradisi budaya yang enggan memberi apresiasi. Kami dorong  sekecil apa pun prestasi itu, harus kami berikan pengakuan, apalagi prestasi dan dedikasi yang telah ditunjukkan Jakob Oetama luar biasa, bukan sekadar tahunan, tetapi sepanjang hayat, rekam jejaknya luar biasa  dalam jurnalisme.

Ke depan zaman tidak makin sederhana. Pasti kian rumit. Buku terakhir yang saya baca menunjukkan begitu, tentang the simple rule, terbitan tahun 2014, bahwa kompleksitas bisa sampai enam kali derajat kompleksitasnya, termasuk complicated-nya pun bisa sampai 35 kali dari yang sekarang. Artinya apa? Ke depan hampir bisa dipastikan persoalan tambah rumit. Bagaimana cara kita mengatasi kompleksitas dan kerumitan itu?

Kemampuan berpikir

Ada dua rumus sederhana apabila kita ingin memasuki wilayah sangat kompleks. Pertama, tingkatkan kemampuan berpikir. Untuk menghadapi persoalan kompleks, tidak bisa kemampuan berpikir kita berada pada the low thinking, melainkan harus kita naikkan menjadi the higher level thinking, naik lagi jadi the highest level thinking. Untuk itu, dengan segala macam kekurangan, termasuk segala macam persoalannya, kami menata kurikulum menjadi Kurikulum 2013. Kami ingin mempersiapkan anak-anak yang tadinya terbiasa dalam wilayah the low level thinking, kami dorong supaya dia bisa naik ke the higher level thinking dan the highest level thinking.

Untuk menghadapi persoalan rumit, tidak ada cara lain kecuali, yang pertama, kemampuan berpikir ditingkatkan. Tidak cukup hanya kemampuan berpikir itu yang kami tingkatkan. Ibaratnya, kalau kita masuk ke dalam ruang ini, sudah perkaranya rumit, lampunya mati, tambah tidak bisa kita kenali persoalannya. Padahal, meskipun persoalan ini rumit, kalau lampu di sini terang, ditambah dengan kemampuan berpikir kita menghadapi kerumitan itu bisa kita dapatkan, persoalan serumit apa pun bisa kita selesaikan. Siapakah lampunya itu? Tak lain adalah orang seperti Jakob Oetama.

Dalam bahasa lebih umum, lampu itu adalah guru. Guru dari ’gu’ dan ’ru’, jadi ’gu’ the darkness. ’Gu’ itu bahasa aslinya the darkness, the darkness of ignorance, itulah kegelapan yang diakibatkan ketidaktahuan atau bahasa ekstremnya barangkali kebodohan, tetapi saya tidak pernah menggunakan istilah kebodohan, melainkan ketidaktahuan.

’Ru’-nya the light, cahaya, dengan demikian kehadiran guru ibarat cahaya yang menerobos di sela-sela kegelapan. Kalau kedua faktor itu bertemu, kemampuan berpikir yang mampu mengurai kerumitan–keruwetan  itu ditambah dengan ada pencahayaan—pencerahan—maka serumit apa pun yang dihadapi bangsa ini, kita bisa selesaikan.

Guru yang kedua. Kalau yang pertama itu bersifat personal, guru yang kedua adalah media massa. Namanya media massa, berarti ada media dan ada massa. Antarmassa-antarmassa ini, massa apa saja dan siapa pun massa itu, berarti in between, di antara massa-massa itu, sehingga dikasih nama media massa. Kalau ruang antara massa-massa itu memerankan tiga fungsi sekaligus dan nanti ada tambahan satu fungsi, antarmassa akan bisa terangkai dengan baik dan akan membentuk satu bangunan kukuh.

Apa peran yang harus dimainkan media di antara massa-massa atau media massa? Pertama, media massa, media yang di antara massa-massa tadi itu harus punya peran untuk selalu how to educate the people atau berfungsi edukatif. Begitu orang baca koran, bukan sekadar informasi yang dia dapat, bukan, bukan sekadar data yang dia dapatkan, tetapi kita harapkan media massa itu bisa memerankan fungsi edukatifnya. Maka, setiap orang yang membaca satu media, dia akan mendapatkan data, mendapatkan informasi, mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang persoalan.

Tak boleh dilupakan, pada ujungnya dia akan mendapat wisdom dengan membaca koran atau membaca berita. Itulah hierarki keilmuan: data, informasi, understanding, dan wisdom, sehingga kalau media massa diperankan dalam fungsi tersebut, tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi di balik berita itu ada sesuatu yang ingin dipesankan tentang pentingnya fenomena yang muncul yang diberitakan, masyarakat kita akan jadi well educated (terdidik).

Masyarakat terdidik

Ciri masyarakat terdidik itu tidak dengan gelar-gelar, entah itu profesor, doktor, tetapi  dengan lebih fungsional: pertama, apakah orang itu kalau dihadapkan pada suatu persoalan, pola pikirnya seperti apa? Kalau pola pikirnya how to solve the problem, itu sudah memenuhi kriteria well educated. Namun, kalau pola pikirnya how to create the new problem, maka meskipun dia profesor, meskipun dia doktor, dia belum well educated.

Ada orang: apabila menemukan persoalan, dia bukan mencari solusi terhadap persoalan, tetapi persoalannya yang dipersoalkan. Karena dia tak bisa menyelesaikan, maka persoalannya dipersoalkan. Kami tak ingin itu sebab rumus atau kebutuhan persoalan itu adalah penyelesaian.

Ciri kedua. Orang atau masyarakat atau society yang well educated, kalau dia menyelesaikan persoalan, biaya menyelesaikan persoalannya rendah, baik society cost, political cost, maupun economical cost-nya. Kalau suatu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan ternyata biayanya mahal, entah itu biaya politik, biaya sosial, atau biaya ekonomi, berarti masyarakat itu belum well educated sebab masih ada cost effectiveness.

Ciri ketiga. Dalam menyelesaikan persoalan itu, the society yang well educated tidak mau nabrak aturan, moral, atau segala etika yang terkait dengan kesepakatan nilai-nilai kemuliaan. Meskipun dia bisa menyelesaikan persoalan dan biaya menyelesaikan persoalan itu pun rendah, dalam penyelesaian persoalan harus nabrak kiri-kanan, mulai dari aturan sampai etika, masyarakat itu pun belum termasuk kategori well educated. Sebaliknya masyarakat itu disebut terdidik kalau dalam menyelesaikan berbiaya murah, dengan tetap menjaga aturan dan etika.

Dan yang terakhir cirinya adalah kebisaan itu tepat pada waktunya. Ada orang yang biasa mengalami keterlambatan, itu ibarat dalam ujian. Taruhlah waktu ujian pukul 09.00-11.00, yang penting di dalam rentangan pukul sembilan sampai sebelas itu yang bersangkutan bisa mengerjakan soal. Namun, yang sering kita jumpai, setelah pukul 11.00 tetaplah jawaban yang tadi sudah dikerjakan dan dianggap selesai. Orang macam ini tidak termasuk well educated.

Jadi, well educated atau yang terdidik itu bisa mengerjakan pada saat ditetapkan jadi timely proper. Itulah peran pertama yang kita harapkan dari media. Mempunyai peran untuk edukasi. Ini  belum cukup. Peran yang kedua adalah bagaimana memberdayakan, how to empower seluruh potensi yang kita miliki, sehingga media tidak lagi sekadar how to strengthen pilar-pilar yang ada dalam masyarakat, tetapi juga ikut memberdayakan, ikut empowering. Ibarat seorang anak, kalau kakinya sudah kuat, dia lari pun bisa. Kalau kakinya tidak dibiasakan diberdayakan menendang bola, dia pun tak bisa menendang bola dengan kecepatan tertentu. Media punya peran memberdayakan.

Peran yang ketiga. Sering kali perkara kita rumit, maka media mohon tidak menambah kerumitan. Saya bukan politisi yang tidak paham tentang ilmu politik. Namun, setiap kali ada seseorang yang mengomentari kejadian politik, saya tertawa, karena kebetulan saya ada di situ, yang sedang dibahas perpolitikan seperti apa dan yang dibahas seperti apa, sama sekali tidak nyambung. Mengapa? Karena para analis di dalam menganalisis fenomena politik atau kejadian politik menggunakan akal pikirannya, dan tidak menggunakan akal pikiran tentang fenomena itu. Fenomena dipaksa diterjemahkan sesuai dengan alam pikirannya sendiri. Dia tidak menerjemahkan tentang kejadian sebenarnya sehingga kadang-kadang tidak nyambung.

Dari situlah, kerumitan bertambah rumit, padahal yang kita butuhkan adalah pencerahan. Itulah tiga fungsi media: fungsi edukasi, fungsi pemberdayaan, dan fungsi pencerahan—kita dedikasikan untuk membangun kenasionalan kita, bangsa kita, dan kita berharap ke depan teruslah cari orang-orang, guru-guru yang bisa ibaratnya menambah lampu-lampu, sehingga bangsa ini semakin terang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar