Lampu
Masyarakat Terdidik
Mohammad Nuh ; Direkam
dan diedit dari sambutan lisan Mendikbud Mohammad Nuh dalam penganugerahan
gelar doktor kehormatan Jakob Oetama bidang ilmu jurnalistik dari Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, pada 5 September 2014 di Jakarta
|
KOMPAS,
23 September 2014
SALAH satu syarat kebiasaan orang
memberikan apresiasi adalah dia sendiri pernah berprestasi atau merasakan
betapa berat untuk berprestasi.
Kalau budaya apresiatif-konstruktif ini
bisa kita bangun, itu ibarat spiral yang outward, lari ke luar, sehingga
tambah lama, tambah besar. Kalau masyarakat kita pelit, ia jadi spiral inward
yang lari ke dalam, tadinya besar tambah lama tambah kempis.
Kami tak ingin bangsa ini terjebak pada
tradisi budaya yang enggan memberi apresiasi. Kami dorong sekecil apa pun prestasi itu, harus kami
berikan pengakuan, apalagi prestasi dan dedikasi yang telah ditunjukkan Jakob
Oetama luar biasa, bukan sekadar tahunan, tetapi sepanjang hayat, rekam
jejaknya luar biasa dalam jurnalisme.
Ke depan zaman tidak makin sederhana. Pasti
kian rumit. Buku terakhir yang saya baca menunjukkan begitu, tentang the
simple rule, terbitan tahun 2014, bahwa kompleksitas bisa sampai enam kali
derajat kompleksitasnya, termasuk complicated-nya pun bisa sampai 35 kali
dari yang sekarang. Artinya apa? Ke depan hampir bisa dipastikan persoalan
tambah rumit. Bagaimana cara kita mengatasi kompleksitas dan kerumitan itu?
Kemampuan
berpikir
Ada dua rumus sederhana apabila kita ingin
memasuki wilayah sangat kompleks. Pertama, tingkatkan kemampuan berpikir.
Untuk menghadapi persoalan kompleks, tidak bisa kemampuan berpikir kita
berada pada the low thinking,
melainkan harus kita naikkan menjadi the
higher level thinking, naik lagi jadi the
highest level thinking. Untuk itu, dengan segala macam kekurangan,
termasuk segala macam persoalannya, kami menata kurikulum menjadi Kurikulum
2013. Kami ingin mempersiapkan anak-anak yang tadinya terbiasa dalam wilayah the low level thinking, kami dorong
supaya dia bisa naik ke the higher
level thinking dan the highest
level thinking.
Untuk menghadapi persoalan rumit, tidak ada
cara lain kecuali, yang pertama, kemampuan berpikir ditingkatkan. Tidak cukup
hanya kemampuan berpikir itu yang kami tingkatkan. Ibaratnya, kalau kita
masuk ke dalam ruang ini, sudah perkaranya rumit, lampunya mati, tambah tidak
bisa kita kenali persoalannya. Padahal, meskipun persoalan ini rumit, kalau
lampu di sini terang, ditambah dengan kemampuan berpikir kita menghadapi
kerumitan itu bisa kita dapatkan, persoalan serumit apa pun bisa kita
selesaikan. Siapakah lampunya itu? Tak lain adalah orang seperti Jakob
Oetama.
Dalam bahasa lebih umum, lampu itu adalah
guru. Guru dari ’gu’ dan ’ru’, jadi ’gu’ the
darkness. ’Gu’ itu bahasa aslinya the
darkness, the darkness of
ignorance, itulah kegelapan yang diakibatkan ketidaktahuan atau bahasa ekstremnya barangkali kebodohan, tetapi saya tidak pernah
menggunakan istilah kebodohan,
melainkan ketidaktahuan.
’Ru’-nya the light, cahaya, dengan demikian kehadiran guru ibarat cahaya
yang menerobos di sela-sela kegelapan. Kalau kedua faktor itu bertemu,
kemampuan berpikir yang mampu mengurai kerumitan–keruwetan itu ditambah dengan ada pencahayaan—pencerahan—maka
serumit apa pun yang dihadapi bangsa ini, kita bisa selesaikan.
Guru yang kedua. Kalau yang pertama itu
bersifat personal, guru yang kedua adalah media massa. Namanya media massa, berarti ada media dan ada massa. Antarmassa-antarmassa ini, massa apa saja dan siapa pun
massa itu, berarti in between, di
antara massa-massa itu, sehingga dikasih nama media massa. Kalau ruang antara massa-massa itu memerankan tiga
fungsi sekaligus dan nanti ada tambahan satu fungsi, antarmassa akan bisa
terangkai dengan baik dan akan membentuk satu bangunan kukuh.
Apa peran yang harus dimainkan media di
antara massa-massa atau media massa? Pertama, media massa, media yang di
antara massa-massa tadi itu harus punya peran untuk selalu how to educate the people atau
berfungsi edukatif. Begitu orang baca koran, bukan sekadar informasi yang dia
dapat, bukan, bukan sekadar data yang dia dapatkan, tetapi kita harapkan
media massa itu bisa memerankan fungsi edukatifnya. Maka, setiap orang yang
membaca satu media, dia akan mendapatkan data, mendapatkan informasi,
mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang persoalan.
Tak boleh dilupakan, pada ujungnya dia akan
mendapat wisdom dengan membaca
koran atau membaca berita. Itulah hierarki
keilmuan: data, informasi,
understanding, dan wisdom,
sehingga kalau media massa diperankan dalam fungsi tersebut, tidak sekadar
menyampaikan berita, tetapi di balik berita itu ada sesuatu yang ingin
dipesankan tentang pentingnya fenomena yang muncul yang diberitakan,
masyarakat kita akan jadi well educated
(terdidik).
Masyarakat
terdidik
Ciri masyarakat terdidik itu tidak dengan
gelar-gelar, entah itu profesor, doktor, tetapi dengan lebih fungsional: pertama, apakah
orang itu kalau dihadapkan pada suatu persoalan, pola pikirnya seperti apa?
Kalau pola pikirnya how to solve the
problem, itu sudah memenuhi kriteria well
educated. Namun, kalau pola pikirnya how
to create the new problem, maka meskipun dia profesor, meskipun dia
doktor, dia belum well educated.
Ada orang: apabila menemukan persoalan, dia
bukan mencari solusi terhadap persoalan, tetapi persoalannya yang
dipersoalkan. Karena dia tak bisa menyelesaikan, maka persoalannya
dipersoalkan. Kami tak ingin itu sebab rumus atau kebutuhan persoalan itu
adalah penyelesaian.
Ciri kedua. Orang atau masyarakat atau society yang well educated, kalau dia menyelesaikan persoalan, biaya
menyelesaikan persoalannya rendah, baik society
cost, political cost, maupun economical
cost-nya. Kalau suatu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan
ternyata biayanya mahal, entah itu biaya politik, biaya sosial, atau biaya
ekonomi, berarti masyarakat itu belum well
educated sebab masih ada cost
effectiveness.
Ciri ketiga. Dalam menyelesaikan persoalan
itu, the society yang well educated tidak mau nabrak aturan,
moral, atau segala etika yang terkait dengan kesepakatan nilai-nilai
kemuliaan. Meskipun dia bisa menyelesaikan persoalan dan biaya menyelesaikan
persoalan itu pun rendah, dalam penyelesaian persoalan harus nabrak
kiri-kanan, mulai dari aturan sampai etika, masyarakat itu pun belum termasuk
kategori well educated. Sebaliknya
masyarakat itu disebut terdidik kalau dalam menyelesaikan berbiaya murah,
dengan tetap menjaga aturan dan etika.
Dan yang terakhir cirinya adalah kebisaan
itu tepat pada waktunya. Ada orang yang biasa mengalami keterlambatan, itu
ibarat dalam ujian. Taruhlah waktu ujian pukul 09.00-11.00, yang penting di
dalam rentangan pukul sembilan sampai sebelas itu yang bersangkutan bisa
mengerjakan soal. Namun, yang sering kita jumpai, setelah pukul 11.00
tetaplah jawaban yang tadi sudah dikerjakan dan dianggap selesai. Orang macam
ini tidak termasuk well educated.
Jadi, well
educated atau yang terdidik itu bisa mengerjakan pada saat ditetapkan
jadi timely proper. Itulah peran pertama yang kita harapkan dari media.
Mempunyai peran untuk edukasi. Ini
belum cukup. Peran yang kedua adalah
bagaimana memberdayakan, how to empower
seluruh potensi yang kita miliki, sehingga media tidak lagi sekadar how to strengthen pilar-pilar yang ada
dalam masyarakat, tetapi juga ikut memberdayakan, ikut empowering. Ibarat seorang anak, kalau kakinya sudah kuat, dia
lari pun bisa. Kalau kakinya tidak dibiasakan diberdayakan menendang bola,
dia pun tak bisa menendang bola dengan kecepatan tertentu. Media punya peran
memberdayakan.
Peran yang ketiga. Sering
kali perkara kita rumit, maka media mohon tidak menambah kerumitan.
Saya bukan politisi yang tidak paham tentang ilmu politik. Namun, setiap kali
ada seseorang yang mengomentari kejadian politik, saya tertawa, karena
kebetulan saya ada di situ, yang sedang dibahas perpolitikan seperti apa dan
yang dibahas seperti apa, sama sekali tidak nyambung. Mengapa? Karena para
analis di dalam menganalisis fenomena politik atau kejadian politik
menggunakan akal pikirannya, dan tidak menggunakan akal pikiran tentang
fenomena itu. Fenomena dipaksa diterjemahkan sesuai dengan alam pikirannya
sendiri. Dia tidak menerjemahkan tentang kejadian sebenarnya sehingga
kadang-kadang tidak nyambung.
Dari situlah, kerumitan bertambah rumit,
padahal yang kita butuhkan adalah pencerahan. Itulah
tiga fungsi media: fungsi edukasi, fungsi pemberdayaan, dan fungsi pencerahan—kita
dedikasikan untuk membangun kenasionalan kita, bangsa kita, dan kita berharap
ke depan teruslah cari orang-orang, guru-guru yang bisa ibaratnya menambah
lampu-lampu, sehingga bangsa ini semakin terang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar