Kabinet
Nirpartai, Lagi
Hifdzil Alim ; Peneliti
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
|
KORAN
TEMPO, 22 September 2014
Setelah
ditunggu-tunggu, presiden terpilih Joko Widodo akhirnya mengumumkan rencana
kabinetnya (15 September 2014). Setidaknya ada 34 kementerian dan lembaga
yang disiapkan. Sebanyak 18 kursi menteri akan diisi kalangan profesional.
Sisanya, 16 kursi, berasal dari partai politik.
Pernyataan
Jokowi tersebut sungguh di luar dugaan. Pasalnya, sebelumnya diyakini bahwa
ia bakal merampingkan postur kementeriannya. Harapan untuk menggeser dominasi
partai politik dalam pengisian jabatan menteri masih jauh panggang dari api.
Kedudukan partai masih utama. Padahal santer diberitakan bahwa pemerintahan
2014-2019 akan mulai bersih dari unsur partai politik.
Sebulan yang
lalu (13 Agustus 2014) saya menulis di koran ini perihal kabinet nirpartai,
sebuah kabinet yang mengeliminasi pengaruh dan kepentingan partai politik.
Nyatanya, memang sulit mendudukkan partai jauh dari kekuasaan eksekutif.
Sebab, keberadaan pengaruh partai secara tidak langsung dijamin oleh
konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 adalah landasan hukum bagi partai
untuk ikut serta dalam urusan pasang-bongkar kandidat menteri.
Lagi pula,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Kementerian Negara tidak secara
tegas melarang calon menteri dari unsur partai politik. Artinya, partai
politik sah-sah saja mengajukan orang yang dianggap sebagai bagian dari
partai menjadi bakal calon menteri dalam kabinet Jokowi.
Meski
demikian, membiarkan begitu saja anasir partai masuk dalam kekuasaan
eksekutif adalah hal yang berbahaya. Lagi-lagi, salah satu sumber masalahnya
berasal dari peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 2 Tahun 2008 juncto
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam Pasal 34 ayat (1)
disebutkan, "Keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota…"
Klausul pasal inilah yang menjadi titik api pemicu penolakan calon menteri
dari partai politik.
Asumsinya,
apabila calon menteri merupakan simpatisan, kader, anggota, apalagi pengurus
teras partai politik, ia tetap harus membayar iuran kepada partai. Iuran itu
bisa berbentuk langsung ataupun tidak langsung. Dari sinilah petaka lahir.
Iuran yang bentuknya tidak langsung kemungkinan besar diserupakan dengan
pengerjaan program dan proyek di kementerian masing-masing. Uang akan
mengalir dari anggaran kementerian ke kantong partai politik. Akibatnya,
orientasi yang dituju adalah penyejahteraan partai, bukan rakyat.
Ketika partai
sudah mencengkeramkan tentakelnya, akan susah bagi menteri atau kementerian
itu sendiri untuk melepaskan diri. Sudah ada tiga contoh menteri dalam
Kabinet Indonesia Bersatu periode 2009-2014 yang digelandang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dan kebetulan semuanya berasal dari unsur partai
politik.
Bagaimanapun,
pilihan membentuk kabinet nirpartai seharusnya tak lagi menjadi kewajiban,
melainkan sebuah kebutuhan. Apa lacur, Jokowi-JK sudah mengumumkan ada 16
kursi menteri yang nantinya diperuntukkan bagi partai politik. Meski
demikian, tanpa bermaksud melawan Undang-Undang tentang Kementerian Negara
untuk menghindarkan petinggi atau anggota partai berdiri dalam kabinet, pemimpin
pilihan rakyat itu harus membuat prosedur dan filter yang ketat bagi setiap
bakal calon menteri.
Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM dalam laporan risetnya mengenai kecenderungan korupsi (Trend of Corruption Report) semester
pertama tahun 2014 mendorong agar Presiden memberikan, setidaknya, tiga
syarat bagi setiap bakal calon menteri-khususnya yang berasal dari partai
politik. Ini adalah kebijakan jalan tengah.
Pertama,
syarat integritas. Ukurannya syarat ini jelas. Siapa saja yang tersangkut
kejahatan dengan ancaman lima tahun atau lebih tidak dapat maju sebagai bakal
calon menteri. Hal demikian juga berlaku bagi mereka yang
disangkutpautkan-meski belum secara hukum dibuktikan-dengan setiap kejahatan,
misalnya korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotik, kejahatan hak asasi
manusia, dan kejahatan perdagangan manusia.
Kedua, syarat
akseptabilitas. Bakal calon menteri harus diterima oleh publik. Setelah
pembukaan bakal calon menteri, Presiden harus membuka polling penilaian
rakyat terhadap semua bakal calon. Mereka yang pernah dipidana, disangka
melakukan tindakan asusila, ditengarai terlibat pelanggaran hak asasi
manusia, yang menyebabkan khalayak umum menolaknya, harus pula dieliminasi
oleh Presiden.
Ketiga, syarat
kapabilitas. Kemampuan memimpin lembaga atau kementerian bisa dilacak dari
catatan pengalaman setiap bakal calon menteri. Presiden harus berani menolak
mereka yang didorong kuat oleh partai tapi tak cakap dan tak memiliki jiwa
kepemimpinan (leadership), apalagi
tak menguasai bidang kementerian. Sebab, para menteri akan bekerja bersama
Presiden, bukan bersama elite partai.
Syarat
integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas adalah bentuk negosiasi paling
sederhana untuk memfasilitasi interest partai dan tuntutan rakyat. Terakhir,
komitmen presiden-di samping janjinya kepada rakyat-sejatinya menjadi tapal
batas antara usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memenuhi kepuasan
partai politik atas dahaga kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar