Angkringan
Heri Priyatmoko ; Pengamat
Sejarah Solo
|
KORAN
TEMPO, 23 September 2014
Kalau perut
warga Jakarta diselamatkan oleh kehadiran warung tegal, perut masyarakat
Yogyakarta dan Solo dibuat aman berkat adanya angkringan atau hik. Di warung
jenis inilah penghuni Kota Gudeg dan Kota Bengawan bisa makan secukupnya
dengan merogoh kocek kurang dari sepuluh ribu rupiah.
Menurut
riwayatnya, penyebutan "angkringan" bermula dari kata
"nangkring", yaitu pantat duduk di kursi panjang di depan gerobak,
tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki berayun sembari nglaras
(santai). Sedangkan istilah "hik" berasal dari suara penjajanya
yang menawarkan dagangan sewaktu berkeliling. Dulu, sebelum beralih memakai
gerobak dan mangkal di pinggir jalan, hik dibawa oleh penjualnya dengan cara
dipikul dan keluar-masuk kampung menyapa pembeli.
Angkringan,
seperti halnya warteg bagi orang Jakarta, adalah elemen kota yang tidak boleh
dipandang sebelah mata. Di tengah ramainya restoran dan rumah makan
internasional, semacam KFC, McDonald, dan Pizza Hut, angkringan dengan segala
jenis jajanannya yang sederhana tetap mampu berkontribusi terhadap
perkembangan kota. Angkringan berhasil menggeliatkan perekonomian di level
bawah. Malahan, ia menjadi juru selamat warga yang berkantong cekak. Dengan
kocek terbatas, kita dapat menikmati sego kucing yang menjadi ciri khas
angkringan. Hidangan tersebut mirip dengan nasi yang disorongkan untuk
kucing, baik segi kuantitas maupun kualitasnya. Nasinya hanya sekepal,
berlauk ikan bandeng disertai sambal secuil (sak ndulit).
Kenyataan yang
menggembirakan, belakangan ini, hik makin merebak laksana rumput kala musim
hujan. Ditinjau dari perspektif ekonomi, angkringan bagus untuk dijadikan
solusi pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, menimbang usaha tersebut tidak
memerlukan ijazah, skill berlebihan, dan modal uang sekarung.
Bagi kalangan
wong cilik, angkringan merupakan peluang kerja baru yang cukup menggiurkan.
Bahkan kini banyak pengusaha yang mengembangkan bisnis angkringan yang
dikemas menjadi kafe di dalam rumah. Konsumennya ialah kelas menengah ke
atas, dan tentunya dengan harga yang berbeda dengan angkringan yang asli.
Di angkringan,
kita menemukan kebebasan. Dari tukang becak, kuli bangunan, sopir truk,
mahasiswa, sampai juragan memakan camilan kacang goreng, klepon, jadah, dan
menyeruput wedang teh yang ginastel (manis-panas-kental). Tiada yang bakal
menegur meski mereka mengenakan sarung, sandal jepit, dan celana kolor.
Beda dengan di
mal atau restoran. Orang berpakaian seperti itu pasti "dihadiahi"
tatapan aneh oleh pengunjung lainnya. Mereka yang nangkring di angkringan
juga tak perlu risih meski baru bangun dari tidur dan rambut tanpa disisir.
Bersantap di hik tak memerlukan
formalitas, atribut, atau aturan yang macam-macam sebagaimana di mal.
Bukan hanya
itu, suasana yang ditawarkan hik acap bikin pengunjung betah. Kendati wedang
mereka sudah dingin, hati masih terasa hangat untuk ngobrol ngalor-ngidul, dari urusan politik
sampai problem rumah tangga. Demikianlah, angkringan berfungsi sebagai ruang
publik bagi masyarakat kota lintas kelas. Juga menjadi identitas kota.
Melalui angkringan, wong cilik bergerak menjadi aktor sejarah dan dinamo
penggerak ekonomi di tingkat lokal. Dan pantaslah mereka diabadikan dalam
album sejarah kota! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar