Demokrasi
versi Media
Danang Sangga Buwana ;
Komisioner
KPI Pusat
|
KORAN SINDO, 19 September 2014
Menarik menyimak kembali pernyataan
Presiden SBY saat membuka Rapat Pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di
Istana Negara beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa kebebasan dapat berpotensi korup sebagaimana kekuasaan
yang cenderung korup.
Menganalogikan dalil kekuasaan Lord Acton,
SBY mengatakan, “Liberty also can corrupt. Absolute liberty corrupt absolutely.”
Pernyataan ini setidaknya merefleksi dinamika politik pada pesta demokrasi
2014 di panggung media. Pesta demokrasi lima tahunan bangsa ini memang telah
usai. Laju sistem demokrasi kita di satu sisi memang layak mendapatkan
apresiasi mengingat pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden
(pilpres) telah landing pada
landasannya.
Recovery politik pun niscaya segera
dilakukan. Rakyat pendukung, elite politisi, maupun para kontestan calon
pemimpin bangsa sudah harus melakukan rekonsiliasi nasional. Inilah saatnya
merajut kembali temali kebangsaan yang sebelumnya tampak merenggang. Namun,
di sisi lain, masih banyak elemen demokrasi yang butuh dievaluasi, terutama
evaluasi atas peran media. Kita tentu masih ingat, betapa masyarakat
Indonesia sempat sedemikian dibingungkan oleh keriuhan media dalam
pemberitaan televisi terhadap calon presiden dan wakil hingga klimaks pada
upaya saling klaim kebenaran hitung cepat (quick count).
Fakta politisasi media (televisi) musti
dibaca sebagai catatan merah dinamika penyiaran nasional meski secara faktual
tidak ada media yang sepenuhnya netral. Namun, seharusnya mainstreaming
keberpihakan pada politik dan kekuasaan tak lantas menciderai pula prinsip
keberimbangan (cover both sides)
dan prinsip kejernihan informasi. Jika prinsip-prinsip ini dilanggar, media
(televisi dan pers) telah mengingkari eksistensinya sebagai pilar demokrasi.
Framing
Media
Meminjam Eriyanto (2007), framing media
merupakan cara penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian
tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan
memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu melalui bantuan foto, karikatur,
dan alat ilustrasi lain. Maknanya, ketika media melakukan framing politik,
sejatinya media tersebut sedang melakukan konstruksi realitas yang berujung
pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kebenaran politik. Itu
dilakukan melalui pilihan bahasa, pembingkaian peristiwa, dan penyediaan
ruang dan waktu untuk satu berita politik tertentu. Bahasa dalam framing
tidak semata mata dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar media.
Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Karena itu, evaluasi atas peran media di
tengah dinamika politik meniscayakan dampak psikologis berupa pengikisan
kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi media. Secara teknis dalam
sebuah framing media selalu ada pihak yang diafirmasi (ditonjolkan) dan ada
pihak yang dinegasi (disingkirkan). Bagi pihak yang diafirmasi, akan
dimunculkan kesan empatik, asosiasi, serangkaian keunggulan, dan kebaikan.
Sebaliknya, pihak yang dinegasi akan
dimunculkan kesan stigmatis. Karena media merupakan ruang besar (big hall) bagi publik untuk memperoleh
informasi mengenai realitas politik dan sosial, bingkai realitas tertentu
yang diproduksi media berpengaruh pada cara pemirsa menafsirkan sebuah
peristiwa. Pada tahap ini pemirsa bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya,
mereka individu aktif dalam menafsirkan suatu sajian media. Justru itulah
muncul dampak beragam dari framing media ini.
Kebingungan
Massal
Media terutama televisi telah menjadi
referensi sosial. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan
memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur oleh jadwal program. Dalam
pengertian ini, sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai suatu
bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini bukan lagi televisi yang
menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya, masyarakatlah yang menjadi
cermin televisi (Piliang, 1998: 237).
Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal
bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi.
Dengan begitu, televisi telah membentuk
satu dunia tersendiri yakni sebuah dunia buatan yang justru lebih nyata dan
lebih riil dibanding realitas yang sebenarnya. Televisi kini ini tak ubahnya seperti
Dewa Janus yang berwajah ganda. Di satu sisi ia menampakkan wajah negatif
sebagai “tabung kebodohan” yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajah
yang lain ia disebut secara positif sebagai panduan baru, “jendela melihat
dunia”. (Mehdi Aghinta Hidayat, 2000:31).
Karena itu, semua elemen bangsa harus segera menyadari secara kritis agar
senantiasa mengambil jarak (kritis) terhadap setiap informasi framing
televisi.
Bagaimanapun keberpihakan media atas
politik kekuasaan telah mendekonstruksi idealisme misi media sebagai jendela
informasi sekaligus memosisikan kognisi masyarakat pada kebingungan massal.
Skeptisisme psikologis yang ditanamkan media sejatinya telah pula menumbuhkan
skeptisisme massal terhadap eksistensi demokrasi dan politik, mengingat media
telah melegitimasi diri sebagai corong demokrasi. Akibatnya, dapat menurunkan
tingkat partisipasi politik rakyat pada masa mendatang seiring menebalnya
apatisme terhadap dinamika politik. Di titik ini, media harus segera
melakukan evaluasi dan otokritik dalam upaya menjernihkan kembali informasi
yang diproduksi untuk publik.
Ini dilakukan semata-mata untuk menyehatkan
kognisi sosial dari limbah informasi yang simpang siur. Karena jika media
tidak sehat, akan terjadi wabah penyakit yang menyerang akal budi dan
psikologis secara massal. Demokrasi yang sehat memang tercermin dari dunia
media yang sehat. Tetapi, demokrasi bukanlah milik media. Demokrasi itu milik
rakyat (people centered democracy).
Jika demokrasi telah diambil alih oleh media (media centered democracy), dikhawatirkan pernyataan SBY di atas
akan menjadi kenyataan. Karena itu, media boleh
bebas, namun harus bertanggung jawab, jernih, objektif, dan berorientasi pada
upaya edukasi masyarakat. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar