Sabtu, 20 September 2014

Demokrasi versi Media

Demokrasi versi Media

Danang Sangga Buwana  ;   Komisioner KPI Pusat
KORAN SINDO, 19 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Menarik menyimak kembali pernyataan Presiden SBY saat membuka Rapat Pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Istana Negara beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa kebebasan dapat berpotensi korup sebagaimana kekuasaan yang cenderung korup.

Menganalogikan dalil kekuasaan Lord Acton, SBY mengatakan, “Liberty also can corrupt. Absolute liberty corrupt absolutely.” Pernyataan ini setidaknya merefleksi dinamika politik pada pesta demokrasi 2014 di panggung media. Pesta demokrasi lima tahunan bangsa ini memang telah usai. Laju sistem demokrasi kita di satu sisi memang layak mendapatkan apresiasi mengingat pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) telah landing pada landasannya.

Recovery politik pun niscaya segera dilakukan. Rakyat pendukung, elite politisi, maupun para kontestan calon pemimpin bangsa sudah harus melakukan rekonsiliasi nasional. Inilah saatnya merajut kembali temali kebangsaan yang sebelumnya tampak merenggang. Namun, di sisi lain, masih banyak elemen demokrasi yang butuh dievaluasi, terutama evaluasi atas peran media. Kita tentu masih ingat, betapa masyarakat Indonesia sempat sedemikian dibingungkan oleh keriuhan media dalam pemberitaan televisi terhadap calon presiden dan wakil hingga klimaks pada upaya saling klaim kebenaran hitung cepat (quick count).

Fakta politisasi media (televisi) musti dibaca sebagai catatan merah dinamika penyiaran nasional meski secara faktual tidak ada media yang sepenuhnya netral. Namun, seharusnya mainstreaming keberpihakan pada politik dan kekuasaan tak lantas menciderai pula prinsip keberimbangan (cover both sides) dan prinsip kejernihan informasi. Jika prinsip-prinsip ini dilanggar, media (televisi dan pers) telah mengingkari eksistensinya sebagai pilar demokrasi.

Framing Media

Meminjam Eriyanto (2007), framing media merupakan cara penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu melalui bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lain. Maknanya, ketika media melakukan framing politik, sejatinya media tersebut sedang melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kebenaran politik. Itu dilakukan melalui pilihan bahasa, pembingkaian peristiwa, dan penyediaan ruang dan waktu untuk satu berita politik tertentu. Bahasa dalam framing tidak semata mata dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar media.

Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karena itu, evaluasi atas peran media di tengah dinamika politik meniscayakan dampak psikologis berupa pengikisan kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi media. Secara teknis dalam sebuah framing media selalu ada pihak yang diafirmasi (ditonjolkan) dan ada pihak yang dinegasi (disingkirkan). Bagi pihak yang diafirmasi, akan dimunculkan kesan empatik, asosiasi, serangkaian keunggulan, dan kebaikan.

Sebaliknya, pihak yang dinegasi akan dimunculkan kesan stigmatis. Karena media merupakan ruang besar (big hall) bagi publik untuk memperoleh informasi mengenai realitas politik dan sosial, bingkai realitas tertentu yang diproduksi media berpengaruh pada cara pemirsa menafsirkan sebuah peristiwa. Pada tahap ini pemirsa bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya, mereka individu aktif dalam menafsirkan suatu sajian media. Justru itulah muncul dampak beragam dari framing media ini.

Kebingungan Massal

Media terutama televisi telah menjadi referensi sosial. Televisi memiliki satu kekuasaan untuk mengontrol dan memastikan bahwa massa penontonnya dapat diatur oleh jadwal program. Dalam pengertian ini, sifat totalitas televisi telah menjadikannya sebagai suatu bentuk kekuasaan baru dalam suatu komunitas. Kini bukan lagi televisi yang menjadi cermin masyarakat, melainkan sebaliknya, masyarakatlah yang menjadi cermin televisi (Piliang, 1998: 237). Citra-citra yang ditawarkan televisi telah membentuk ketidaksadaran massal bahwa telah terjadi pembentukan identitas diri melalui televisi.

Dengan begitu, televisi telah membentuk satu dunia tersendiri yakni sebuah dunia buatan yang justru lebih nyata dan lebih riil dibanding realitas yang sebenarnya. Televisi kini ini tak ubahnya seperti Dewa Janus yang berwajah ganda. Di satu sisi ia menampakkan wajah negatif sebagai “tabung kebodohan” yang menawarkan mimpi. Sementara pada sisi wajah yang lain ia disebut secara positif sebagai panduan baru, “jendela melihat dunia”. (Mehdi Aghinta Hidayat, 2000:31). Karena itu, semua elemen bangsa harus segera menyadari secara kritis agar senantiasa mengambil jarak (kritis) terhadap setiap informasi framing televisi.

Bagaimanapun keberpihakan media atas politik kekuasaan telah mendekonstruksi idealisme misi media sebagai jendela informasi sekaligus memosisikan kognisi masyarakat pada kebingungan massal. Skeptisisme psikologis yang ditanamkan media sejatinya telah pula menumbuhkan skeptisisme massal terhadap eksistensi demokrasi dan politik, mengingat media telah melegitimasi diri sebagai corong demokrasi. Akibatnya, dapat menurunkan tingkat partisipasi politik rakyat pada masa mendatang seiring menebalnya apatisme terhadap dinamika politik. Di titik ini, media harus segera melakukan evaluasi dan otokritik dalam upaya menjernihkan kembali informasi yang diproduksi untuk publik.

Ini dilakukan semata-mata untuk menyehatkan kognisi sosial dari limbah informasi yang simpang siur. Karena jika media tidak sehat, akan terjadi wabah penyakit yang menyerang akal budi dan psikologis secara massal. Demokrasi yang sehat memang tercermin dari dunia media yang sehat. Tetapi, demokrasi bukanlah milik media. Demokrasi itu milik rakyat (people centered democracy). Jika demokrasi telah diambil alih oleh media (media centered democracy), dikhawatirkan pernyataan SBY di atas akan menjadi kenyataan. Karena itu, media boleh bebas, namun harus bertanggung jawab, jernih, objektif, dan berorientasi pada upaya edukasi masyarakat. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar