Keadilan
Itu di Dalam Hati
|
ARTIDJO Alkostar, Ketua Kamar Pidana
Mahkamah Agung, menjadi sosok hakim agung yang dipuji sekaligus dibenci. Ia
dipuji karena putusannya membangkitkan asa publik akan keadilan yang terkoyak
oleh perilaku koruptor. Namun, ia dibenci oleh koruptor yang dihukumnya lebih
berat. Tak sedikit terdakwa korupsi gentar ketika tahu perkaranya ditangani
lelaki asal Madura, Jawa Timur, ini. Beberapa terdakwa buru-buru mencabut
kasasinya. Bahkan, ada terdakwa yang meminta berkas kasasinya tak diregister
terlebih dahulu, menunggu Artidjo pensiun.
Palu di tangan Artidjo menjadi hal yang
ditakuti. Tak sedikit yang merasakan beratnya putusan Artidjo. Sebut saja
politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, yang harus dipenjara 12 tahun
setelah hukumannya ditambah dari 4 tahun 6 bulan. Begitu juga bekas pegawai
Kantor Pajak Sidoarjo, Tommy Hindratno, yang hukumannya diperberat dari 3
tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Pekan ini, Artidjo memperberat hukuman mantan
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi
18 tahun penjara dan mencabut hak politiknya.
Kamis (18/9) lalu, Artidjo menerima Kompas
di ruang kerjanya untuk berbincang lebih kurang dua jam terkait apa yang
membuat Artidjo demikian ”kejam” terhadap pelaku korupsi. Berikut petikan
wawancaranya.
Apa
yang mendasari putusan-putusan berat kepada koruptor? Ada ”dendam” pribadi
pada korupsi?
Tidak. Saya tidak punya latar belakang
pribadi. Biasa saja. Tetapi, saya kira background saya (sebelum menjadi hakim
agung) menjadi pengalaman batin yang memengaruhi. Sebelum menjadi hakim
agung, saya advokat.
Saya banyak mengabdi di LBH (lembaga
bantuan hukum). Banyak perkara yang saya tangani, mulai dari kasus penembakan
misterius, Timor Timur, petani garam di Madura, subversi di Madura, hingga
kejahatan penyelewengan pemilu, juga di Madura. Tentu saya terpengaruh dengan
perkara-perkara itu, pembelaan terhadap orang kecil itu. Posisi masyarakat
begitu lemah untuk mencapai keadilan, access
to justice. Lemah secara ekonomi, juga secara politik.
Menurut saya, korupsi berbeda dengan
kejahatan lain. Ia kejahatan luar biasa, berdampak pada masa depan negara dan
rakyat Indonesia. Dampaknya begitu terasa. Indonesia kaya raya secara
natural, tetapi rakyatnya banyak yang miskin. Ada pengemis di jalanan. Ini
ironi. Kalau demokrasi ini jalan, seharusnya demokrasi ekonomi juga jalan.
Ternyata di tengah jalan ini ada tikus yang menggerogoti. Itu yang dikenal
dengan korupsi menimbulkan kemiskinan struktural. Karena sistemnya yang
korup, petani meski dia kerja 24 jam tak akan pernah kaya. Ada saja
mafia-mafia. Mafia pupuk, mafia apa saja. Daging sapi juga diimpor.
Apa
dasar Anda memutus perkara? Mengapa Luthfi yang ”hanya” menerima Rp 1,3
miliar—bahkan pengacaranya bilang belum terima—dihukum 18 tahun penjara.
Labora Sitorus yang di rekeningnya didapati Rp 1,5 triliun divonis 15 tahun.
Di mana keadilannya?
Sering yang dipakai masyarakat (untuk
menilai) itu kebenaran. Kebenaran itu di dalam pikiran. Tetapi, keadilan itu
di dalam hati. Dalam zikir. Berapa hukuman yang pas, apakah 5 tahun atau 5
tahun 6 bulan, itu di dalam hati. Banyak faktor yang dipertimbangkan.
Pertama, sifat kejahatannya. Kedua, dampaknya. Baru kesimpulan, ooo... pasnya
5 tahun, misalnya. Itu di dalam hati. Dan, itu tidak bisa diukur, lalu
diperbandingkan. Karena tidak ada perkara yang sama persis, yang kembar.
Pernah
menangani perkara yang begitu kuat berpengaruh?
Tidak. Semua biasa saja. Tetapi, dahulu
waktu masih awal-awal hakim agung, tahun 2001, saya dikasih perkara Pak Harto
(mantan Presiden Soeharto). Saya terkejut. Saya ini baru masuk, kok, dikasih perkara
Pak Harto. Tetapi, dulu waktu di LBH, saya memang sering dianggap sebagai
oposan legal. Perkara Pak Harto itu diadili di kamar situ (sambil menunjuk
salah satu kamar di ruang kerjanya). Ketua majelisnya, Pak Syafiuddin
Kartasasmita, ditembak. Saya ingat waktu itu perdebatannya panjang.
Jadi, kalau saya pernah mengadili perkara
Pak Harto, sekarang menangani perkara lain-lain, rasanya itu ringanlah. Mau
perkara yang melibatkan menteri, mau melibatkan siapa, apalagi presiden
partai, kecillah.
Advokat
kaum pinggiran
Sejak mahasiswa, Artidjo biasa
berseberangan dengan kekuasaan. Ia membela kasus tebu rakyat di Sumenep,
Madura. Sembari pulang kampung, ia mengadvokasi petani yang diwajibkan
menanam tebu oleh pemerintah kala itu. Padahal, petani keberatan karena terus
merugi. Ia pun berhadapan dengan penguasa setempat dan jaksa yang mewakili
pemerintah.
Menjadi advokat yang membela kaum pinggiran
juga membuat Artidjo kenyang ancaman atau teror. Saat menangani kasus Santa
Cruz di Dili, Artidjo dikirimi ninja untuk menghabisi nyawanya. Namun, itu
tak membuatnya surut. ”Senjata saya hanya kebenaran moral. Kalau saya benar
secara moral, ya, kita jalan lurus saja. Allah pasti melindungi,” ungkap
Artidjo.
Anda
susah ditembus. Tapi, pernah ada usaha-usaha itu?
Tidak ada. Kamar ini steril. Tidak ada
orang berperkara masuk ke sini. Maka itu, yang sering saya sebut, katanya
banyak yang mau menyuap, kok, ke saya nggak ada. Tetapi, memang semua sudah
saya sterilkan. Keluarga juga sudah. Saya bilang ke mereka, jangan macam-macam.
’Yang menjadi saudara Anda itu Artidjo, bukan hakim agungnya’. Begitu pun
ketika ada teman-teman lama yang menelepon, minta tolong. Saya bilang saja,
’Saya jamin Anda besok ditangkap KPK. Karena telepon saya disadap KPK’. Orang
itu lalu bilang, ’Enggak, Pak. Enggak, Pak’. Lalu ngomong yang lain. Telepon
saya ini, ya, memang harus disadap, dong. Masa tidak disadap KPK.
Dahulu memang pernah ada seorang pengusaha
datang, mau kasih uang. Saya bilang, ’Anda ini kurang ajar sekali’. Saya
suruh keluar. Lalu saya tempel di luar ruang kerja saya tulisan tidak
menerima tamu yang berurusan dengan perkara. Tapi, itu dulu. Sekarang tidak
segampang itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar