Sabtu, 20 September 2014

Keadilan Itu di Dalam Hati

Keadilan Itu di Dalam Hati

( Wawancara )
Artidjo Alkostar  ;   Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung
KOMPAS, 20 September 2014


                                                                                                                       
                                                      

ARTIDJO Alkostar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, menjadi sosok hakim agung yang dipuji sekaligus dibenci. Ia dipuji karena putusannya membangkitkan asa publik akan keadilan yang terkoyak oleh perilaku koruptor. Namun, ia dibenci oleh koruptor yang dihukumnya lebih berat. Tak sedikit terdakwa korupsi gentar ketika tahu perkaranya ditangani lelaki asal Madura, Jawa Timur, ini. Beberapa terdakwa buru-buru mencabut kasasinya. Bahkan, ada terdakwa yang meminta berkas kasasinya tak diregister terlebih dahulu, menunggu Artidjo pensiun.

Palu di tangan Artidjo menjadi hal yang ditakuti. Tak sedikit yang merasakan beratnya putusan Artidjo. Sebut saja politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, yang harus dipenjara 12 tahun setelah hukumannya ditambah dari 4 tahun 6 bulan. Begitu juga bekas pegawai Kantor Pajak Sidoarjo, Tommy Hindratno, yang hukumannya diperberat dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun. Pekan ini, Artidjo memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara dan mencabut hak politiknya.

Kamis (18/9) lalu, Artidjo menerima Kompas di ruang kerjanya untuk berbincang lebih kurang dua jam terkait apa yang membuat Artidjo demikian ”kejam” terhadap pelaku korupsi. Berikut petikan wawancaranya.

Apa yang mendasari putusan-putusan berat kepada koruptor? Ada ”dendam” pribadi pada korupsi?

Tidak. Saya tidak punya latar belakang pribadi. Biasa saja. Tetapi, saya kira background saya (sebelum menjadi hakim agung) menjadi pengalaman batin yang memengaruhi. Sebelum menjadi hakim agung, saya advokat.

Saya banyak mengabdi di LBH (lembaga bantuan hukum). Banyak perkara yang saya tangani, mulai dari kasus penembakan misterius, Timor Timur, petani garam di Madura, subversi di Madura, hingga kejahatan penyelewengan pemilu, juga di Madura. Tentu saya terpengaruh dengan perkara-perkara itu, pembelaan terhadap orang kecil itu. Posisi masyarakat begitu lemah untuk mencapai keadilan, access to justice. Lemah secara ekonomi, juga secara politik.

Menurut saya, korupsi berbeda dengan kejahatan lain. Ia kejahatan luar biasa, berdampak pada masa depan negara dan rakyat Indonesia. Dampaknya begitu terasa. Indonesia kaya raya secara natural, tetapi rakyatnya banyak yang miskin. Ada pengemis di jalanan. Ini ironi. Kalau demokrasi ini jalan, seharusnya demokrasi ekonomi juga jalan. Ternyata di tengah jalan ini ada tikus yang menggerogoti. Itu yang dikenal dengan korupsi menimbulkan kemiskinan struktural. Karena sistemnya yang korup, petani meski dia kerja 24 jam tak akan pernah kaya. Ada saja mafia-mafia. Mafia pupuk, mafia apa saja. Daging sapi juga diimpor.

Apa dasar Anda memutus perkara? Mengapa Luthfi yang ”hanya” menerima Rp 1,3 miliar—bahkan pengacaranya bilang belum terima—dihukum 18 tahun penjara. Labora Sitorus yang di rekeningnya didapati Rp 1,5 triliun divonis 15 tahun. Di mana keadilannya?

Sering yang dipakai masyarakat (untuk menilai) itu kebenaran. Kebenaran itu di dalam pikiran. Tetapi, keadilan itu di dalam hati. Dalam zikir. Berapa hukuman yang pas, apakah 5 tahun atau 5 tahun 6 bulan, itu di dalam hati. Banyak faktor yang dipertimbangkan. Pertama, sifat kejahatannya. Kedua, dampaknya. Baru kesimpulan, ooo... pasnya 5 tahun, misalnya. Itu di dalam hati. Dan, itu tidak bisa diukur, lalu diperbandingkan. Karena tidak ada perkara yang sama persis, yang kembar.

Pernah menangani perkara yang begitu kuat berpengaruh?

Tidak. Semua biasa saja. Tetapi, dahulu waktu masih awal-awal hakim agung, tahun 2001, saya dikasih perkara Pak Harto (mantan Presiden Soeharto). Saya terkejut. Saya ini baru masuk, kok, dikasih perkara Pak Harto. Tetapi, dulu waktu di LBH, saya memang sering dianggap sebagai oposan legal. Perkara Pak Harto itu diadili di kamar situ (sambil menunjuk salah satu kamar di ruang kerjanya). Ketua majelisnya, Pak Syafiuddin Kartasasmita, ditembak. Saya ingat waktu itu perdebatannya panjang.

Jadi, kalau saya pernah mengadili perkara Pak Harto, sekarang menangani perkara lain-lain, rasanya itu ringanlah. Mau perkara yang melibatkan menteri, mau melibatkan siapa, apalagi presiden partai, kecillah.

Advokat kaum pinggiran

Sejak mahasiswa, Artidjo biasa berseberangan dengan kekuasaan. Ia membela kasus tebu rakyat di Sumenep, Madura. Sembari pulang kampung, ia mengadvokasi petani yang diwajibkan menanam tebu oleh pemerintah kala itu. Padahal, petani keberatan karena terus merugi. Ia pun berhadapan dengan penguasa setempat dan jaksa yang mewakili pemerintah.

Menjadi advokat yang membela kaum pinggiran juga membuat Artidjo kenyang ancaman atau teror. Saat menangani kasus Santa Cruz di Dili, Artidjo dikirimi ninja untuk menghabisi nyawanya. Namun, itu tak membuatnya surut. ”Senjata saya hanya kebenaran moral. Kalau saya benar secara moral, ya, kita jalan lurus saja. Allah pasti melindungi,” ungkap Artidjo.

Anda susah ditembus. Tapi, pernah ada usaha-usaha itu?

Tidak ada. Kamar ini steril. Tidak ada orang berperkara masuk ke sini. Maka itu, yang sering saya sebut, katanya banyak yang mau menyuap, kok, ke saya nggak ada. Tetapi, memang semua sudah saya sterilkan. Keluarga juga sudah. Saya bilang ke mereka, jangan macam-macam. ’Yang menjadi saudara Anda itu Artidjo, bukan hakim agungnya’. Begitu pun ketika ada teman-teman lama yang menelepon, minta tolong. Saya bilang saja, ’Saya jamin Anda besok ditangkap KPK. Karena telepon saya disadap KPK’. Orang itu lalu bilang, ’Enggak, Pak. Enggak, Pak’. Lalu ngomong yang lain. Telepon saya ini, ya, memang harus disadap, dong. Masa tidak disadap KPK.

Dahulu memang pernah ada seorang pengusaha datang, mau kasih uang. Saya bilang, ’Anda ini kurang ajar sekali’. Saya suruh keluar. Lalu saya tempel di luar ruang kerja saya tulisan tidak menerima tamu yang berurusan dengan perkara. Tapi, itu dulu. Sekarang tidak segampang itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar