Ujian
Nasional sampai Kapan?
Darmaningtyas ; Aktivis Pendidikan Taman Siswa
|
TEMPO.CO,
15 April 2014
Ujian
nasional (UN) yang sering menimbulkan stres tahunan bagi murid, guru, dan
orang tua kembali digelar pada 2014 ini. Berdasarkan pengalaman lebih dari
satu dekade terakhir sejak diterapkannya kebijakan UN, perhelatan ini selalu
penuh kehebohan, karena membuat stres murid, guru, dan orang tua.
Perdebatan
tentang perlu-tidaknya UN terus terjadi setiap tahun, tapi UN tetap berjalan
terus. Mereka yang mendukung UN mengatakan, "bagaimana murid punya semangat belajar kalau tidak ada UN? Ada
UN saja mereka malas belajar, apalagi tidak ada UN?" Kelompok ini
mewakili pandangan bahwa pengajaran di sekolah itu sekadar untuk mengerjakan
soal-soal ujian atau tes.
Salah satu tokoh dalam kelompok ini adalah Jusuf Kalla (JK), Wakil
Presiden RI 2004–2009. Karena itu, amat mengherankan bila JK santer
disebut-sebut paling pas mendampingi Jokowi. Tentu saja, bila itu terjadi,
dapat dipastikan pemerintah Jokowi-bila terpilih-akan terus digoyang oleh
mereka yang menolak UN.
Mereka
yang menolak UN berpandangan bahwa belajar untuk mengetahui, memahami,
mendalami, dan mempraktekkan itu jauh lebih bermakna daripada sekadar untuk
tes. Pendidikan justru gagal ketika hanya mampu mendorong murid untuk belajar
demi menghadapi ujian atau tes. Padahal, semestinya yang dilakukan adalah
memberi motivasi kepada murid untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang
hayat, bukan sekadar untuk menghadapi ujian.
Cara
pandang kelompok pendukung UN tersebut justru menjadi titik awal kegagalan
bangsa ini, karena masyarakatnya tidak termotivasi untuk menjadi manusia
pembelajar sepanjang hayat, mengingat setelah lulus sekolah menengah atas
tidak ada UN lagi. Kecuali itu, wilayah Indonesia amat luas dan beragam (ada
yang sudah sangat maju seperti Jakarta), tapi banyak yang masih terbelakang
dengan jumlah guru yang masih terbatas. Menjadi tidak adil bila hanya satu
standar yang sama yang diterapkan.
Beberapa
SMAN di pulau-pulau kecil di Maluku Tenggara, misalnya, sampai 2013 lalu
tidak memiliki guru biologi, kimia, dan fisika. Murid diajar oleh guru yang
tidak memiliki kualifikasi cukup, tapi mereka ikut UN yang standarnya sama
dengan UN di Jakarta. Bila mereka lulus dengan baik, tentu hasilnya penuh
dengan manipulasi.
Kecuali
itu, ini yang lebih penting, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun
ajaran 2014/2015 ini akan melaksanakan Kurikulum 2013. Semangat dari
Kurikulum 2013 ini adalah menumbuhkan manusia pembelajar. Karena itu, bila
sistem evaluasinya masih menggunakan UN, hal itu sangat bertolak belakang.
Bila kebijakan UN tetap dipaksakan untuk dilaksanakan, sesungguhnya itu
kebijakan yang mubazir.
Atau,
pemerintah tinggal memilih, kalau ingin mempertahankan UN, batalkan
implementasi Kurikulum 2013, karena keduanya itu bertolak belakang. Yang
konsisten adalah Kurikulum 2013 menggunakan sistem evaluasi portofolio.
Daripada dana Rp 500 miliar lebih yang dipakai UN menjadi sia-sia, lebih baik
dana itu digunakan untuk menambah jumlah guru di daerah-daerah terpencil dan
meningkatkan kualitas guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar