Jumat, 25 April 2014

Prahara atas Keberatan Pajak

Prahara atas Keberatan Pajak

Jamal Wiwoho  ;   Pembantu Rektor II, Guru Besar FH Universitas Sebelas Maret
MEDIA INDONESIA, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
DI tengah-tengah hiruk pikuk soal rencana koalisi pemilihan presiden pascapemilu legislatif 9 April dan perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pada Senin (21/4) petang publik dikejutkan dengan keterangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka. Penetapan tersebut bersamaan dengan hari ulang tahun HP sekaligus berakhirnya masa tugas (pensiun) pria kelahiran Pamekasan itu sebagai pegawai negeri sipil di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Penetapan HP sebagai tersangka memang tidak ada kaitannya dengan jabatan dia sebagai Ketua BPK. Jika ditelusuri, kasus tersebut bermula dari keberatan yang diajukan Bank Central Asia (BCA) terhadap SKP nihil PPh WP badan tahun pajak 1999 sebesar Rp 5,7 triliun, dan atas SKP nihil tersebut BCA pada Juni 2003 mengajukan keberatan atas pajak penghasilan badan sebesar Rp375 miliar.

Secara normatif ketentuan keberatan pajak diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang menyatakan wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas suatu surat ketetapan pajak kurang bayar, SKPKB tambahan, surat ketetapan pajak nihil, surat ketetapan pajak lebih bayar, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) tersebut selanjutnya juga disandingkan dengan Pasal 36 ayat (1) khususnya huruf d UU KUP, yakni Dirjen Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.

Atas dasar tersebut HP yang menjabat Dirjen Pajak 2002-2004 mengeluarkan keputusan menerima keberatan BCA. Dampak keputusan tersebut BCA tidak perlu membayar Rp375 miliar ke negara.

Implementasi ketentuan pasal tersebut memang berpotensi untuk adanya penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum sehingga merugikan negara Rp375 miliar. Oleh karena itulah, patut diduga HP melakukan tindak pidana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 KUH Pidana yang berkenaan dengan penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara. 

Walau demikian, penetapan dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan KUHP tersebut karena cukup banyak dan kompleksnya cakupan kejahatan keuangan negara, patut dipertimbangkan juga pengenaan pidana dengan pasal-pasal UU Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundry)

Adakah aktor lain?

Ada benarnya ungkapan yang menyatakan pembuktian semua kejahatan keuangan tidak mudah dan hanya orang-orang tertentu atau badan tertentu yang bisa membongkarnya. Jika kita menitik dari kasus tersebut, tepat kiranya kehati-hatian KPK hanya ‘untuk sementara’ menetapkan satu tersangka, yakni HP. Namun, dalam pengembangan perkara keberatan pajak yang nilainya lebih dari Rp 5 miliar (saat itu) menjadi otoritas Dirjen Pajak, hasil telaah keberatan dari Direktur PPh, yakni adakah ketidakpatuhan baik formal maupun material dari wajib pajak dalam proses pengajuan keberatan, harus menjadi pintu masuk.

Dari hasil telaah tersebut tentulah bisa tergambar apakah hal itu dilakukan sendiri atau bersama-sama. Dari hasil kajian penelaah keberatan itulah bisa diketahui apakah telah terjadi penyalahgunaan kewenangan atau tidak. Rambu yang digunakan sebagai pijakan penelaahan keberatan itu bisa dilihat dari SE  Dirjen Pajak No SE 68/PJ/1993 tanggal 22 Desember 1993 tentang petunjuk pelaksanaan ketentuan Pasal 16, 26, dan 36 UUKUP pada angka 11 butir 3.1 yang menyebutkan keputusan akan keberatan harus diambil berdasarkan pertimbangan yang teliti dan cermat serta bersifat menyeluruh baik mengenai penilaian terhadap syarat-syarat keberatan, kebenaran materi, maupun penentuan dasar pengenaan pajak serta penerapan perundangan-undangan yang berlaku.

Selain itu, tindak pidana korupsi hampir tidak mungkin berdiri sendiri. Dalam hal ini tentu pihak-pihak yang terkait dengan pembayaran PPh badan utamanya wajib pajak tersebut sangat mengetahui siapa saja yang ‘ikut bermain’ dalam pusaran penggerogotan keuangan negara yang terjadi pada 2004 tersebut.

Penulis meyakini pengenaan HP sebagai tersangka merupakan bola salju yang akan terus menggelinding. Hal itu sekaligus menjadi pintu masuk untuk lebih banyak membongkar kasus-kasus penyelewengan uang negara dari sektor yang paling besar proporsinya sebagai pendapatan negara, baik dari petugas pajak maupun wajib pajak sendiri.

Sebagai penutup tulisan ini, soal keberatan pajak ini akankah menjadi prahara karier HP yang cemerlang sewaktu menjabat Dirjen Pajak dan sejak 26 Oktober 2009 menjadi Ketua BPK yang juga cukup getol untuk memberikan data audit dan informasi hasil temuan BPK berkaitan dengan Hambalang dan Bank Century? Hanya waktulah yang akan mampu menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar