Presidensialisme
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara,
Staf
pengajar FH Universitas Khairun Ternate
|
MEDIA
INDONESIA, 23 April 2014
SISTEM pemerintahan
presidensial, sesuai dengan gagasan awal, sama sekali tidak ada hubungannya
dengan hanya partai politik (parpol). Namun, dalam praktiknya, sistem itu
telah dihubungkan dengan keberadaan dua partai. Seolah sistem pemerintahan
presidensial sama dan sebangun dengan dua partai.
Itu sebabnya banyaknya jumlah
parpol dalam satu sistem ketatanegaraan, yang di dalamnya dilembagakan sistem
pemerintahan presidensial, dianggap, kalau tidak menyimpang, ya anomali.
Faktanya sejumlah politikus yang telah berketetapan hati menjadi calon
presiden terkepung, bukan dengan presidential threshold, tetapi juga dengan
impian membangun kaki politik di DPR, kelak bila dirinya terpilih. Tujuannya
sederhana, yaitu mengefektifkan pemerintahan.
Antitesis
Dari sejarahnya sistem
presidensial digagas James Madison. Gagasan itu dituangkan dalam rancangan
konstitusi Amerika Serikat, yang diperdebatkan dalam constitutional convention di Phipladelphia 1787. Sebagai utusan
dalam konvensi itu, yang menyaksikan sendiri merajalelanya parlemen di
negara-negara bagian sebelum constitutional
convention, Madison mengambil haluan mengubah sistem itu untuk dipakai
pada pemerintahan baru di tingkat nasional.
Sistem itu, dalam penilaiannya,
hanya menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil dan tidak efektif. Sharing power yang menjadi salah satu
ciri sistem pemerintah parlementer dinilai Madison tak menghasilkan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang stabil. Amerika, kala itu masih berbentuk
konfederasi, kata mereka, tidak akan menjadi negara kuat di bawah sistem itu,
parlementer.
Sharing
power harus diakhiri, begitulah spirit dasar konvensi, digantikan dengan
sistem pemerintahan baru. Kekuasaan pemerintahan, dalam sistem baru itu,
tidak boleh dibagi atau dijalankan bersama antara pemerintah dan parlemen.
Kekuasaan pemerintahan, dalam sistem baru itu, harus diletakkan sepenuhnya
pada `presiden'. Presiden harus dijadikan jabatan tunggal.
Dalam sistem baru itu, kekuasaan
pemerintahan dan pembentukan UU dipisahkan, setidaknya secara formal. Itulah
yang dikenal kalangan teoretikus seperti Sir Ivor Jennings dalam bukunya The Modern Constitution, dengan formil
separation of power, bukan material
separation, apalagi strict
separation.
Kenyataannya kala sistem
ini--presidensial--dirancang, diperdebatkan, dan disetujui dalam constitutional convention itu,
kehidupan politik AS tidak diwarnai dengan parpol sebanyak Indonesia saat
ini. Tidak terlihat aliran dan haluan parpol pada constitutional convention ini. Catatan James M McPherson
menunjukkan parpol baru terlihat pada saat pemilihan Presiden George
Washington 1789.
Pada pemilihan ini muncullah
Partai Federalis, Demokrat, dan Republik.
Dalam pemilihan itu Federalis
main solo. Demokrat dan Republik membentuk kaukus. Keduanya memilih George
Clinton, Thomas Jefferson, dan Aaron Burr. Namun, mereka kalah telak dari
Federalis. George Washington yang dicalonkan Federalis memenangi pemilihan
itu dengan perolehan suara sebesar 132, jauh melampaui kandidat lainnya yang
diajukan kaukus Republik Demokrat.
Leadership
Jelas, efektivitas pemerintahan
ialah rindu terbesar di balik gagasan pemerintahan presidensial. Perso
alannya ialah bagaimana mewujud kannya. Konstatasi konstitusi tidak
serta-merta sama dengan kenyataan. Faktanya tidak ada satu pun parpol dalam
pileg yang perolehan suaranya dapat dikonversi menjadi kursi di atas 50% plus
di DPR. Di situlah letak dilemanya.
Kukuh dengan haluan politik `tak
bagi-bagi kursi' jelas hebat. Sikap itu jelas dapat ditandai sebagai refleksi
impian besar untuk mengefektifkan pemerintahan. Namun, soalnya ialah
bagaimana memikat fungsionaris DPR, agar mereka mati-matian sehaluan dengan
haluan politik presiden. Pada titik ini, praktik koalisi, gabungan dalam
bahasa konstitusi, pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
tak bisa disepelekan.
Apakah praktik gabungan partai dalam
memerintah pada satu pemerintahan di satu sisi, tetapi berbeda haluan
politiknya di DPR, merupakan tabiat khas politikus yang belum matang? Sulit
memastikannya. Bagaimanapun secara konstitusional, berbagi kursi menteri
dengan parpol yang bergabung tidak mengubah locus tanggung jawab pemerintahan, yang terkonsentrasi pada
presiden.
Dalam sistem pemerintahan presidensial,
baik atau buruknya pemerintahan, menjadi tanggung jawab presiden, bukan
menteri. Tidak seperti sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak
dikenal tanggung jawab bersama. Presiden dalam sistem presidensial bukan primus inter pares. Menteri dalam
sistem ini, parlementer, tidak memikul tanggung jawab ganda, tanggung jawab
ter hadap kementerian yang dipimpinnya, juga kementerian secara keseluruhan.
Namun, menariknya panggung
sejarah pemerintahan presidensial membuktikan satu hal; sistem presidensial
dengan dua parpol sekalipun tak serta-merta menjamin pemerin tahan bisa
efektif. Kedalaman per bedaan haluan politik dan derajat leadership ikut menentukan. Hans L Trefouse menulis, impeachment terhadap Presiden Andrew
Johnson (1865-1869) yang dimotori Republik dipicu pemberhentian Menteri Per
tahanan Edwin Stanton.
Johnson selamat dari peradilan
itu. Seorang senator Republik mengalih kan suaranya mendukung Johnson, yang
berasal dari Demokrat. Johnson berkompromi memberi kepastian kepada Republik
bahwa menteri pertahanan baru yang dikehendaki Republik akan diangkat. Inikah
poli tik? Entahlah.
Derajat leadership sang presiden jelas tak bisa disepelekan. George Washington,
orang yang untuk pertama kalinya menampilkan presidential leadership, tak membutuhkan persetujuan Senat dalam
menghentikan pemberontakan produsen minuman Whiskey, dikenal dengan
pemberontakan Whiskey. Begitu juga yang diperlihatkan Thomas Jefferson,
presiden ke-3 Amerika (1801-1809). Jefferson tak meminta persetujuan (consent) Senat ketika memutuskan
membeli Pulau Lousiana dari Prancis. Akan sangat hebat bila para capres
memiliki keberanian untuk berpijak hanya pada derajat leadership mereka, dan meninggalkan praktik bagi-bagi kursi.
Kegemilangan presidensialisme ialah kegemilangan leadership. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar