Jumat, 25 April 2014

Presidensialisme

Presidensialisme

Margarito Kamis  ;   Doktor Hukum Tata Negara,
Staf pengajar FH Universitas Khairun Ternate
MEDIA INDONESIA, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SISTEM pemerintahan presidensial, sesuai dengan gagasan awal, sama sekali tidak ada hubungannya dengan hanya partai politik (parpol). Namun, dalam praktiknya, sistem itu telah dihubungkan dengan keberadaan dua partai. Seolah sistem pemerintahan presidensial sama dan sebangun dengan dua partai.

Itu sebabnya banyaknya jumlah parpol dalam satu sistem ketatanegaraan, yang di dalamnya dilembagakan sistem pemerintahan presidensial, dianggap, kalau tidak menyimpang, ya anomali. Faktanya sejumlah politikus yang telah berketetapan hati menjadi calon presiden terkepung, bukan dengan presidential threshold, tetapi juga dengan impian membangun kaki politik di DPR, kelak bila dirinya terpilih. Tujuannya sederhana, yaitu mengefektifkan pemerintahan.

Antitesis

Dari sejarahnya sistem presidensial digagas James Madison. Gagasan itu dituangkan dalam rancangan konstitusi Amerika Serikat, yang diperdebatkan dalam constitutional convention di Phipladelphia 1787. Sebagai utusan dalam konvensi itu, yang menyaksikan sendiri merajalelanya parlemen di negara-negara bagian sebelum constitutional convention, Madison mengambil haluan mengubah sistem itu untuk dipakai pada pemerintahan baru di tingkat nasional.

Sistem itu, dalam penilaiannya, hanya menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil dan tidak efektif. Sharing power yang menjadi salah satu ciri sistem pemerintah parlementer dinilai Madison tak menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang stabil. Amerika, kala itu masih berbentuk konfederasi, kata mereka, tidak akan menjadi negara kuat di bawah sistem itu, parlementer.

Sharing power harus diakhiri, begitulah spirit dasar konvensi, digantikan dengan sistem pemerintahan baru. Kekuasaan pemerintahan, dalam sistem baru itu, tidak boleh dibagi atau dijalankan bersama antara pemerintah dan parlemen. Kekuasaan pemerintahan, dalam sistem baru itu, harus diletakkan sepenuhnya pada `presiden'. Presiden harus dijadikan jabatan tunggal.

Dalam sistem baru itu, kekuasaan pemerintahan dan pembentukan UU dipisahkan, setidaknya secara formal. Itulah yang dikenal kalangan teoretikus seperti Sir Ivor Jennings dalam bukunya The Modern Constitution, dengan formil separation of power, bukan material separation, apalagi strict separation.

Kenyataannya kala sistem ini--presidensial--dirancang, diperdebatkan, dan disetujui dalam constitutional convention itu, kehidupan politik AS tidak diwarnai dengan parpol sebanyak Indonesia saat ini. Tidak terlihat aliran dan haluan parpol pada constitutional convention ini. Catatan James M McPherson menunjukkan parpol baru terlihat pada saat pemilihan Presiden George Washington 1789.

Pada pemilihan ini muncullah Partai Federalis, Demokrat, dan Republik.
Dalam pemilihan itu Federalis main solo. Demokrat dan Republik membentuk kaukus. Keduanya memilih George Clinton, Thomas Jefferson, dan Aaron Burr. Namun, mereka kalah telak dari Federalis. George Washington yang dicalonkan Federalis memenangi pemilihan itu dengan perolehan suara sebesar 132, jauh melampaui kandidat lainnya yang diajukan kaukus Republik Demokrat.

Leadership

Jelas, efektivitas pemerintahan ialah rindu terbesar di balik gagasan pemerintahan presidensial. Perso alannya ialah bagaimana mewujud kannya. Konstatasi konstitusi tidak serta-merta sama dengan kenyataan. Faktanya tidak ada satu pun parpol dalam pileg yang perolehan suaranya dapat dikonversi menjadi kursi di atas 50% plus di DPR. Di situlah letak dilemanya.

Kukuh dengan haluan politik `tak bagi-bagi kursi' jelas hebat. Sikap itu jelas dapat ditandai sebagai refleksi impian besar untuk mengefektifkan pemerintahan. Namun, soalnya ialah bagaimana memikat fungsionaris DPR, agar mereka mati-matian sehaluan dengan haluan politik presiden. Pada titik ini, praktik koalisi, gabungan dalam bahasa konstitusi, pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tak bisa disepelekan.

Apakah praktik gabungan partai dalam memerintah pada satu pemerintahan di satu sisi, tetapi berbeda haluan politiknya di DPR, merupakan tabiat khas politikus yang belum matang? Sulit memastikannya. Bagaimanapun secara konstitusional, berbagi kursi menteri dengan parpol yang bergabung tidak mengubah locus tanggung jawab pemerintahan, yang terkonsentrasi pada presiden.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, baik atau buruknya pemerintahan, menjadi tanggung jawab presiden, bukan menteri. Tidak seperti sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak dikenal tanggung jawab bersama. Presiden dalam sistem presidensial bukan primus inter pares. Menteri dalam sistem ini, parlementer, tidak memikul tanggung jawab ganda, tanggung jawab ter hadap kementerian yang dipimpinnya, juga kementerian secara keseluruhan.

Namun, menariknya panggung sejarah pemerintahan presidensial membuktikan satu hal; sistem presidensial dengan dua parpol sekalipun tak serta-merta menjamin pemerin tahan bisa efektif. Kedalaman per bedaan haluan politik dan derajat leadership ikut menentukan. Hans L Trefouse menulis, impeachment terhadap Presiden Andrew Johnson (1865-1869) yang dimotori Republik dipicu pemberhentian Menteri Per tahanan Edwin Stanton.

Johnson selamat dari peradilan itu. Seorang senator Republik mengalih kan suaranya mendukung Johnson, yang berasal dari Demokrat. Johnson berkompromi memberi kepastian kepada Republik bahwa menteri pertahanan baru yang dikehendaki Republik akan diangkat. Inikah poli tik? Entahlah.

Derajat leadership sang presiden jelas tak bisa disepelekan. George Washington, orang yang untuk pertama kalinya menampilkan presidential leadership, tak membutuhkan persetujuan Senat dalam menghentikan pemberontakan produsen minuman Whiskey, dikenal dengan pemberontakan Whiskey. Begitu juga yang diperlihatkan Thomas Jefferson, presiden ke-3 Amerika (1801-1809). Jefferson tak meminta persetujuan (consent) Senat ketika memutuskan membeli Pulau Lousiana dari Prancis. Akan sangat hebat bila para capres memiliki keberanian untuk berpijak hanya pada derajat leadership mereka, dan meninggalkan praktik bagi-bagi kursi. Kegemilangan presidensialisme ialah kegemilangan leadership.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar