Politik
dengan Segala Cara
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 21 April 2014
Politik
tak pernah punya perasaan. Ketika dia harus berjalan, dia berjalan. Ketika
dia harus mendekati tujuan, dia mendekatinya. Mungkin merunduk-runduk dalam
kegelapan. Mungkin dengan memasang jebakan-jebakan untuk mempersulit lawan
yang menghalanginya.
Kalau
perlu, dia menciptakan kegelapan demi kegelapan agar segenap langkahnya tak
dibaca musuh agar keculasannya tak tampak sebagai keculasan. Tak jarang,
orang lain yang dipojokkan ke dalam suatu situasi tanpa pilihan agar dia yang
dianggap culas. Bisa juga musuh ditunggu di suatu tikungan tak terduga, untuk
dikecoh, dicelakai, atau dibikin kalang kabut, agar dia sendiri bisa
melenggang dengan mudah mendekati tujuan pokoknya. Demi kelancaran langkahnya
mendekati tujuan, semua ranjau dan penghalang yang dipasang musuh, disapu
bersih lebih dahulu.
Perhitungan
politik harus jeli. Taktik harus jitu. Strategi harus matang sematang-matangnya.
Semua harus tertutup ”kabut” tipu daya dan segenap samaran. Orang boleh
menganggapnya bodoh. Lawan boleh mengira dia ceroboh, tidak cermat, tidak
hati-hati. Dugaan seperti itu menjadi tanda bahwa akal dan kemampuannya
menjebak lawan sungguh jitu. Jika politisi dikenal pula sebagai ahli
strategi, mungkin seperti Pak Harto, niscaya semua langkahnya berjalan mulus,
tanpa hambatan, tanpa penghalang. Langkah-langkah politiknya berjalan
efisien.
Dalam
politik yang efisien itu politik tak pernah terjadi hiruk-pikuk yang memang
tak perlu, tapi tujuan bisa ”dipetik”, semudah kita memetik tomat, atau
mangga dalam jangkauan tangan kita sendiri. Ahli strategi memang dengan jeli
menerapkan strategi dan banyak taktik tak terlihat untuk membuat tujuan
politiknya begitu mudah dicapai. Kalau perlu, dengan ”tenaga” dan ”biaya”
lawanlawan politiknya. Dalam politik, tujuan akhir dianggap segalanya.
Proses, sesekali, juga dianggap penting.
Tapi,
apa gunanya proses kalau tujuan tak tercapai? Politisi di negeri-negeri
demokratis pun kalau perlu harus mencederai proses demokratis demi mencapai
tujuan. Dianggap tidak konsisten dengan prinsip demokrasi tak penting.
Dituduh munafik, karena memang munafik, tak menjadi soal. Negara-negara
besar, yang ”menjual” demokrasinya kepada kita, banyak memberi contoh
kemunafikan politik dengan segenap politik luar negerinya yang mengatakan apa
yang disebut tujuan akhir tadi. Mereka menganggap suci tujuan akhir dan tak
jarang menampilkan kemunafikan yang memalukan.
Malu itu
urusan perasaan. Perasaan tidak penting. Malu tak malu tak pernah
diperhitungkan. Akal, taktik, strategi, dan semua cara— termasuk yang licik
dan culas— diutamakan. Politik tak pernah punya perasaan. Politisi tak usah
diimbau untuk bertindak dengan kebaikan hati dan menurut prinsip-prinsip etis
di dalam hidup. Nilai-nilai, yang bicara perkara baikburuk, mulia-hina, tak
penting sama sekali. Serahkan urusan itu kepada para filsuf, bukan pada para
politisi. Politik itu robot atau makhluk setengah robot. Robot hanya mesin.
Politik pun bergerak seperti mesin, yang berarti benda mati, meskipun bisa
bersuara. Benda tak mengandung perasaan.
Di dalamnya
tak terdapat rasa susah, atau senang, sedih, atau gembira. Dengan sendirinya,
di dalam politik kita tak boleh bicara perasaan, karena yang disebut perasaan
itu tidak ada. Politisi sejati tak boleh dan tak pernah marah karena
langkahnya mentok di jalan yang langsung berhadapan dengan strategi musuh.
Sebaliknya, dia mengakui kehebatan musuhnya dan menyadari
kekurangan-kekurangannya sendiri. Politisi juga tak boleh menaruh dendam
kepada lawanlawannya, termasuk apabila mereka memasang jerat untuk mencelakai,
atau bahkan membunuhnya.
Politisi
jagoan tulen bisa dengan mudah dan dingin mengatakan—tanpa mengutuk tanpa
menyesali—bahwa usaha membunuhnya merupakan strategi politik paling logis
yang mereka punyai. Politik itu akal dan bukan perasaan. Unsur-unsur
perasaan, panggilan hati, kasih sayang, dan segenap kemurahan, biasanya omong
kosong. Dalam politik yang tak punya perasaan, politisi dengan sendirinya
juga hanya robot, hanya mesin, hanya benda bergerak yang hendak memenuhi
keserakahannya sendiri.
”Kalau politisi, yang dulunya galak melampaui
serigala, demi membela kekuasaan, dan kita punya catatan betapa ganasnya dia
dulu kepada rakyat, tiba-tiba bicara ‘jangan lukai hati rakyat’, haruskah
kita percaya pada pemihakannya, yang dimaksudkan untuk mengesankan bahwa
dirinya penuh kasih sayang dan menjadi pelindung rakyat?” ”Tidak.
Lebih-lebih bila dia juga tergolong politisi yang tak punya hati. Keganasan
tak mungkin berubah secara mendasar dalam waktu pendek.
Peta
kehidupan jiwanya menggambarkan kepada kita, mustahillah perubahan sikap dan
cara hidup itu terjadi secara dadakan karena dia ingin berkuasa lagi.
Hasratnya untuk berkuasa kembali berbohong kepadanya, dan berbohong juga
kepada kita. Pernyataan itu bukan wujud komitmen kerakyatannya, tapi gambaran
kehendaknya untuk berkuasa. Pernyataannya hanya alat yang diharapkan
mendukung cita-cita politiknya. Dengan kata lain, ini hanya omong kosong
tanpa makna.
Politik
yang tak punya perasaan itu dalam dua minggu terakhir ini kita lihat dengan
jelas telah dipamerkan oleh para politisi kita selama masa kampanye, disusul
lagi sesudah suara perolehan dalam pemilihan legislatif dihitung. Ada yang
kaget. Ada yang kecewa. Ada yang bersungut-sungut. Ada pula yang marah besar
karena harapannya tak terpenuhi. Serangan pada pihak lain, yang lebih baik
citranya di mata publik, dilancarkan dengan gencar, segencar-gencarnya
melalui berbagai jenis media. Makin hari serangan itu bukan makin surut,
melainkan makin gencar.
Di
media, yang menjadi ”tontotan” mengasyikkan, hanya pertarungan politik tanpa
ujung pangkal itu. Musuh politik dipojokkan untuk memperoleh efek komunikasi
politik bahwa kita lebih baik dari semua musuh kita. Apakah langkah ini
memetik hasil sebagaimana diharapkan? Mungkin tidak. Ingin tampil baik,
dengan menjelekkan pihak lain bisa menjadi strategi yang fatal. Musuh yang
dipojokkan tidak terpojok, kita yang menelan kepahitan. Politisi kita, yang
tak punya hati tadi, tak menyadari bahwa taktiknya itu bisa berubah menjadi
senjata makan tuan.
Politik
memang bisa ditempuh dengan banyak cara: membukaaib, mengungkit kelemahan,
dan membeberkan segenap kesalahannya. Lawan ditelanjangi di depan publik,
seperti ketika Drupadi ditelanjangi di depan orang banyak di balairung negeri
Astinapura. Politisi biasa, mungkin politisi kelas ”ecek-ecek”, merasa puas
dengan langkahnya. Melihat lawannya tak berdaya dia merasa hebat karena
kepuasan yang dikejar. Dia tak menyadari bahwa tindakannya bisa mengundang
dendam kesumat pada masa depan. Jika lawannya juga tergolong masih kelas
”ecek-ecek”, suatu hari dia bakal digasak habis oleh api dendam.
Boleh
jadi yang melakukan balas dendam itu pihak lain yang tak diduga sama sekali.
Politik bisa ditempuh dengan banyak cara: mengungkit-ungkit kelemahan lawan,
membeberkan kesalahannya, dan bahkan dengan fitnah-fitnah keji. Tak jarang,
politik ditempuh dengan segala cara. Kita lupa publik menilai kita. Kita
lupa, mayoritas yang diam sebenarnya tidak diam. Kita lupa, politik dengan
segala cara itu vandalis dan kejam: fitnah balas fitnah, bunuh balas bunuh,
ada di dalamnya. Kita juga lupa, politik dengan segala cara membunuh diri
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar