Jumat, 25 April 2014

Pendapatan Petani

Pendapatan Petani  

Iswadi  ;   Pemerhati Ketahanan Pangan Indonesia
KOMPAS, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Nilai tukar petani (NTP), Maret 2014, hanya mampu merangkak naik 0,07 persen setelah bulan sebelumnya turun 0,16 persen dari kondisi Januari. Sejak 2008, NTP yang merupakan indikator kesejahteraan dan pendapatan relatif petani tidak menunjukkan perbaikan berarti. Kenaikan nilai dan harga produksi pertanian tak mampu ”menaklukkan” kenaikan nilai yang dibayar petani untuk kebutuhan pokok dan input usaha pertanian. NTP nasional Maret 2014 sebesar 101,86 masih cukup jauh dari target pemerintah minimal 110.

Pada 2013, sektor pertanian—termasuk peternakan, perikanan, dan kehutanan—hanya mampu memberikan sumbangan 0,45 persen terhadap 5,78 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, lebih kecil dibandingkan sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perseorangan. Bahkan, sektor pertanian jadi penyebab utama turunnya pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) di triwulan IV-2013 sebanyak 1,42 persen dengan kontribusi penurunan sangat besar (22,84 persen) dibanding triwulan III-2013. Wajar jika tenaga kerja, terutama angkatan kerja baru, lebih memilih bekerja di luar sektor pertanian. Faktual, jumlah rumah tangga usaha pertanian turun 5,10 juta rumah tangga atau 16,32 persen selama satu dekade terakhir (Sensus Pertanian 2013).

Miris memang jika melihat komposisi umur petani utama, petani dengan nilai produksi tertinggi di satu rumah tangga, hasil Sensus Pertanian 2013. Sektor pertanian masih banyak (32,76 persen) mengandalkan petani berumur 55 tahun atau lebih. Komposisi ini sungguh menyedihkan, mengingat idealnya petani dengan usia tersebut seharusnya sudah pensiun dan tak lagi jadi tulang punggung rumah tangga.

Sebaliknya, persentase petani utama dengan umur di bawah 35 tahun hanya sekitar 12,87 persen. Angka ini mengisyaratkan kurangnya keterlibatan tenaga kerja muda di usaha produksi pertanian. Suatu fenomena yang sangat berbahaya bagi kedaulatan pangan negeri yang masih menyandang sebutan ”negara agraris” ini. Jika dibiarkan, pertanian sepi peminat dan berakibat menurunnya usaha produksi pangan.

Sebenarnya sangat masuk akal jika angkatan kerja baru enggan berkecimpung dalam usaha produksi pertanian. Gambaran kehidupan pedesaan yang dihiasi kemiskinan seolah jadi mimpi buruk. Jarang orangtua yang mengarahkan anak mereka untuk menjadi petani. Sebagian besar sarjana pertanian sekalipun ketika mereka lulus kuliah tidak memilih bekerja sebagai petani.

Faktanya, gambaran miskin petani bukan sekadar isapan jempol. Angka BPS menunjukkan, dari 28,55 juta penduduk miskin, 62,76 persen tinggal di pedesaan yang sebagian besar bergantung pada pekerjaan di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani.

Tak ada jaminan

Usaha pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan pendapatan masih bisa dibilang ”kurang” berhasil. Meski berbagai program telah dijalankan, mulai dari bantuan pengadaan input usaha dan  alat sarana pertanian, subsidi harga, subsidi bunga pinjaman, hingga jaminan harga untuk beberapa komoditas strategis, kenyataannya pendapatan relatif petani terhadap naiknya biaya hidup tak kunjung mencapai hasil yang memuaskan.

Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan, selama periode Juni 2003-Mei 2004, lebih dari 90 persen rumah tangga pertanian tak pernah memperoleh bantuan dari pemerintah, baik berupa kredit maupun nonkredit. Kondisi membaik pada 2011 (Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Pangan 2011) untuk usaha komoditas padi, jagung, dan kedelai, hampir 50 persen telah menerima bantuan dari pemerintah. Tapi, usaha tanaman pangan lainnya hanya 30 persen yang pernah menerima bantuan pemerintah. Keterlibatan lembaga nonpemerintah dalam meningkatkan pendapatan petani juga masih sangat minim. Kurang dari 1 persen rumah tangga usaha tanaman pangan yang pernah menerima bantuan dari mereka.

Peningkatan pendapatan petani melalui pemberlakuan jaminan harga seperti harga pokok penjualan beras dan harga beli petani (HBP) kedelai sebenarnya menunjukkan keseriusan pemerintah mengupayakan perbaikan pendapatan petani. Kenyataan di lapangan, sosialisasi informasi jaminan harga, terutama HBP kedelai, belum optimal. Banyak petani masih ragu akan adanya jaminan harga itu, mendorong mereka tidak memilih usaha kedelai mengingat risiko yang lebih tinggi dibanding komoditas lainnya.

Keterlambatan bantuan input usaha pertanian seperti benih dan pupuk masih sering dikeluhkan petani. Untuk usaha tanaman padi, misalnya, puncak tanam terjadi pada sekitar awal Maret setiap tahunnya. Akan tetapi, alur birokrasi yang kurang pas membuat bantuan benih belum tersedia saat petani harus segera melakukan penanaman. Walhasil, daripada terlambat tanam, petani lebih memilih menanam dengan benih apa adanya tanpa memedulikan kualitas. Keterlambatan penyediaan bantuan juga berkaitan sistem tahun anggaran di negeri ini. Anggaran belum bisa dicairkan dengan mudah pada awal-awal tahun kalender, padahal sifat musim di sebagian besar wilayah potensi pertanian di Indonesia menuntut petani untuk segera memulai penanaman di awal tahun. 

Informasi mengenai kondisi pendapatan petani sangat urgen untuk segera diketahui. Sebab, pendapatan yang cukup kunci bagi petani tetap semangat mempertahankan usaha menyediakan pangan di negeri ini. Pendapatan yang tinggi juga merupakan daya tarik yang ”sexy” bagi angkatan kerja baru untuk mulai melirik usaha produksi pangan.

Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) yang tengah memasuki tahap pengolahan data merupakan upaya BPS memenuhi kebutuhan akan informasi pendapatan petani yang mutakhir. Lebih lanjut, survei penting ini juga mengumpulkan informasi mengenai karakteristik usaha serta keadaan sosial ekonomi rumah tangga pertanian. Menurut jadwal, hasil survei ini sudah dapat digunakan untuk analisis pada Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar