Jumat, 25 April 2014

Menjadikan Sekolah Ramah Anak

Menjadikan Sekolah Ramah Anak  

Darmaningtyas  ;   Ketua Departemen Pendidikan dan Pebudayaan Nilai-nilai Kejuangan 45 Dewan Harian Nasional (DHN) 45, Jakarta
SINAR HARAPAN, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kasus tindak kejahatan seksual yang menimpa anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) Jakarta International School (JIS) mengagetkan, sekaligus menggegerkan dunia pendidikan negeri ini. Hal tersebut karena hal itu terjadi di sekolah yang memiliki label internasional.

Masyarakat selalu membayangkan, segala sesuatu yang berlabel “internasional” serbasempurna, termasuk perlindungan terhadap anak-anaknya lebih terjaga. Namun ternyata, penggambaran yang serbaideal itu hancur dengan kasus yang mencuat ke publik tersebut.

Penulis memilih menggunakan istilah “kejahatan seksual”, bukan sekadar pelecehan seksual, karena memang yang dilakukan kepada anak-anak tersebut sudah sampai pada tingkat kejahatan.

Pelecehan itu bila baru sampai pada kata-kata atau sentuhan semata, tidak menimbulkan rasa sakit, tapi menimbulkan rasa benci dan tidak suka.

Sementara itu, yang dilakukan para pelaku ini sudah sampai sodomi kepada anak-anak. Hal ini berdampak sakit dan traumatis kepada anak-anak. Bahkan ada korban yang kemudian terkena herpes pascakejahatan seksual yang dialaminya. Kejahatan tersebut juga menimbulkan perasaan ngeri, sekaligus geram pada orang tua.

Kasus kejahatan seksual tersebut sebetulnya sudah berlangsung lama, Maret 2014, seperti dituturkan salah satu orang tua korban yang mulai mencium kejanggalan perilaku anaknya pada pertengahan Maret 2014. Anak tersebut sering ketakukan, mengigau, dan berteriak saat tidur.

Namun, si anak tidak mau bicara. Baru setelah ditemukan luka memar di perut kanan pada 20 Maret 2014, si anak mengakui, ia menjadi korban kekerasan di toilet.

Seandainya orang tua tidak peka terhadap perubahan perilaku anaknya, barangkali kasus kejahatan seks di JIS tidak terungkap, terpendam lama sehingga pembuktiannya agak sulit.

Sebetulnya, kasus kejahatan atau pelecehan seksual di sekolah sudah sering terjadi. Sebagai contoh, pada medio November 2012, seorang murid laki-laki MTs Negeri Negara Kabupaten Jembrana yang berinisial SQ mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh IM, seorang guru laki-laki, sebanyak empat kali.

Awal 2013, orang tua dari siswi kelas III SMA di Jakarta juga melaporkan guru yang sekaligus wakil kepala sekolah karena sang guru telah melakukan pelecehan seksual antara Juni-Juli 2012.

Pelecehan seks pun terjadi terhadap seorang siswi di SMPN 28 Jakarta, setahun silam (April 2013), yang dilakukan teman-temannya, serta direkam menggunakan kamera handphone. Teman-teman siswi itu memaksanya berpura-pura beradegan seks (tidak sampai melakukan hubungan seks), kemudian merekam adegan tersebut di ruang kelas.

Ketiga contoh yang disebutkan di atas ada yang merupakan kejahatan seksual, ada pula yang masih sebatas pelecehan seksual. Ketika guru yang wakil kepala sekolah dengan menggunakan otoritasnya merayu muridnya untuk berhubungan seksual, itu bukan lagi pelecehan, melainkan sudah sampai taraf kejahatan.

Seharusnya, guru justru melindungi anak didiknya dari segala tindak kriminalitas maupun kejahatan lain, bukan justru memanfaatkannya guna memuaskan nafsu duniawi.

Sekadar Merek Dagang

Kasus-kasus pelecehan dan kejahatan seksual di lingkungan sekolah maupun oleh guru/orang yang lebih senior terhadap murid atau orang yang lebih junior yang terjadi di beberapa tempat dan dengan waktu yang berbeda-beda itu selalu menarik perhatian. Namun, ketertarikan itu hanya sesaat, setelah itu orang lupa kasusnya dan lupa pula substansi pendidikan yang harus dijalankan para stakeholders.

Praksis pendidikan pun berjalan seperti biasa, seperti saat belum munculnya kasus-kasus tersebut. Artinya, kasus buruk itu tidak dijadikan bahan refleksi bagi orang tua, sekolah, dinas pendidikan, maupun kementerian terkait untuk membenahi praksis pendidikan dalam negeri ini.
Semula masyarakat beranggapan, kasus serupa hanya terjadi di sekolah-sekolah reguler atau pinggiran.

Ternyata, di sekolah internasional kasus serupa terjadi. Bahkan tragisnya, itu menimpa anak-anak usia TK sehingga mengesankan, label “internasional” yang melekat di dalamnya itu sekadar merek dagang, tidak mencerminkan kualitas di dalamnya.

Kualitas yang dimaksudkan di sini bukan sekadar hasil, melainkan proses yang memberikan rasa aman dan nyaman kepada murid-muridnya sehingga sekolah terasa ramah buat anak-anak.

Bagi penulis, kasus yang menimpa anak-anak TK di JIS menimbulkan pertanyaan besar, mengingat ini pendidikan untuk anak-anak di bawah umur. Pertanyaan sederhananya, sejauh mana jarak antara ruang kelas dengan toilet dan bagaimana bentuk toiletnya sehingga memungkinkan petugas cleaning service melakukan kejahatan tersebut?

Sejauh mana pengawasan terhadap anak-anaknya sehingga saat siswa ke toilet agak lama tidak menimbulkan kecurigaan pada guru? Bagaimana pendidikannya sehingga anak sampai tidak bisa menceritakan pengalaman buruknya saat pergi ke toilet?

TK pada umumnya, ruang toilet itu dibuat semiterbuka untuk memudahkan kontrol terhadap anak saat ke toilet. Ini sekaligus mendidik anak untuk berlatih mandiri dengan pergi ke toilet sendiri. Guru mengawasi dari jauh.

Dengan posisi dan bentuk toilet yang semiterbuka, semestinya segala tindak penyelewengan dapat terdeteksi secara mudah. Tapi, mengapa hal buruk tersebut dapat terjadi di JIS? Mungkinkah secara fisik posisi dan bentuk toilet tidak ramah terhadap anak?

Berdasarkan berita-berita di media massa, sekolah tersebut dilengkapi CCTV di setiap sudut yang strategis. Tapi, mengapa tidak mampu memantau pergerakan anak? Ini cukup mengherankan penulis.

Pengalaman mengelola TK dan pengalaman para guru TK pada umumnya, siswa TK itu adalah anak-anak yang ceria, spontan, dan ekspresif. Bila ada sesuatu yang membuatnya kurang nyaman atau terganggu, mereka langsung mengadu kepada gurunya, “Bu guru, Bu guru…” Apalagi bila merasa disakiti senior dalam toilet, biasanya mereka spontan mengadukannya kepada guru. Namun, mengapa hal itu tidak terjadi pada siswa TK di JIS? Ini cukup mengherankan saya.

Jika dilihat dari latar belakang keluarga, jelas orang tua mereka golongan terpelajar dan mampu secara ekonomi. Umumnya, tingkat pendidikan orang tua berkorelasi positif dengan tingkat keterbukaan anak. Orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung lebih demokratis, serta akan melahirkan anak-anak yang terbuka dan ekspresif.

Tapi, mengapa hal itu tidak terjadi pada siswa TK di JIS? Apakah sistem pendidikan di sekolah itu otoriter sehingga dampaknya, guru pun otoriter terhadap murid, kemudian murid tidak berani mengungkapkan permasalahannya?

Di balik munculnya kasus kejahatan seks di sekolah tersebut sesungguhnya membuka banyak pertanyaan yang perlu jawaban jelas. Ini mengingat menurut akal sehat, kejadian tersebut mestinya tidak terjadi di sekolah yang berlabel “internasional”.

Ketika mendengar istilah “internasional”, sesungguhnya imajinasi kita ada pada kesempurnaan infrastruktur yang dapat dengan mudah diakses murid, fasilitas pendidikan yang lengkap, lingkungan yang kondusif, pendidikan yang partisipatif, dan hasil pendidikan yang bagus.

Munculnya kasus kejahatan seks tersebut menggugat kemapanan berpikir kita tentang berpersepsi mengenai konsep sekolah internasional. Pemerintah pun sempat melabeli sekolah-sekolah nasional dengan label “internasional”, meskipun baru taraf rintisan (RSBI=rintisan sekolah bertaraf internasional).

Semoga kasus kejahatan seksual yang terjadi di JIS membukakan mata dan hati kita bersama bahwa merek internasional bukan jaminan serbakesempurnaan. Oleh karena itu, jangan selalu silau dengan merek sekolah internasional.

Hal yang paling penting adalah substansinya: memberikan perlindungan, rasa aman, nyaman, kebebasan kepada anak untuk berekspresi serta mengemukakan pendapatnya, sehingga anak-anak betah tinggal di sekolah. Bukan justru anak merasa terancam di lingkungan sekolah sehingga sekolah merupakan lingkungan yang menakutkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar