Bersikap
Adil terhadap Jokowi
Mohamad Sobary ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 23 April 2014
Kalau
direnungkan secara jernih, dengan sikap egaliter dalam memandang orang lain,
bagaimana bisa seorang warga negara biasa, yang sama dengan kita, tiba-tiba
disalahkan secara ramai-ramai dan diminta bertanggung jawab atas suatu
perkara yang bukan kesalahannya?
Jokowi
itu warga negara merdeka dan boleh tidak berpikir mengenai apa yang berada di
luar domain politik yang ruwet ini. Dilihat dari sikap, pemikiran, gaya
hidup, dan ungkapan-ungkapan kebahasaannya, kita tahu ia hidup tanpa pretense
yang bukan-bukan.
Pernahkah
ia (seharusnya “beliau”) menginginkan kita menjadikannya political hero di
tengah suasana politik yang sumpek, macet-cet, bau busuk korupsi
besar-besaran, tanpa kesegaran, dan tanpa jalan keluar ini?
Tidak.
Ia tak pernah berambisi menjadi apa yang bukan dirinya. Ia belum cukup
pengalaman untuk berlagak sok pemimpin. Keluguannya otentik dan tulus.
Keluguan macam itu mahalnya minta ampun. Ini sikap, gaya hidup, dan karakter
yang tak terbeli dan memang tak dijual.
Pernahkah
Jokowi membujuk-bujuk orang banyak agar mereka begitu antusias menyayanginya,
sampai pada tingkat histeris seperti yang terjadi belakangan ini?
Tidak.
Ia tak pernah berbuat senista itu. Hal-hal seperti itu hanya bisa dilakukan
para tokoh politik yang tua-tua, yang kenyang kemegahan masa lalu dan masih
ingin menikmatinya terus menerus.
Apakah
semua fenomena yang terjadi di media, yang begitu hiruk pikuk itu, “buatan”
Jokowi?
Bukan.
Histeria massa yang terjadi di lapis bawah dalam masyarakat kita itu, niscaya
tak akan sampai seluas itu kalau orang-orang media tidak ikut “histeris” dan
haus akan pahlawan pujaan. Kekuatan besar yang membuat ini semua adalah
media.
Apakah
Jokowi pernah berharap agar dia diperlakukan seperti orang suci dalam
politik? Atau sejenis “pahlawan” yang baru tampil?
Tidak.
Jokowi itu sebuah kitab terbuka. Kita bisa membaca apa yang tertulis di luar,
kata-katanya, tindakannya, bahasa tubuhnya, senyumnya, niscaya sama dengan
apa yang tertulis di dalam, yang berhubungan dengan isi hatinya, cita-citanya,
dan aspirasinya. Ia tak menyembunyikan suatu keculasan, atau kelicikan.
Bagaimana
ia bisa melejit seperti roket dalam waktu pendek dan begitu berwibawa di mata
para pengagumnya, sehingga semua kritik kepadanya dilawan habis oleh
pengagum-pengagum fanatik itu?
Patut
dicatat, ini bukan salah Jokowi. Bukan pula manipulasi politik untuk membius
para pengagum.
Fanatisme
yang begitu meluas, hampir secara dadakan ini, bisa ditelusuri latar belakang
psikologi politiknya. Kita tahu, semua politikus di Jakarta, yang mapan-mapan
tadi, tampil dengan gaya kelas atas yang tak nyambung dengan gaya rakyat pada
umumnya. Jokowi kebalikannya; ia mewakili tampang rakyat jelata dan dengan
sendirinya dipuja-puja. Itu matematika politik biasa.
Puja-memuja
ini salah atau benar, itu soal lain. Itu isu politik lain. Namun, mengenai
gaya konvensional, sok kelas atas, ke mana-mana berseragam tapi kadang
berlagak populis, ini parah. Kecuali gaya itu memuakkan rakyat pada umumnya,
sikap populis tadi tidak matching sama sekali dengan penampilan mereka. Ini
kemunafikan politik.
Tidak Adil
Kita
tahu, kemunafikan umum sudah tak bisa disembunyikan lagi. Rakyat tahu itu
semua. Tokoh-tokoh bicara pemberantasan korupsi, antikorupsi. Namun, pada
saat yang sama mereka korup luar biasa. Orang merasa menemukan obat yang
baik. Obat itu Jokowi.
Pilihan
baru dan alternatif yang dianggap baik itu ternyata tidak mampu mengangkat
perolehan suara PDIP dalam pileg lalu. Semua orang, ahli-ahli politik dan
para politikus, ramai-ramai menyalahkan Jokowi. Begitu juga media. Mereka
semua sama emosionalnya dengan rakyat yang menjagokan Jokowi.
Jokowi
yang “turba” ke mana-mana, dadakan, mengejutkan, dan berkomunikasi dengan
rakyat dalam bahasa rakyat, beberapa waktu lalu “dipuja-puja”, dianggap
hebat, dan otentik. Ketika terbukti tak berpengaruh terhadap perolehan suara
PDIP, ada pengamat yang menyalahkannya. Katanya tak sama dengan Bung karno.
Ini
sikap tidak konsisten. Dulu, ia diam saja dan mungkin ikut “memuja” Jokowi.
Sekarang menyalahkan pengaruhnya yang tak terasa bagi PDIP, lalu
membandingkannya dengan Bung Karno. Ini tidak adil. Bung Karno tak usah
dibawa-bawa. Semua orang tak akan pernah sebanding dengan beliau.
Mbak
Mega menjagokannya, tidak salah. Pertama, ada gelombang besar dalam PDIP,
yang bergabung secara nasional, membangun suatu aliansi pendukung Jokowi. Kalau
aspirasi anak-anaknya sudah begitu, apa salah kalau Mbak Mega mengabulkannya?
Munculnya
Jokowi diduga sebagai jalan keluar politik yang baik. Semua, dalam lingkungan
PDIP, kurang lebih berharap sama. Orang luar yang tak tahu-menahu urusan
internal partai itu menyuruh pencalonan Jokowi ditinjau kembali. Ada
penyesalan atas pencalonan itu.
Ini
kewenangan internal PDIP. Keputusan sudah diambil dan pasti dengan segenap
pertimbangan. Mau ditinjau ulang atau tidak, pencalonan itu terserah Mbak
Mega dan mekanisme internal partai.
Saya
tak mengenal Jokowi secara pribadi. Bertemu pun belum pernah. Tapi saya tak
bisa diam melihat sikap orang banyak yang menyalahkan Jokowi. Ini tidak adil
dan tidak bijaksana. “Ring tinju” politik untuk Jokowi belum dibuat. Evaluasi
fatal-fatalan seperti itu belum saatnya dikemukakan. Kita perlu bersikap adil
terhadap Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar