Jumat, 25 April 2014

Pilihan Nyonya Pilatus

Pilihan Nyonya Pilatus  

BS Mardiatmadja  ;   Pengajar di STF Driyarkara, Jakarta
SINAR HARAPAN, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Jarang seorang nyonya memainkan peran di kalangan pejabat romawi zaman kuno. Di banyak negara masa kini, peran “ibu negara” juga jarang mencolok, walau diakui, Angela Merkel malah merupakan satu pemimpin pemerintahan yang paling berpengaruh di dunia sekarang.

Beberapa waktu yang lalu, kita berkenalan dengan Margaret Thatcher, nyonya perkasa dari London. Namun, Nyonya Pilatus dalam banyak kisah dianggap menjadi wakil suara hati yang memilih memengaruhi keputusan Pilatus, sang suami, yang akhirnya mengabaikan nasihat istrinya.

Pilatus mengambil keputusan pengecut, “Hukumlah menurut hukummu.” Padahal, para pejabat Yahudi jelas-jelas menyerahkan keputusan pada penguasa Kerajaan Romawi, yaitu dirinya, Pilatus.

Masalahnya dipaparkan secara rinci oleh penulis injil secara sedikit berbeda dari beberapa penulis skenario dan sutradara film. Ada yang sekadar memperlihatkan seorang pejabat Romawi yang mengambil pilihan berlindung di balik bahaya kerusuhan Yahudi, yang sangat mungkin menyebabkan bos di Roma menegurnya dengan keras.

Ada pula yang menggambarkan pergulatan batin Pilatus antara logika hukum Romawi (melepaskan orang “tak bersalah”) dengan cara berpikir transaksional politikus picik (“kompromi yuridis” agar melunakkan nafsu berontak pemuka agama fanatik).

Lainnya lagi melukiskan personifikasi discernment politis Pilatus untuk memilih “yang terbaik”, dengan menghadirkan Nyonya Pilatus yang menyarankan sang suami tidak mencampurkan urusan politik dengan debat agama di lingkungan orang Yahudi.

Dalam discernment menurut Pilatus, pilihannya sebenarnya tidaklah sekadar antara yang benar dan yang salah, tetapi antara “yang secara politis paling tepat” dengan “yang secara politis tepat, secara yuridis benar, dan secara sosial juga aman, maupun secara pribadi menenteramkan hati”.

Banyak perempuan memang tidak menampilkan diri berlebih-lebihan, apabila pasangannya mengambil tempat penting secara publik. Namun, kebanyakan perempuan yang bijaksana, seperti dihidangkan di antara keturunan Ibrahim dan Musa, memilih menjadi instansi pembanding tatkala diperlukan oleh situasi publik.

Kita kenal perempuan yang membuka mata dan telinga, mengenai perilaku etis dan moral para pejabat negara dan menyampaikannya kepada sang suami yang kemudian memberi sanksi politis kepada suami-suami yang menyeleweng secara moral, serta mungkin saja membahayakan perilaku politisnya.

Dalam posisi itu, maupun dalam posisi seperti Margaret Thatcher atau Angela Merkel, seorang perempuan dapat menjadi suara hati yang mengambil keputusan politis dengan discernment yang sehat.

Dalam konstelasi global, yang mengizinkan pendirian seakan-akan politik hanyalah perebutan kuasa yang menipiskan pertimbangan moral. Sangat diperlukan bahwa masyarakat memilih menciptakan pelatihan dan integrasi discernment batin di dunia politik.

Hal ini sangat penting saat pergulatan ketat sekitar pemilihan pemimpin negara. Discernment yang dimaksudkan adalah kemampuan memilah pelbagai fakta, motivasi, serta tujuan perjuangan untuk kemudian memilih cermat suatu keputusan.

Discernment itu perlu diletakkan dalam konteks politik praktis, namun harus diterangi kesehatan suara hati bagi kebaikan bersama (bonum commune) menuju sasaran bersama yang diterangi cakrawala ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Itu adalah Pancasila dengan kerangka kerja Mukadimah UUD 1945.

Dalam lingkup keyakinan tersebut, para perempuan dapat memilih menjadi wujud suara hati yang mendampingi langkah-langkah pejabat publik, yang sering digambarkan tegap dan mau tegar, namun sungguh membutuhkan kejernihan discernment yang memperjuangkan bonum commune secara total.

Di situ, hak asasi manusia, kesetaraan warga negara, kesejahteraan bersama, serta jaminan kebaikan bersama khususnya bagi yang kecil dan lemah disinari iman pada yang mahakuasa, dihadirkan secara nyata.

Kalau demikian, peringatan Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, serta tokoh-tokoh lain dapat dilakukan dengan afeksi tinggi, seraya diintegrasikan dalam pendidikan politis yang praktis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar